Mengenal Judicial Review, Alat Hukum untuk Gagalkan UU Cipta Kerja

Ada empat pihak yang bisa mengajukan uji materi ke MK

Jakarta, IDN Times - Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang telah disahkan DPR pada Senin, 5 Oktober 2020, masih mendapat penolakan dari sejumlah elemen masyarakat. 

Selain menyampaikan penolakan melalui demonstrasi, ada juga beberapa pihak yang memilih alternatif lain dengan menempuh jalur hukum melalui judicial review (JR) atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Presiden Joko “Jokowi” Widodo pun secara terbuka mempersilakan pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan undang-undang ini, untuk menempuh lewat jalur konstitusi. Mereka yang akan mengajukan judicial review ke MK antara lain Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Koalisi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Lalu, apa sih yang dimaksud dengan istilah judicial review ke MK yang disebut-sebut sebagai satu-satunya alat hukum yang bisa membatalkan UU Cipta Kerja?

Baca Juga: Jawab Desakan KSPI, Demokrat Siap Tempuh Legislatif Review UU Ciptaker

1. Ada empat pihak yang bisa mengajukan judicial review ke MK

Mengenal Judicial Review, Alat Hukum untuk Gagalkan UU Cipta KerjaIlustrasi Mahkamah Konstitusi (Dok. Istimewa)

Judicial review adalah suatu cara untuk menguji undang-undang yang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dapat dilakukan MK.

Pemohon yang dapat mengajukan judicial review adalah pihak-pihak yang menganggap hak atau kewenangannya konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, antara lain perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara.

2. Pemohon akan menjalani sidang judicial review setelah 14 hari dari tanggal diterimanya berkas permohonan

Mengenal Judicial Review, Alat Hukum untuk Gagalkan UU Cipta KerjaIlustrasi (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Perihal prosedur pengajuan perkara judicial review ke MK, pemohon bisa langsung datang ke gedung MK Jakarta atau mendaftar secara daring melalui situs resmi http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/.

Jika judicial review telah diajukan ke MK, maka pihak panitera akan melakukan pemeriksaan berkas-berkas terlebih dahulu. Jika belum lengkap, maka panitera akan memberitahu dan pemohon berkewajiban untuk melengkapi berkas tersebut tujuh hari sejak diberitahukan panitera.

Setelah berkas permohonan judicial review masuk, maka dalam 14 hari kerja setelah registrasi ditetapkan hari sidang I (kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu) akan ditetapkan jadwal sidang. Para pihak berperkara kemudian diberitahu atau dipanggil, dan jadwal sidang perkara tersebut diumumkan kepada masyarakat.

3. Judicial review terbagi menjadi dua jenis, uji formil dan uji materiil

Mengenal Judicial Review, Alat Hukum untuk Gagalkan UU Cipta KerjaMantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Jimly Asshiddiqie dalam kegiatan Seminar dan Lokakarya Nasional Refleksi Implementasi Fungsi Mediasi di Indonesia di The Sultan Hotel Jakarta Kamis (12/12/2019) (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Mantan Ketua MK Profesor Jimly Asshiddiqie menyebutkan, judicial review terbagi menjadi dua jenis, yaitu uji formil dan uji materiil. Uji formil bisa dilakukan jika dalam pembentukan sebuah undang-undang dinilai melanggar ketentuan UUD 1945. Misalnya saja, tidak melibatkan masyarakat dalam proses pembentukannya.

"Kalau pengujian materiil, yang materi tertentu saja yang dinilai bertentangan dengan konstitusi dinyatakan tidak berlaku. Tapi kalau pengujian formil seluruhnya undang-undang itu bisa dinyatakan tidak berlaku,” kata Jimly saat dihubungi IDN Times, Selasa (13/10/2020).

4. Putusan MK bersifat norma peraturan, maka bisa langsung diimplementasikan keputusannya

Mengenal Judicial Review, Alat Hukum untuk Gagalkan UU Cipta KerjaKetua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak)

Jimly menjelaskan, putusan MK lain dengan putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Agama, dan Mahkamah Agung. Sebab, keputusan MK bersifat norma peraturan, bukan keputusan konkret seperti putusan lembaga peradilan lainnya.

Karena itu, jika MK mengabulkan gugatan masyarakat terkait undang-undang, maka tidak perlu adanya eksekusi seperti putusan sidang Pengadilan Negeri, PTUN, Pengadilan Agama, dan Mahkamah Agung.

“Jadi putusan MK itu kalau dia mengabulkan dalam hal judicial review, persis sama kaya undang-undang, tidak perlu eksekusi, yang diperlukan impelementasi. Siapa saja yang tidak menjalankan ketentuan undang-udndang sebagaimana telah diubah oleh MK, ya melanggar undang-undang. Itu otomatis,” kata Jimly, menegaskan.

Baca Juga: Beda dari Demokrat-KSPI, PKS Pesimis Legislative Review UU Cipta Kerja

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya