Lawan Stigma Negatif Terhadap Pasien COVID-19 dengan 4P

Masyarakat butuh edukasi tentang COVID-19 yang utuh

Jakarta, IDN Times - Sejak awal 2020, virus corona sudah melanda beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Sejak itu pula, stigma negatif dari masyarakat terhadap pasien COVID-19 muncul dan memengaruhi lingkungan masyarakat.

Stigma sosial dalam masyarakat ini kerap menyudutkan pasien positif COVID-19, keluarga pasien, hingga petugas medis. Masyarakat cenderung akan menjauhi dan menunjukkan perilaku kurang baik terhadap penyintas dari stigma negatif tersebut.

Namun, stigma negatif dari masyarakat ini justru memperkeruh keadaan lingkungan masyarakat. Hingga bisa memperparah kondisi mental penyintas yang menerima stigma negatif.

“Karena stigma ini dilekatkan pada penderita, keluarga penderita atau bahkan petugas kesehatan. Sehingga itu akan membuat beberapa gangguan pada orang-orang tersebut,” ujar Pengamat Sosial Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati saat dihubungi IDN Times, Kamis (13/10/2020).

Baca Juga: Hindari Stigma, Yuri: Pasien Sembuh COVID-19 Gak akan Tularkan Virus

1. Stigma negatif masyarakat lebih menakutkan dibanding virus corona

Lawan Stigma Negatif Terhadap Pasien COVID-19 dengan 4PIlustrasi Swab Test (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Manusia mempunyai kecenderungan merasa takut pada hal-hal baru yang belum diketahui. Hal ini menjadi penyebab munculnya stigma sosial dalam masyarakat terhadap sesuatu yang berbeda dan belum diketahui.

Devie mengatakan, pimpinan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah mengatakan bahwa stigma dalam masyarakat lebih menakutkan dibandingkan virus corona. Karena stigma sosial ini akan memengaruhi lingkungan masyarakat dan psikologis penyintas yang terdampak stigma.

Dampanya, penyintas yang terdampak stigma akan merasa terisolasi dan terbuang dari lingkungan masyarakatnya. Sehingga, hal ini akan memengaruhi psikologis dan membuat imun kesehatan dalam tubuhnya akan menurun.

“Kemudian, ini juga akan mengganggu hubungan sosial mereka. Sosial psikologisnya juga akan terganggu. Mereka nanti akan menutup diri, bahkan menjadi lebih sensitif dan cenderung akan lebih emosional,” ujar Devie.

Menurut dia, stigma negatif terhadap pasien COVID-19 ini tidak hanya terjadi pada masyarakat di Indonesia saja. Melainkan kepada masyarakat di berbagai negara yang juga menghadapi pandemik.

“Jadi jangan berpikir ini adalah penyakit masyarakat Indonesia, tidak. Ini terjadi di seluruh negara dunia, makanya pimpinan WHO sampai mengatakan hal tersebut,” ujar Devie.

2. Stigma dapat tumbuh dalam keluarga dan pertemanan

Lawan Stigma Negatif Terhadap Pasien COVID-19 dengan 4PRapid test HIPMI di Jabar. (Dok. IDN Times/Istimewa)

Berdasarkan psikologis, kata Devie, manusia akan cenderung untuk hidup dalam lingkungan yang sama dengan kepribadiannya. Seperti halnya, manusia akan memiliki lingkaran pertemanan dengan sifat dan perilaku yang sama.

Devie mengatakan, hal ini terjadi karena manusia biasanya akan mencari kenyamanan dengan hal-hal yang sama. Mulai dari pemikiran, gaya hidup, pengetahuan, hingga pola kehidupan yang sama.

“Nah, ini yang kemudian membuat biasanya agak sulit untuk mematahkan stigma masyarakat. Karena dalam satu komunitas (lingkungan masyarakat) itu cenderung punya pola, cara berpikir, dan pengetahuan yang sama,” kata dia.

Menurut Devie, menjadi tidak heran bila stigma sosial, bahkan perilaku diskriminasi, sering terjadi dalam keluarga. Sehingga akan sulit diperbaiki jika dari dalam lingkaran keluarga sudah memiliki stigma negatif, hingga perilaku diskriminatif tersebut.

“Makanya, titik kritisnya adalah pengaruh tokoh-tokoh masyarakat untuk memberikan edukasi dan pengaruh positif dalam masyarakat. Sehingga masyarakat menjadi mengikuti hal positif ini,” kata dia.

3. Stigma masyarakat dapat dilawan dengan 4P

Lawan Stigma Negatif Terhadap Pasien COVID-19 dengan 4PIlustrasi suasana pandemik covid-19 di El Salvador, Amerika (ANTARA FOTO/REUTERS/Jose Cabezas)

Devie mengatakan, stigma negatif masyarakat dapat dilawan dengan penerapan 4P, yakni pengetahuan, penglihatan, pengalaman, dan penyebaran informasi yang sesuai dengan fakta.

Masyarakat menjadi takut dengan virus corona, lantaran mereka belum memiliki pengetahuan yang utuh mengenai virus mematikan ini dan juga tidak pernah melihat pasien positif COVID-19 secara langsung. Sehingga, masyarakat juga tidak memiliki pengalaman dalam menghadapi virus corona.

“Kenapa masyarakat tidak takut dengan penyakit demam berdarah? Karena mereka pernah melihatnya, mereka juga punya informasi yang utuh tentang demam berdarah, dan mereka punya pengalaman dengan penyakit ini,” ujar Devie.

Devie juga mengatakan, pengaruh media sangat penting dalam memberikan informasi untuk mengedukasi masyarakat. Menurutnya, banyak sekali informasi hoax yang beredar dalam masyarakat selama pandemik COVID-19.

“Nah berita hoax ini yang membanjiri pikiran masyarakat. Sehingga akhirnya, atas nama diri dan keluarga, mereka menjauhkan diri dari potensi bahaya tersebut. Jadi niatnya baik sebenarnya,” pungkas Devie.

Baca Juga: [OPINI] Kesehatan Mental: Stigma, Glorifikasi, Self-diagnosis

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya