Jaringan GUSDURian Desak Jokowi Evaluasi Tes Wawasan Kebangsaan KPK 

TWK jadi alat menyingkirkan pegawai KPK yang berintegritas?

Jakarta, IDN Times - Jaringan GUSDURian mendesak Presiden Joko 'Jokowi' Widodo mengevaluasi total hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seleksi tersebut dicurigai bertujuan menyingkirkan penyidik yang berintegritas.

Permintaan evaluasi itu merupakan satu dari lima pernyataan sikap Jaringan GUSDURian sebagaimana disampaikan oleh Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid melalui pernyataan tertulisnya.

“Kami meminta Presiden RI Joko Widodo untuk melakukan evaluasi total dan tidak menggunakan hasil penyelenggaraan tes wawasan kebangsaan yang cacat moral tersebut untuk menyeleksi pegawai KPK," kata Alissa, Selasa (11/5/2021).

1. Tes wawasan kebangsaan jangan jadi alat menyingkirkan pegawai KPK yang berintegritas

Jaringan GUSDURian Desak Jokowi Evaluasi Tes Wawasan Kebangsaan KPK Dok. Biro Humas KPK

Jaringan GUSDURian juga mengecam sejumlah pertanyaan dalam tes yang bermuatan diskriminasi, melecehkan perempuan, dan berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).

"Komitmen berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 tidak boleh diukur melalui serangkaian pertanyaan yang diskriminatif, rasis, dan melanggar Hak Asasi Manusia," ujar Jaringan GUSDURian dalam poin pertama pernyataan sikapnya.

Oleh karena itu, pada poin ketiga pernyataan sikapnya, Jaringan GUSDURian meminta pemerintah bersikap transparan agar publik tidak curiga tes wawasan kebangsaan itu hanya jadi alat menyingkirkan pegawai KPK yang berintegritas.

"Kami meminta kepada pemerintah agar tidak menjadikan tes wawasan kebangsaan sebagai alat untuk menyingkirkan orang-orang yang mempunyai komitmen dan integritas dalam pemberantasan korupsi. Pemerintah harus bersikap transparan agar tidak menimbulkan kecurigaan adanya penyingkiran terhadap orang-orang yang berintegritas dalam tubuh KPK," tegasnya.

 

Baca Juga: Dinonaktifkan dari KPK, Novel: Tes Wawasan Kebangsaan Bermasalah!

2. Presiden Jokowi dan DPR RI didesak segera mengembalikan independensi KPK

Jaringan GUSDURian Desak Jokowi Evaluasi Tes Wawasan Kebangsaan KPK Dok. Biro Pers Kepresidenan

Tidak hanya itu, Jaringan GUSDURian juga meminta Presiden Jokowi dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) segera mengembalikan independensi KPK.

"Keempat, meminta presiden dan DPR RI untuk mengembalikan independensi KPK karena UU KPK hasil revisi menimbulkan pelemahan yang sangat nyata di tubuh KPK. Sejak berdiri, KPK terbukti mampu menjadi lembaga yang berintegritas dalam memberantas korupsi. Pelemahan terhadap KPK menjadi indikasi berkurangnya komitmen pemberantasan korupsi yang membahayakan masa depan bangsa dan negara," demikian poin keempat pernyataan sikap Jaringan GUSDURian.

3. Jaringan GUSDURian mengajak seluruh masyarakat mengawal upaya pelemahan KPK

Jaringan GUSDURian Desak Jokowi Evaluasi Tes Wawasan Kebangsaan KPK ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Terakhir, Jaringan GUSDURian mengajak seluruh masyarakat mengawal upaya pemberantasan korupsi dan independensi KPK dari pelemahan-pelemahan berupa narasi dan stigma negatif.

Jaringan GUSDURian merupakan wadah kolektif individu, komunitas/forum lokal, dan organisasi yang terinspirasi oleh teladan nilai, pemikiran, dan perjuangan Presiden RI Keempat K. H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

4. Novel Baswedan beberkan sejumlah pertanyaan Tes Wawasan Kebangsaan yang diterimanya

Jaringan GUSDURian Desak Jokowi Evaluasi Tes Wawasan Kebangsaan KPK (Penyidik senior KPK Novel Baswedan ketika diwawancarai khusus) IDN Times/Ashari Arief

Sebelumnya, penyidik senior KPK Novel Baswedan memaparkan sejumlah contoh pertanyaan yang diberikan padanya saat menjalani TWK. Dia masih ingat apa saja pertanyaan dan jawaban yang dilontarkan dalam tes tersebut. 

"Kebetulan saya disebut sebagai salah satu dari 75 pegawai KPK yang katanya tidak lulus TWK tersebut," katanya.

Berikut adalah contoh pertanyaan yang disampaikan kepada Novel beserta jawabannya:

1. Apakah Saudara setuju dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan tarif dasar listrik (TDL)?

Jawaban saya saat itu kurang/lebih seperti ini: " Saya merasa tidak ahli bidang politik dan ekonomi, dan tentunya karena adalah penyidik Tindak Pidana Korupsi, saya lebih tertarik untuk melihat tentang banyaknya dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan listrik negara, dan inefisiensi yang menjadi beban bagi tarif listrik".

2. Bila Anda menjadi ASN, lalu bertugas sebagai Penyidik, apa sikap anda ketika dalam penanganan perkara di intervensi, seperti dilarang memanggil saksi tertentu dan sebagainya?

Saya jawab kurang lebih begini: "Dalam melakukan penyidikan tidak boleh dihalangi atau dirintangi, karena perbuatan tersebut adalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan sebagai seorang ASN, saya tentu terikat dengan ketentuan Pasal 108 ayat 3 KUHAP, yang intinya pegawai negeri dalam melaksanakan tugas mengetahui adanya dugaan tindak pidana wajib untuk melaporkan. Sehingga respon saya akan mengikuti perintah Undang-Undang yaitu melaporkan bila ada yang melakukan intervensi".

3. Apakah ada kebijakan Pemerintah yang merugikan anda?

Saya jawab kurang lebih seperti ini: "Sebagai pribadi saya tidak merasa ada yang dirugikan. Tetapi sebagai seorang warga negara saya merasa dirugikan terhadap beberapa kebijakan Pemerintah, yaitu diantaranya adalah UU No 19/2019 yang melemahkan KPK dan ada beberapa UU lain yang saya sampaikan. Hal itu saya sampaikan karena dalam pelaksanaan tugas di KPK saya mengetahui beberapa fakta terkait dengan adanya permainan/pengaturan dengan melibatkan pemodal (orang yang berkepentingan), yang memberikan sejumlah uang kepada pejabat tertentu untuk bisa meloloskan kebijakan tertentu. Walaupun ketika itu belum ditemukan bukti yang memenuhi standar pembuktian untuk dilakukan penangkapan. Tetapi fakta-fakta tersebut cukup untuk menjadi keyakinan sebagai sebuah pengetahuan. Sebaliknya, bila dijawab bahwa semua kebijakan adalah baik dan saya setuju, justru hal tersebut adalah tidak jujur yang bertentangan dengan norma integritas. Kita tentu memahami bahwa Pemerintah selalu bermaksud baik, tetapi faktanya dalam proses pembuatan kebijakan atau UU seringkali ada pihak tertentu yang memanfaatkan dan menyusupkan kepentingan sendiri atau orang lain hal itu dilakukan dengan sejumlah imbalan (praktik suap) yang akhirnya kebijakan atau output UU tersebut merugikan kepentingan negara dan menguntungkan pihak pemodal (pemberi uang yang berkepentingan).

Baca Juga: Novel Baswedan Dinonaktifkan KPK, Faisal Basri: Oligarki Harus Dilawan

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya