DPD RI: Kasus Karhutla Harus Dirumuskan Melalui Regulasi yang Efektif 

Komite II DPD RI menilai regulasi harus mengikat semua pihak

Jakarta, IDN Times – Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) meminta pemerintah merumuskan regulasi yang efektif untuk menyelesaikan permasalahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang selama ini terus menjadi momok bagi masyarakat Indonesia. Kasus karhutla yang terus terjadi di Indonesia dianggap memunculkan kerugian yang besar bagi masyarakat Indonesia. Selama ini pun penanganan karhutla dilakukan saat kasus kebakaran hutan atau lahan terjadi, bukan pada aspek pencegahan.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum yang membahas mengenai pengawasan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai mengatakan bahwa saat ini Indonesia lebih membutuhkan regulasi tegas yang mengikat semua pihak dalam upaya pencegahan karhutla. Regulasi itu harus melibatkan semua sektor yang berkaitan dengan kawasan hutan dan lahan, baik dari sisi pengelolaan ataupun pelestarian. Selain itu, pemerintah harus dapat membangun sarana prasarana dalam upaya pencegahan dan pemadaman kasus karhutla. 

“Kebakaran hutan ini bukan masalah baru, pemerintah harus membuat satu regulasi khusus tentang bagaimana pencegahan itu. Kalau regulasi sekarang yang dibebankan kepada sektoral, maka itu bukan solusi. Kita lihat kalau ada kebakaran, TNI- Polri dikerahkan, tetapi begitu sampai, siap SDM-nya, sarana dan prasarananya belum ada. Dan kami juga mengusulkan, pemerintah perlu membuat satu badan khusus yang menangani kebakaran hutan,” ucap Yorrys Raweyai.

1. Karhutla menjadi bencana rutin setiap tahun yang begitu mengkhawatirkan

DPD RI: Kasus Karhutla Harus Dirumuskan Melalui Regulasi yang Efektif shutterstock.com/Jackal Yu

Wakil Ketua Komite II Bustami Zainudin mengatakan bahwa kasus karhutla di Indonesia selalu berulang tiap tahunnya. Ia pun menilai, sampai saat ini tidak ada penanganan serius dari pemerintah. Dalam lima tahun terakhir, luas karhutla secara nasional mencapai hampir 4,5 juta ha lebih. Kebakaran terbesar ialah tahun 2015 yang mencapai 3 juta ha, tahun 2016 seluas 438.363 ha, tahun 2017 mencapai 165.484 ha, tahun 2018 seluas 510.564 ha, dan tahun 2019 350.000 ha.

“Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena karhutla sudah menjadi bencana rutin setiap tahun, sementara penanganannya cenderung terlambat,” tutur Bustami.

Senator dari Provinsi Lampung ini melanjutkan, kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada Januari-September 2019 diperkirakan mencapai Rp66,3 triliun. Kerugian tersebut lebih kecil dibandingkan kebakaran tahun 201 yang mencapai Rp221 triliun. Jika luas kebakaran hutan tahun 2019 sekitar 11,6 persen dari total luas kebakaran pada 2015, besaran kerugian ekonomi pada kebakaran hutan tahun 2019 adalah 30 persen dari besaran kerugian pada kebakaran hutan 2015. 

“Dengan kata lain, tingkat kerugian akibat kebakaran hutan tahun 2019 lebih besar dibanding 2015,” imbuhnya.

2. Karhutla begitu merugikan Indonesia

DPD RI: Kasus Karhutla Harus Dirumuskan Melalui Regulasi yang Efektif IDN Times/DPD RI

Senada, narasumber yang hadir dalam RDPU Komite II, Dradjad Hari Wibowo, mengatakan, kasus karhutla sangat merugikan negara Indonesia. Penanganan pemerintah atas kasus karhutla dinilai tidak serius dan tidak efektif. Dirinya menganggap penanganan karhutla tidak diimbangi dengan sumber daya yang dapat dimanfaatkan pemerintah daerah di wilayah tersebut. Selain itu, tidak ada tindakan tegas atas pelaku pembakaran hutan dan lahan.

“Itu menunjukkan penanganan karhutla dan bencana asap kurang efektif. Penanganan lebih kepada pencitraan penegakan hukum. Sekian perusahaan sudah kita tindak, itu biasanya yang ditekankan. Pemprov dan pemkab/pemkot kurang intensif terlibat karena kurang sumber daya dan dana. Penanganan bias ke tahun terjadinya bencana asap. Jadi budget ngucur saat terjadinya bencana, ketika tidak ada bencana, lembaga klaim digunakan untuk memperbaiki sistem,” kata Dradjad. 

3. Karhutla menyumbang emisi karbon terbesar

DPD RI: Kasus Karhutla Harus Dirumuskan Melalui Regulasi yang Efektif IDN Times/DPD RI

Secara terpisah, Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menjelaskan bahwa kasus karhutla membuat Indonesia menjadi salah satu negara emiter karbon terbesar di dunia. Dirinya memfokuskan pada pengurangan deforestasi dan pembakaran untuk pembukaan lahan. Untuk diketahui, saat ini banyak industri yang menggunakan pembakaran untuk land clearing.

“Setiap tahun di musim kering kita punya permasalahan. Deforestasi dan kebakaran hutan menyumbang emisi karbon terbesar. Tanpa adanya pengurangan deforestasi, Indonesia tidak akan bisa memenuhi komitmen pengurangan emisi karbon,” ucap Leonard.

Topik:

  • Ezri T Suro

Berita Terkini Lainnya