Pilkada 2020 dan Ancaman Ledakan Klaster COVID-19 di Depan Mata

Benarkah Pilkada akan bebas klaster COVID-19?

Jakarta, IDN Times - Pandemik COVID-19 yang menghantam Indonesia belum juga menunjukkan tingkat penurunan jumlah kasus. Bahkan, sebulan terakhir kasus positif meningkat signifikan. Tak hanya dari sektor kesehatan, wabah ini juga berdampak di sektor lain seperti ekonomi, sosial, bahkan politik. 

Di sektor politik, kini tengah berlangsung pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) Serentak yang akan berlangsung pada 9 Desember 2020. Pesta demokrasi lima tahunan ini sempat tertunda akibat pandemik, dari yang sebelumnya direncanakan digelar 23 September 2020. 

Menjelang tahapan penetapan pasangan calon, desakan penundaan Pilkada 2020 terus menguat. Banyak kalangan menilai kontestasi calon kepala daerah terlalu berisiko terjadi penularan virus corona lebih masif, mengingat kasus masih tinggi. Namun usulan itu tak digubris, pemerintah, penyelenggara pemilu, dan DPR sepakat tahapan pilkada terus dilanjutkan. 

Tak ada jaminan pilkada akan bebas dari virus corona, ketiga pihak tersebut hanya mengandalkan aturan protokol kesehatan. Padahal, pada kenyataannya pada tahapan awal pilkada, ratusan orang terpapar COVID-19. Mulai dari penyelenggara hingga peserta Pilkada 2020 satu per satu poisitif virus mematikan itu. 

Lalu, bagaimana sebaiknya penyelanggaraan Pilkada 2020 yang berlangsung di tengah pandemik COVID-19 ini harus dilaksanakan?

Baca Juga: Luhut VS COVID-19: Menang atau Tumbang?

1. Mahfud MD sebut tidak ada alasan yang meyakinkan untuk menunda kembali Pilkada 2020

Pilkada 2020 dan Ancaman Ledakan Klaster COVID-19 di Depan MataMenkopolhukam Mahfud MD dalam acara peringatan delapan tahun Undang-undang Keistimewaan (UUK), Senin (31/8/2020). IDN Times/Tunggul Damarjati

Pemerintah menjadi pihak yang paling ngotot agar Pilkada Serentak 2020 tetap digelar, meskipun dalam bahaya pandemik COVID-19. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menegaskan, tidak ada alasan yang cukup meyakinkan untuk melakukan penundaan kembali Pilkada.

“Pemerintah sudah menyatakan tidak akan ditunda, karena apa? Karena sampai hari ini paling tidak, tidak ada alasan yang cukup meyakinkan (menunda Pilkada),” kata Mahfud dalam sebuah sesi diskusi daring, Jumat, 11 September 2020.

Dia menjelaskan, jika alasannya adalah karena pandemik COVID-19, maka tidak ada yang mengetahui sampai kapan wabah ini akan berakhir. Sehingga nantinya akan menjadi permasalahan bagi pemerintahan di sejumlah daerah, karena adanya kekosangan kepala daerah yang rata-rata masa jabatannya akan berakhir pada Februari 2021.

“Karena kalau alasannya pandemik terus apa tidak ada pemerintahan, kalau ada pandemik. Semua mau bersembunyi itu kan tidak bisa juga, pemerintahan kan harus jalan,” ujar Mahfud.

Oleh sebab itu, ia mengimbau kepada seluruh calon kepala daerah dan penyelenggara pilkada untuk melaksanakan pesta demokrasi tersebut dengan mematuhi protokol kesehatan secara ketat.

“Jadi Pilkadanya di daerah pandemik itu, satu, menjaga protokol kesehatan seketat-ketatnya. Kedua, demokrasinya berkualitas. Ketiga, tidak boleh ada korupsi,” kata Mahfud.

2. Jika tetap ngotot menggelar Pilkada, sebaiknya pemerintah segera menerbitkan Perppu

Pilkada 2020 dan Ancaman Ledakan Klaster COVID-19 di Depan MataDeretan Tokoh dan Lembaga Negara yang Mendesak Pilkada 2020 ditunda (IDN Times/Arief Rahmat)

Berbeda dengan Mahfud, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menyarankan agar Pilkada 2020 tetap ditunda untuk sementara waktu. Penundaan yang dimaksud bukan berskala nasional, melainkan skala lokal.

Zainal menjelaskan, daerah yang menjadi zona merah atau memiliki banyak kasus COVID-19 agar dikaji lebih dalam lagi, jika ingin tetap menggelar pesta demokrasi. Gugus Tugas COVID-19 daerah dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) harus membuat skema atau kemungkinan terburuk terhadap wilayah tersebut.

“Menurut saya kalau pakai kategorisasi misalnya, daerah zona hijau, zona kuning, zona orange, zona merah, zona hitam. maka mungkin yang hijau dan kuning ada baiknya tetap bisa dilakukan. Tapi yang masuk kategori zona orange, zona merah, zona hitam ada baiknya dialkukan penundaan. Problem kita makin mengecil untuk soal tahapan yang sudah berjalan,” kata Zainal kepada IDN Times, Senin, 28 September 2020.

Jika pemerintah tetap ngotot menggelar pilkada, maka ia mendesak agar Presiden Joko “Jokowi” Widodo segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), yang mengatur tentang protokol kesehatan dan sanksi kepada para pasangan calon yang melakukan pelanggaran.

“Kenapa? Karena Perppu itu setingkat undang-undang. Lalu kemudian karena dia setingkat undang-undang, dia (Perppu) punya daya yang sangat baik, perdebatan hukum akan kecil di situ,” kata Zainal.

Selain pemberian sanksi kepada paslon yang melanggar, menurut Zainal, Perppu juga sangat penting diterbitkan agar pasangan calon kepala daerah punya kepastian hukum yang jelas, jika Pilkada Serentak 2020 kembali ditunda.

“Iya karena gak fair juga yang (kalau Pilkada) ini ditunda, orang sudah mendaftar tiba-tiba meninggal, masa kemudian dia kehilangan pasangan terus dia gak bisa melakukan apa-apa. Kan ada skenario-skenarionnya,” ujar dia.

3. Perludem menilai pemerintah tidak akan mengeluarkan Perppu, karena tak ingin Pilkada 2020 ditunda lagi

Pilkada 2020 dan Ancaman Ledakan Klaster COVID-19 di Depan MataPresiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin sedang melihat foto Sultan Himayatuddin (Dok/Setpres Biro Pers Kepresidenan)

Senada dengan Zainal, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati juga mendukung agar Jokowi segera menerbitkan Perppu Pilkada. Dia menilai, keengganan pemerintah menerbitkan Perppu lantaran tak ingin pilkada kembali ditunda.

“Kalau pemerintah mau mengeluarkan Perppu konsekuensinya Pilkada akan ditunda. Karena apa? artinya akan ada aturan yang baru. Aturan yang baru kan harus disosialisasikan. KPU dan Bawaslu harus mempersiapkan aturan teknisnya,” kata perempuan yang kerap disapa Nisa itu saat dihubungi IDN Times, Jumat, 25 September 2020.

Perludem melihat, Perppu Pilkada menjadi hal yang paling mendesak untuk segera diterbitkan jika pemerintah tetap kekeh menggelar pilkada di tengah pandemik COVID-19.

Sebab, KPU tidak bisa membuat aturan sendiri karena terikat dalam undang-undang pemilu yang memperbolehkan adanya kampanye tatap muka. Sementara itu, kewenangan KPU juga terbatas hanya pada Peraturan KPU (PKPU) yang membatasi jumlah peserta dalam kampanye.

“Menurut kami penting adanya Perppu karena ini situasinya yang luar biasa, bukan yang biasa-biasa saja. Adanya pengaturan di level Undang-undang yang teknis penyelenggaraanya lebih adaptif dengan situasi pandemik seperti ini,” tutur Nisa.

Dalam undang-undang pemilu, lanjut Nisa, calon kepala daerah tidak bisa dijerat dengan sanksi tegas berupa diskualifikasi jika terjadi pelanggaran protokol kesehatan. Oleh sebab itu, Perppu Pilkada menjadi penting untuk mengatur sanksi tersebut agar memberikan efek jera kepada peserta lainnya.

“Di Perppu itu ada penambahan soal sanki, misalnya yang memberikan efek jera karena di Undang-undang pemilu sanksi efek jera yaitu diskualifikasi hanya untuk politk uang. Jadi klo ada pelanggar protokol kesehatan tidak bisa didiskualifikasi karena tidak diatur Undang-undang,” kata dia.

4. Epidemolog sebut Pilkada 2020 akan menjadi klaster penularan COVID-19 baru jika tetap digelar tahun ini

Pilkada 2020 dan Ancaman Ledakan Klaster COVID-19 di Depan MataIlustrasi petugas medis memeriksa kondisi pasien virus corona menggunakan APD. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

Di lain pihak, ahli epidemiologi dari Universitas Griffith di Australia Dicky Budiman menyebut Pilkada 2020 bisa menjadi klaster penularan COVID-19 baru, jika tetap digelar tahun ini. Ia juga menjadi orang yang mendukung agar pesta demokrasi di daerah itu kembali ditunda sementara waktu, hingga pandemik mulai mereda dan pemerintah berhasil menanggulangi penyebaran kasusnya.

“Respons saya jelas dari awal, jangankan mengadakan konser atau bazar, mengadakan pilkada saja Indonesia belum dalam situasi yang aman. Menurut saya terlalu dipaksakan dan itu merupakan pengabaian. Artinya akan mengarah dan mendorong terjadinya klaster,” kata Dicky saat dihubungi IDN Times, Kamis, 17 September 2020.

Menurut Dicky, KPU dan pemerintah salah kaprah dalam mengartikan aturan protokol kesehatan. Ia menyebut meskipun nantinya seluruh peserta telah menjalani protokol kesehatan secara ketat, bukan tidak mungkin penularan virus corona tetap terjadi, karena mereka abai menjaga jarak satu sama lain.

“Jadi yang namanya protokol kesehatan itu harus dipahami bukan peluru ajaib, sudah menjalankan protokol kesehatan maka aman. Ah itu salah sekali pemahaman seperti itu,” tutur dia.

Dicky menegaskan, protokol kesehatan akan berjalan efektif jika situasi di wilayah pandemik bisa dikendalikan dengan baik melalui jumlah testing, kontak tracing, dan tempat isolasi yang memenuhi standar Badan Kesehatan Dunia (WHO).

“Jadi ketika itu belum tercapai strategi utamanya, itu yg harus diutamakan dulu. Ini membantu menjaga supaya kasusnya tidak cepat atau bertambah. Nah strategi utamanya itu harus dijalankan dulu sampai seluruh wilayah indonesia,” ujar dia.

5. Muhammad-Sara memilih kampanye di medsos untuk menghindari penularan COVID-19

Pilkada 2020 dan Ancaman Ledakan Klaster COVID-19 di Depan MataIDN Times/Khaerul Anwar

Sementara, dari pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Tangerang Selatan (Tangsel) Muhammad-Rahayu Saraswati Djojohadikusumo telah menyiapkan sejumlah strategi untuk memenangkan pertarungan di pilkada. Meskipun pertemuan tatap muka dibatasi untuk menghindari penularan virus corona, mereka lebih memilih kampanye secara daring menggunakan media sosial.

Sara mengatakan, cara itu dilakukan sebagai alternatif agar menghindari kerumunan massa yang sulit dibendung pada tahapan kampanye. Selain menggunakan medsos, ia juga mencantumkan nomor aduan atau hotline untuk warga Tangsel jika ingin melakukan pengaduan, aspirasi, dan memberikan harapan atau pertanyaan kepada paslon ini.

“Jadi dari saya solusinya dengan Pak Muhammad melakukan secara virtual. Jadi banyak pertemuan dan sosialisasi yang kita lakukan secara virtual, baik itu lewat (aplikasi) zoom dan Google Meet. Apapun itu caranya agar kita tetap bisa menjaga tali silaturahim dan cara berkomunikasi dengan masyarakat lewat simpul-simpul,” kata dia dalam sebuah diskusi daring bertajuk Dialektika: Pilkada Tanpa Pengumpulan Massa, Mungkinkah? baru-baru ini.

Namun, Sara menuturkan, kampanye melalui medsos memang tidak lebih efektif dibandingkan degan kampanye tatap muka langsung. Di sisi lain, kampanye tatap muka berisiko tinggi terhadap penularan COVID-19.

“Tapi lagi-lagi bukan tidak mau tatap muka secara fisik, tapi untuk memastikan keamanan dan keselamatan semua, terutama masyarakat dan paslon itu sangat sulit sekali. Karena hanya waktu beberapa bulan ini saja saya dengan Pak Muhammad sudah melakukan dan menerapkan protokol kesehatan sangat sulit,” ujar dia.

Wakil Ketua Umum Partai Gerinda itu menjelaskan, kampanye tatap muka dengan menerapkan protokol kesehatan memang sulit sekali direalisasikan pada tahapan kampanye. Mereka pun mengakui tidak bisa membendung animo besar dari warga untuk bertemu dengan paslon yang mereka jagokan.

“Karena, pertama walaupun yang diundang misal hanya 20 orang, yang muncul bisa 50 sampai 100 orang. Kita akan sangat kesulitan sebagai paslon untuk menolak kehadiran mereka,” tutur Sara.

6. Apa sih untung rugi jika Pilkada 2020 kembali ditunda?

Pilkada 2020 dan Ancaman Ledakan Klaster COVID-19 di Depan MataIlustrasi Pilkada Serentak 2020 (IDN Times/Sukma Shakti)

Nisa mengatakan, jika menakar dari efeknya, maka penundaan Pilkada 2020 akan jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan efek kerugiannya. Sebab, kata dia, pemerintah akan lebih siap dan fokus dalam urusan penanganan pandemik COVID-19 yang hingga saat ini terus melonjak jumlahnya.

“Kalau kita lihat, lebih banyak untungnya. Kita lebih siap dari sisi penanganan COVID-19 nya bisa diatur dulu,” kata dia.

Nisa menuturkan, jika pemerintah khawatirkan terhadap kekosangan jabatan kepala daerah di 270 wilayah penyelenggara jika terjadi penundaan pilkada, maka posisi kepala daerah bisa sementara waktu diberikan kepada sekretaris daerah (Sekda).

“Plt (pelaksana tugas) bukan berarti masalah. Kalau alasannya susah cari orang sebanyak itu, kan setiap daerah punya Sekda, ya. Saya rasa Sekda dari sisi jabatan birokrasinya sudah bisa untuk menjadi Plt,” ujar dia.

Dia mencontohkan, Kota Makassar yang selama dua tahun terakhir diisi jabatan Plt, pemerintahan daerahnya tetap bisa berjalan dengan baik tanpa ada masalah.

“Makassar kan selama dua tahun ini diisi oleh Plt karena kotak kosongnya menang. Kalau kotak kosongnya menang kan Pilkadanya diulang lagi ke Pilkada 2020, berjalan juga pemerintahannya. Jadi bukan sebuah masalah yang kemudian pemerintahan di daerah tidak jalan, gak menurut saya,” tutur Nisa.

Sementara itu, jika dilihat dari sisi kerugiannya, maka peserta pilkada lah yang sangat merasakan hal tersebut. Sebab, biaya politik mereka akan terus bertambah karena semakin panjangnya tahapan pemilihan.

Justu, lanjut Nisa, jika pilkada ditunda maka masyarakat akan memberikan apresiasi kepada pemerintah. Sebab, Pemerintah dinilai cepat tanggap dalam membaca situasi pandemik yang semakin mengkhawatirkan tersebut.

“Nah, kalau dari sisi kerugian dari calon kali ya mungkin, kalau diundur cost politiknya akan semakin banyak yang harus dikeluarkan karena waktunya yang semakin panjang,” katanya.

“Secara hukum dan Undang-undang diperbolehkan menunda ini, jadi itu pilihan yang paling ideal kalau menurut kami. Menunda Pilkada bukan artinya kita gagal berdemokrasi, gak seperti itu,” Nisa menambahkan.

Baca Juga: Mungkinkah Pilkada Serentak 2020 Ditunda Lagi Akibat Pandemik?

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya