Intimidasi Mimbar Akademik soal Pemakzulan, Penanda Rezim Antikritik?

Skor kebebasan berekspresi di era Jokowi terus merosot

Jakarta, IDN Times - Diskusi yang diselenggarakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) yang tergabung dalam Constitutional Law Society (CLS) pada Jumat (29/5) lalu, terpaksa dibatalkan. Musababnya, panitia maupun narasumber pemateri yakni guru besar hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Ni'matul Huda, mendapat serangan teror.

Aksi teror itu terjadi serangkaian bahkan hingga berbentuk ancaman pembunuhan. Hal ini tidak lepas dari tema yang diangkat webinar itu yakni, 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'. Tajuk-tajuk yang kalau di era Orde Baru pastilah dicap "subversif".

Persoalannya, kita sudah bukan di era Orde Baru dengan rezim antikritik di mana demokrasi karena kebebasan berpendapat yang dibatasi, bahkan cenderung tertutup rapat. Sejak reformasi, setiap pasal tentang kebebasan berpendapat, berekspresi baik bagi pers maupun masyarakat umum, mulai diagungkan. 

Undang-Undang Dasar 1945 yang telah mengatur terkait kebebasan berpendapat bagi setiap individu. Pasal 28E Ayat (3) menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Ada juga Pasal 28F UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Masih ada pula Pasal 23 Ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang berbunyi: Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.

22 tahun berlalu sejak reformasi dimulai, bagaimana kondisi demokrasi Indonesia hari ini? Kejadian seperti aksi teror terhadap mimbar akademik yang bertema kritik terhadap pemerintahan telah mengingatkan kita akan hawa-hawa Orde Baru. Benarkah pemerintahan Jokowi antikritik dan alergi dengan tema-tema pemakzulan karena takut ditumbangkan rakyat?

1. Survei Setara Institue menunjukan skor kebebasan berekspresi di era Jokowi terus merosot

Intimidasi Mimbar Akademik soal Pemakzulan, Penanda Rezim Antikritik?(Dok.Arief Rahmat)

Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani menyebut teror di mimbar akademik UGM merupakan alarm bagi demokrasi Indonesia. Meski pemerintah mengaku tidak terlibat pada teror tersebut, Ismail mengatakan, negara menjadi pihak yang diuntungkan jika langkah solutif tidak pernah dilakukan.

“Pemasungan kebebasan ini adalah bentuk penghancuran literasi dan ilmu pengetahuan yang berdampak terhadap kualitas demokrasi. Jika pemerintah tidak mengambil langkah solutif, pemerintah bisa dianggap menikmati seluruh tindakan persekusi dan koersif warga dalam berbagai peristiwa,” kata Ismail sebagaimana tertuang dalam keterangan tertulis yang diterima IDN Times, Selasa (2/6).

Setara Institute mencatat skor kebebasan berekspresi pada era Presien Jokowi terus merosot. Pada survei yang dilakukan 2019, sepanjang periode pertama pemerintahan Jokowi, skor kebebasan berekspresi hanya 1,9, dari skala 1 sampai 7. Rapor merah lainnya adalah dari 11 variabel hak asasi manusia (HAM) yang dievaluasi, rata-rata skornya 3,2.

“Rendahnya skor untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat ini didukung oleh data pelanggaran yang serius, seperti 204 peristiwa kriminalisasi individu, pemblokiran 32 media online, 961.456 pemblokiran situs internet dan akun media sosial, tujuh pembubaran diskusi, pelarangan buku, dan penggunaan delik makar yang tidak akuntabel untuk menjerat sekurang-kurangnya tujuh warga negara,” papar Ismail.

Setara Institute menyarankan supaya pemerintah mengedepankan prinsip demokrasi deliberatif, dengan demikian seluruh elemen negara ikut terlibat dalam menyelesaikan persoalan bangsa.

“Perspektif yang beragam dan pembahasan suatu perkara harus diberikan ruang aman untuk diekspresikan. Ketakutan tidak berdasar terkait makar terhadap pemerintahan yang berkuasa tidak sepatutnya menjadi pembenaran praktik pembungkaman ini. Setiap suara memiliki kesempatan untuk hidup di tengah masyarakat tanpa represi,” kata dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Karena diskusi tergolong sebagai kebebasan berekspresi yang dijamin dalam HAM, Setara Institute mendesak penegak hukum untuk mengusut siapa dalang di balik teror, sehingga diskusi tersebut batal diselenggarakan.

“Negara tidak dapat melakukan pembiaran di tengah situasi yang menunjukkan adanya pelanggaran kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Sikap proaktif negara diperlukan untuk menunjukkan bahwa elemen negara atau organ lain yang disponsori negara tidak berada di balik peristiwa persekusi akademik di UGM,” kata Ismail.

Baca Juga: Indikator: Kepuasan Terhadap Demokrasi Terburuk selama 16 Tahun

2. Deretan kasus antikritik yang harus berurusan dengan pasal karet UU ITE

Intimidasi Mimbar Akademik soal Pemakzulan, Penanda Rezim Antikritik?Ravio Patra melapor atas kasus peretasan WhatsApp (Dok. Istimewa)

Selain kasus intimidasi terhadap diskusi di UGM, masih banyak lagi kasus berhawa represif lainnya. Pada bulan Maret lalu, polisi menggerebek kamar kos mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Mohammad Hisbun Payu, di kawasan Laweyan, Kota Surakarta.

Di akun Instagramnya, Hisbun Payu menyebut Jokowi sebagai "presiden laknat" karena kebijakannya yang menurut dia, lebih mementingkan investasi ketimbang kesejahteraan rakyat. Ia geram atas berbagai kebijakan Jokowi yang dinilainya menempatkan pembangunan perekonomian sebagai prioritas utama.

Sebulan kemudian, sebuah kasus yang menyita perhatian publik adalah soal penangkapan aktivis Ravio Patra. Dia dikenal kerap mengkritik kebijakan Presiden Jokowi. Akun WhatsApp Ravio diretas oleh entah siapa. Sekonyong-konyong, tersebar pesan ajakan untuk melakukan penjarahan nasional yang terkirim dari akun WhatsApp Ravio. Alat bukti tersebut kemudian dijadikan polisi untuk menangkapnya.

Penetapan tersangka juga pernah terjadi kepada aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) sekaligus pengacara mahasiswa Papua Veronika Koman. Wanita kelahiran Medan, 14 Juni 1988 ini adalah seorang pengacara dan pegiat HAM dan dikenal sebagai sosok yang berani untuk mengungkap isu-isu pelanggaran HAM di Bumi Cendrawasih itu.

Veronika sempat dijadikan tersangka karena dugaan provokasi dan penyebaran informasi bohong tentang insiden asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Ia diduga terlibat aktif menyebarkan informasi di media sosial bernada provokasi, terutama lewat akun Twitter pribadinya. Dia mencuitkan sejumlah seruan mobilisasi aksi ke jalan di Jayapura dan sejumlah kota di Papua.

Dalam semua kasus itu, polisi menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang penghinaan dan pencemaran nama, serta Pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang ujaran kebencian. Kedua pasal karet itu mudah disalahgunakan dengan dalih penghinaan, pencemaran nama baik, ataupun menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan yang ditafsirkan secara sepihak oleh aparat penegak hukum.

3. Pengamat menilai pemerintah parno terhadap kritik rakyat karena kegagalan dalam kebijakan

Intimidasi Mimbar Akademik soal Pemakzulan, Penanda Rezim Antikritik?Presiden Jokowi dan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju (Dok. Kemendagri)

Sementara itu, Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komaruddin melihat banyak persoalan yang dihadapi oleh pemerintah terkait sejumlah kebijakannya yang dinilai tidak prorakyat.

Misalnya revisi UU KPK yang memantik kericuhan menjelang akhir tahun lalu. Setalah itu, ada UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang baru disahkan pada 13 Mei lalu yang menuai banyak polemik. Ada juga Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemik COVID-19 yang banyak diperdebatkan publik.

Dia mengatakan kegagalan tata kelola pemerintahan juga membuat rezim hari ini menjadi ketakutan apabila mendapat masukan atau kritik dari masyarakat, termasuk mahasiswa.

“Nah akumulasi ketidakpercayaan ini sesungguhnya membuat pemerintah tidak pede. Saat itu lah ketika ada masyarakat berwacana tentang demokrasi dan terkait persoalan pemakzulan itu akhirnya diintimidasi. Karena dipemerintahnya banyak persoalan, banyak masalah. Kalau pemerintahnya bagus, tidak ada persoalan maka akan pede, dibiarkan (kritik) itu. Logikanya sederhana saja,” kata Ujang saat dihubungi IDN Times, Rabu (3/5).

Daripada melakukan tindakan yang represif dengan melakukan intimidasi dan teror, Ujang meminta kepada pemerintah agar memperbaiki kinerjanya yang dinilai saling tumpang tindih dengan pembantunya di kabinet Indonesia Maju.

“Sederhana, bekerja dengan baik untuk rakyat. bukan bekerja baik untuk kepentingan kelompok. Kalau negara ini, pemerintah ini bekerja baik untuk rakyat, bangsa dan negara saya kira masyarakat akan mendukung,” ujarnya.

Oleh karena itu, Ujang menyayangkan intimidasi dan teror yang terjadi pada penyelenggara dan narasumber diskusi yang digelar CLS Fakultas Hukum UGM. Dia menyebut kritikan dari mahasiswa adalah pil pahit yang harus ditelan pemerintah sebagai upaya koreksi dan pengawasan. Intimidasi yang dilakukan justru malah menandakan rezim hari ini sebagai anti demokrasi dan sangat berbahaya untuk pemerintah itu sendiri.

“Mimbar akademik harus dijaga, itu kan hanya wacana (pemakzulan) dan tetap harus dijaga oleh siapapun. Yang tidak boleh itu dalam bentuk action dengan cara-cara inkonstusional. Jadi sesungguhnya ketika mereka mengemukakan pendapatnya di kampus, diskuis melalui jaringan online di mimbar akademik itu itu dijamin sama konstitusi pasal 28 E. Jadi kalau ada ancaman pembunuhan, intimidasi, kalau menurut saya suatu hal yang berlebihan dan akan membahayakan demokrasi,” tuturnya.

Baca Juga: Ramai Dibicarakan, Ini Tahap Proses Pemakzulan Presiden

4. Istana bantah Jokowi antikritik, initimidasi dilakukan subkekuasaan yang ambil hati atasan

Intimidasi Mimbar Akademik soal Pemakzulan, Penanda Rezim Antikritik?Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di Kompleks Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis 12 Maret 2020 (IDN Times/Teatrika Handiko Putri)

Menanggapi sejumlah kritik yang dialamatkan kepada pemerintah, Staf Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Donny Gahral Adian angkat bicara. Ia menegaskan bahwa pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo tidak pernah menggunakan kekuasaannya secara represif, untuk mematikan kebebasan berekspresi dan berpendapat setiap individu.

Dia menilai tindakan intimidasi itu dilakukan oleh sub kekuasaan untuk dapat mengambil hati penguasa, dalam hal ini Presiden Jokowi.

“Kalau saya bisa dikatakan yakin ya yakin bahwa itu bukan ulah kekuasaan resmi. Itu ulah sub-subkekuasaan partikelir yang berupaya untuk mengambil hati pemegang kekuasaan, demi reputasi dan mobilisasi politik,” kata Donny dalam diskusi daring bertajuk Teror dalam Ruang Demokrasi, Rabu (3/6).

Dia menjelaskan, kekuasaan itu terbagi menjadi dua golongan yaitu kekuasaan gelap dan terang. Kekuasaan terang, lanjut dia, kerap ditunjukkan oleh rezim Orde Baru dengan mendatangkan aparat yang bertujuan membubarkan forum diskusi. Sedangkan kekuasaan gelap biasanya kerap dilakukan dengan operasi intelijen yang tak terlihat, namun mematikan seperti penculikan.

“Saya percaya bahwa pemerintah tidak melakukan cara-cara hitam dan putih juga, artinya tidak menggunakan kekuasaan gelap dan terang untuk melumpuhkan demokrasi. Karena kita tahu bahwa pemerintah setelah reformasi tidak ada yang kuat,” ujarnya.

Donny melanjutkan, dukungan politik dari koalisi kepada pemerintahan Jokowi juga tidak sekuat pada periode pertama. Faktor periode kedua dan presiden tidak memiliki partai sangat memperlihatkan defisit hubungan politik telah terjadi saat ini.

“Ini baru 2020 tapi kita lihat bagaimana partai-partai pendukung itu dalam berbagai kebijakan juga ikut menjadi oposisi. Bahkan pendukung Pak Jokowi yang militan di 2019 sekarang juga bisa berbeda pandangan akibat COVID-19, mulai dari dan kebijakan prakerja, Perppu Nomor 1. Maka pemerintahan Jokowi tidak sekuat, seagresif, serepresif, seganas yang dipikirkan,” tuturnya.

Tidak hanya itu, banyak lembaga yang bekerja untuk mengawasi pemerintah. Oleh sebab itu pemerintah tidak bisa sewenang-wenang atau memanfaatkan kekuasaannya (abuse of power) untuk melakukan intimidasi kepada kelompok tertentu.

“Karena kita tau bahwa pemerintah setelah reformasi tidak ada yang kuat. Pertama pengawasnya banyak, baik itu pengawas formal di parlemen, partai politik dan fraksinya, maupun yang ada di civil society yang sekarang jumlahnya berkecambah,” tuturnya.

Donny pun meminta permasalahan ini segera diusut oleh pihak berwajib, untuk memastikan apakah benar telah terjadi abuse of power oleh pemerintah saat ini. "sehingga terang benderang siapa yang meneror, apa motivasinya, dan kemudian bisa diproses lebih lanjut.”

“Jadi kemudian kalau disimpulkan Pemerintah Jokowi itu membelenggu, membatasi kekuasaan hanya dengan indikator ada teror itu, saya kira terlalu jauh," kata dia lagi. 

5. Kegaduhan soal pemakzulan

Intimidasi Mimbar Akademik soal Pemakzulan, Penanda Rezim Antikritik?Din Syamsuddin (IDN Times/Zainul Arifin)

Kejadian teror terhadap mahasiswa UGM telah mencuatkan tema tentang pemakzulan. Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin juga ikut menanggapi soal pemakzulan seorang pemimpin dalam versi politik Islam. Menurut Din sapaan akrabnya, ada tiga syarat yang mengharuskan seorang pemimpin dilengserkan dari jabatannya, dengan mengutip tokoh pemikir politik Islam, Al Mawardi.

Hal tersebut disampaikan Din saat menggelar seminar daring dengan tema "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden Era Pandemik COVID-19", yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama).

“Pertama ada ketiadaan keadilan. Jika sudah tidak adil di kalangan warga negaranya, ada kesenjangan sosial ekonomi. Ini sangat asasi sekali, karena itu syarat utama pemimpin, itu sudah bisa dimakzulkan,” kata Din dalam seminar tersebut, Senin (1/6).

Kedua, lanjut Din, pemakzulan bisa terjadi pada seorang pemimpin yang tidak memiliki ilmu pengetahuan. Hal tersebut bisa dilihat dari visinya tentang cita-cita dalam hidup berbangsa dan bernegara.

“Kalau ada pembungkaman kampus, pembungkaman kegiatan akademik, pembrangusan mimbar akademik, itu bertentangan secara esensial dengan mencerdaskan kehidupoan bangsa. Sebaliknya, itu adalah kebodohan kehidupan bangsa,” ujar dia.

Ketiga, dosen Politik Islam FISIP UIN Syarif Hidayatulah ini melanjutkan, pemakzulan bisa terjadi apabila seorang pemimpin tidak mampu memberikan solusi dalam situasi kritis. Pemimpin tersebut juga kehilangan kewibawaanya, karena tertekan kondisi yang sulit untuk dihadapi.

“Seperti dalam hubungan internasional, ketika kita kehilangan kedaulatan karena tunduk pada asing itu,” kata dia.

Lebih jauh, Din melihat kehidupan bernegara sekarang ini lebih cenderung pada sistem diktator yang anti-kritik, dan kerap memberangus kebebasan demokrasi rakyat. Mengutip tokoh pemikir politik Islam asal Lebanon, Rasyid Ridha, pada abad ke-20, pemimpin otoriter harus dilawan karena dapat berbahaya bagi kehidupan bersama, contohnya melanggar konstitusi.

“Saya melihat kehidupan negara kita akhir-akhir ini membangun kediktatoran konstitusional yang bersemayam di balik konstitusi. Seperti ada produk Perppu jadi undang-undang dan sejumlah kebijakan lain,” tutur Din.

Baca Juga: Pemakzulan Jokowi karena Penanganan COVID-19? Ini Kata Pakar Hukum

6. Pakar hukum tata negara jelaskan rumitnya pemakzulan di sistem presidensial

Intimidasi Mimbar Akademik soal Pemakzulan, Penanda Rezim Antikritik?Anggota kuasa hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Denny Indrayana (kiri) dan Bambang Widjojanto (kanan). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak)

Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana memberikan penjelasan mengenai alur pemakzulan (impeachment) seorang presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.

Dia menjelaskan, alur pemakzulan di mulai dari forum di DPR yang kemudian dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK), lalu disahkan setelah mendapatkan persetujuan oleh MPR. Menurut Denny, sangat sulit memakzulkan seorang presiden di Indonesia yang menganut sistem presidensial.

Dia menyebut ada perbedaan mekanisme pemberhentian presiden setelah amandemen ketiga UUD 1945 yang dahulu dinilainya bersifat politis, misalnya melanggar Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sementara dalam UUD 1945 saat ini, pemecatan kepada presiden bisa terjadi apabila terlibat pelanggaran hukum dan tindak korupsi yang terbukti dilakukan oleh seorang presiden.

Proses pemakzulan dimulai dari DPR melalui proses hak angket hingga berlanjut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam proses ini saja, kata dia, sudah sangat sulit dilanjutkan mengingat kekuatan koalisi partai pemerintah yang sangat besar di lembaga legislatif.

Dalam Pasal 7B Ayat 3, dijelaskan syarat forum permintaan DPR ke MK harus dengan dukungan dan kehadiran anggota sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang ada di parlemen.

“Kalau kita menghitung sekarang kekuatan koalisi Presiden Jokowi, maka dengan opisisi yang tinggal PKS dan Demokrat bisa kita duga hitung-hitungannya ditolak DPR. Maka baru pada tahap pertama saja sudah presiden aman,” kata Denny dalam sebuah diskusi daring dengan tema Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden Era Pandemik COVID-19, Senin (1/6).

Seandainya DPR menyetujui untuk melakukan pembahasan di MK, belum tentu pemkazulan langsung diloloskan. Denny mengatakan ada kemungkinan dalam tahapan ini, pendapat DPR didengarkan atau bahkan ditolak.

“Kemudian ada sidang lagi walaupun MK bilang presiden melakukan tindak pidana sesuai impeachment, belum tentu presiden diberhentikan. Bisa saja di MK dianulir dengan pemberhentian secara poltiis di MPR,” ujarnya.

Mantan wakil menteri hukum dan HAM ini mengatakan, proses pemakzulan seorang presiden di MPR kerap menjadi perdebatan karena banyak terdapat unsur politis. Pembahasan di tingkat MPR lebih sulit karena membutuhkan sekurang-kurangnya harus dihadiri oleh 3/4 anggota dan disetujui oleh 2/3 dari total keseluruhan anggota MPR.

“Syaratnya lebih sulit dibanding di DPR. Pada tahap pertama saja di DPR dengan koalisi besar Jokowi sudah aman untuk melanjutkan pemerintahan kecuali ada perbedaan peta politik,” tutur Denny.

“Seharusnya keputusan di MK itu yang final, tidak diubah lagi secara politis karena telah melalui perdebatan panjang (di DPR),” lanjutnya.

Baca Juga: Tragedi Hukum dan Demokrasi di Era Jokowi

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya