Polemik RKUHP: Ancaman Kebebasan Pers Hingga Unggas Mampir ke Tetangga

RKUHP harusnya dirumuskan dengan masyarakat

Jakarta, IDN Times - Masyarakat tengah dihadapkan dengan polemik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang akhirnya mendorong sejumlah elemen masyarakat turun ke jalan menolak sejumlah pasal-pasal yang ada. Demonstrasi besar-besaran di gedung DPR RI pun terjadi, karena dianggap sebagai pembuat undang-undang tersebut, atas usulan pemerintah.

Publik menilai banyak pasal-pasal yang janggal dan tidak rasional, jika DPR benar-benar menyetujui dan mengesahkan RKUHP. Anggota Dewan dianggap individual, karena tidak melibatkan sejumlah elemen masyarakat dalam setiap pembahasan pasal per pasalnya.

Nah, apa aja sih sebenarnya pasal-pasal bermasalah yang ada di dalam RKUHP, dan bagaimana tanggapan dari pemerintah dan elemen masyarakat?

Baca Juga: Anggota DPR 2019-2024: Yang Protes RKUHP Gak Ngerti Persoalan

1. RKUHP dianggap langgengkan intoleransi dan merusak kerukunan antarumat beragama

Polemik RKUHP: Ancaman Kebebasan Pers Hingga Unggas Mampir ke TetanggaANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Dikutip dari laman Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SeJuK), Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan menilai RKUHP masih bermasalah, baik dari segi substansi ide norma maupun redaksi norma, terkhusus dalam pasal-pasal pidana terkait keagamaan.

Karena itu, Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan mendesak Pemerintah RI dan DPR RI memperbaiki rumusan RKUHP.

Ketua YLBHI Asfinawati menilai, keberadaan delik-delik pidana keagamaan ini berpotensi menimbulkan kecurigaan di masyarakat, segregasi sosial, meningkatkan tindakan intoleransi, dan merusak hubungan kerukunan antar-umat beragama.

Menurut Asfinawati pengaturan pidana yang didasarkan hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat (Pasal 2 ayat 1 dan 2 RKUHP), adalah bentuk pembangkangan terhadap negara hukum yang mengandaikan kepastian hukum untuk mencapai keadilan.

"Maka yang akan terjadi adalah situasi ketidakpastian dan kesewenang-wenangan hukum. Ketentuan ini akan menimbulkan masalah besar overkriminalisasi (kriminalisasi yang berlebihan), hingga tindakan persekusi,” kata dia.

Asfinawati memaparkan, ketentuan Pasal 313 sampai Pasal 318 RKUHP yang dikelompokkan sebagai “Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama”, telah menjadikan agama sebagai subjek perlindungan hukum pidana.

"Selain itu, bila agama dijadikan sebagai subjek perlindungan hukum pidana, maka akan menimbulkan konflik dalam internal umat beragama,” ujar dia.

Selain itu, masih diaturnya ketentuan hukum pidana penghinaan agama (dalam Pasal 313 dan 314 RKUHP) menunjukkan pemerintah justru memelihara konflik keagamaan. Ada banyak riset baik nasional dan internasional, yang menyatakan salah satu penyebab utama maraknya tindakan intoleransi dan persekusi di masyarakat adalah masih eksisnya aturan pidana penghinaan agama, yang kini masih terdapat dalam RKUHP.

Lebih jauh lagi, Asfinawati mengatakan, pengaturan pidana perusakan-pembakaran rumah ibadah, benda yang dipakai ibadah, dan pidana perusakan benda suci keagamaan dalam Pasal 318 ayat 2 dan Pasal 503 ayat 1 RKUHP, adalah pengaturan hukum yang berlebihan, tumpang tindih, dan tidak diperlukan.

"Bila pun ada tindakan pembakaran, pencurian, atau perusakan, semestinya tetap mengacu pada ketentuan pasal pidana pembakaran, pencurian, dan perusakan biasa. Selain itu, tidak ada ukuran dan batasan yang jelas dengan apa yang dimaksud sebagai 'benda yang dipakai ibadah', 'benda suci keagamaan', dan sebagainya. Hal ini berpotensi menimbulkan multitafsir dan kesewenang-wenangan dalam penerapan hukum,” papar dia.

2. RKUHP mengancam kebebasan berpendapat dan pers

Polemik RKUHP: Ancaman Kebebasan Pers Hingga Unggas Mampir ke TetanggaIDN Times/Maulana

Selain Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan, RKUHP juga ditentang keras Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Bukan tanpa sebab, dari banyaknya pasal-pasal yang ada, AJI melihat ada upaya DPR dan pemerintah yang dapat mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat, terutama bagi kerja-kerja jurnalistik.

Dikutip dari laman Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), pada draf versi 28 Agustus 2019, pasal yang sebelumnya dikenal dengan nama tindak pidana “penghinaan presiden” berganti terminologi menjadi “Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 218-220 RKUHP.

"Pemerintah dan DPR terus bersikeras untuk mengatur tindak pidana ini, dengan berkali-kali menyatakan 'kita saja mengkriminalisasi penghinaan kepala negara sahabat, maka presiden negera sendiri harus dilindungi'," kata Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju.

Hal ini, kata Anggara, jelas merupakan kemunduran demokrasi di Indonesia, dan perumus RKUHP belum sepenuhnya paham konsep reformasi hukum pidana di Indonesia.

Di negara demokratis, kata dia, misalnya pemerintah Jerman pada 2017 juga menghapus pasal tentang penghinaan kepala negara sahabat. Pemerintah Jerman menilai pasal ini kuno dan tidak diperlukan. Lagi-lagi negara demokratis tidak pernah menghalang-halangi ekspresi yang sah terhadap institusi yang bisa dikritik.

Selain itu, Anggara menilai, dalam Pasal 246 RKUHP mengatur siapa saja yang menghasut orang lain melakukan tindak pidana ataupun melawan pemerintah, akan diancam kurungan penjara. Pasal 246 hukumannya empat tahun, sementara Pasal 247 empat tahun enam bulan.

Dalam Pasal 440 RKUHP, lanjut dia, juga mengatur orang yang menyerang nama baik atau kehormatan orang lain dapat diancam maksimal sembilan bulan penjara. Berbeda halnya jika penghinaan dilakukan melalui tulisan atau gambar di muka umum, ancaman pidananya menjadi maksimal satu tahun enam bulan.

Sedangkan, Pasal 446 dalam RKUHP mengatur orang yang melakukan pencemaran terhadap orang mati, diancam hukuman enam bulan penjara.

"Pasal 262 dan 263 dalam RKUHP mengatur tentang penyebar berita bohong atau hoaks dan berita tidak pasti yang berakibat adanya kegaduhan. Untuk Pasal 262 pelaku dapat dijerat dengan kurungan penjara enam tahun, sementara untuk Pasal 263 adalah dua tahun penjara. Pemerintah dan DPR masih akan tetap memasukkan pasal penodaan agama di dalam RKUHP. Hal itu akan diatur di dalam Pasal 304 dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara,” jelas Anggara.

3. Pasal kumpul kebo, hewan ternak, gelandangan, perzinahan, aborsi juga menjadi kontroversi

Polemik RKUHP: Ancaman Kebebasan Pers Hingga Unggas Mampir ke TetanggaANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Pasal-pasal lain yang tak kalah kontroversi adalah Pasal 419 Ayat 1, setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Kemudian, Ayat 2 tertulis, tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 tidak dapat dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orangtua, atau anaknya.

Tak hanya itu. Ada penambahan Ayat 3 yang menyatakan, pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya, sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orangtua atau anaknya.

Pasal 278, setiap orang yang membiarkan unggas yang diternakkan berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain, akan dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II (Rp10 juta).

Kemudian, Pasal 432, setiap orang yang bergelandangan di jalan atau tempat umum yang mengganggu ketertiban umum, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I (Rp1 juta).

Pasal 417 Ayat 1, setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda kategori II.

Pasal 471 Ayat 1, setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Polemik RKUHP: Ancaman Kebebasan Pers Hingga Unggas Mampir ke TetanggaIDN Times/Arief Rahmat

4. MUI menilai pasal santet sulit dibuktikan

Polemik RKUHP: Ancaman Kebebasan Pers Hingga Unggas Mampir ke TetanggaIDN Times/Irfan Fathurohman

Yang lucu lagi, di dalam draf RUU KUHP Pasal 260 tertulis apabila setiap individu terbukti memiliki kekuatan gaib, maka dapat dipidana penjara paling lama tiga tahun atau dipidana dengan paling banyak kategori IV.

Berikut isi lengkap pasal tersebut; "(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Hukuman bui itu bisa bertambah, apabila setiap individu menawarkan jasanya untuk mencari untung. Hukumannya bisa ditambah sepertiga dari ancaman bui di ayat 1.

"(2) Jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per ­tiga)."

Sementara, di bagian penjelasannya ada istilah ilmu hitam atau black magic. Menurut poin di bagian penjelasan, hal tersebut membuat resah publik. Namun, di sisi lain pembuktian seseorang telah menyantet pun sulit dilakukan.

MUI memberikan catatan terhadap pasal santet dalam RKUHP, meski kasus santet bukanlah sesuatu yang baru di masyarakat, namun penerapan pasal tersebut  sulit dibuktikan. Sesuai prinsip hukum pidana, suatu tindak pidana harus memenuhi unsur pembuktian.

"Santet memang ada di masyarakat, tak bisa diingkari gejalanya itu ada. Karena nyatanya santet itu ada. Misalnya, tiba-tiba ada orang nih dalam tubuh ada jarum, ada hal-hal gaib, itu kan nyata, (benda-benda itu) ada," kata Ketua Komisi Hukum MUI Ikhsan Abdullah di dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 21 September lalu.

Ikhsan mengatakan bukan perkara mudah membuktikan tindak santet. Bahkan, ini merupakan tantangan berat untuk kepolisian dalam mengusut, melakukan penyidikan dan penyelidikan.

"Tapi apa kemudian bisa gejala itu menjadi bukti? Itu problem, itu tantangan bagi polisi dan jaksa bagaimana membuktikannya, jangan sampai kemudian menjadi fitnah. Ini perlu kajian yang mendalam, perlu pemahaman, perlu persepsi, perlu definisi, ini yang kemudian harus menjadi clear," kata Ikhsan.

5. DPR menyebut RKUHP adalah usulan dari pemerintah

Polemik RKUHP: Ancaman Kebebasan Pers Hingga Unggas Mampir ke TetanggaIDN Times/Irfan Fathurohman

Presiden Joko “Jokowi” Widodo bersama DPR, Senin 23 September lalu melakukan pertemuan di Istana Negara, membahas persoalan RKUHP. Jokowi sebelumnya telah meminta DPR RI agar menunda pengesahan RKUHP. Rencananya, undang-undang ini akan disahkan pada 24 September 2019, namun batal karena masyarakat menolak.

Saat pertemuan itu, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan RKUHP adalah permintaan pemerintah. Sebelumnya memang pemerintah telah meminta anggota dewan membuat undang-undang yang lebih sederhana.

"Mengapa RUU KUHP dibutuhkan? Pak Presiden, kami hanya ingin menjawab keinginan Pak Presiden bahwa undang-undang seharusnya simpel," kata politikus yang akrab disapa Bamsoet itu di hadapan Jokowi dan pembantunya.

Karena itu, lanjut Bamsoet, RKUHP adalah jawaban dari permintaan pemerintah. Ke depan, undang-undang pidana di Indonesia akan lebih simpel.

"Sehingga ke depan undang-undang kita lebih simpel dan cepat dalam pengambilan keputusan. Kita susun ini, tujuh presiden tidak selesai, 19 Menteri Hukum dan HAM tidak selesai, dan ini kita di ujung (jabatan)," ujar dia.

Terkait adanya kritikan dari masyarakat, Bamsoet menuturkan, masyarakat bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika ada kekurangan RKUHP.

"Kami menyadari segala mekanisme hukum upaya yang masih bisa dilakukan. Ada mekanisme hukum seperti uji materi MK yang masih bisa dilakukan," kata politikus Partai Golkar itu.

Kepada Jokowi, Bamsoet menjelaskan, dalam penyusunan RKUHP, DPR RI sudah sering berdebat dari satu pasal ke pasal lainnya.

"Tim selalu perdebatkan pasal demi pasal, hingga penjelasan yang tak terhitung jumlahnya. Termasuk, perubahan yang dilakukan dalam sebuah pasal, agar pasal tersebut seimbang antara kepentingan ngara dan kepentingan hukum dan masyarakat," ucap dia.

6. Komnas HAM minta pengesahan RKUHP ditunda

Polemik RKUHP: Ancaman Kebebasan Pers Hingga Unggas Mampir ke TetanggaIDN Times/Fitang Budhi Adhitia

Sementara, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak agar pengesahan RKUHP ditunda dan dilakukan perbaikan terhadap pasal-pasal yang masih bermasalah.

"Oleh karenanya dari beberapa catatan ini, Komnas HAM mendorong pemerintah dan DPR, lebih bijak kalau ini ditunda," ujar Komisioner Komnas HAM bidang pengkajian dan penelitian, Choirul Anam, dalam pertemuan tentang tanggapan Komnas HAM terkait RUU KUHP, di Jakarta, Kamis 19 September lalu.

Dalam konteks pelanggaran HAM berat, kata Choirul, kejahatan diproduksi oleh kebijakan yang korbannya merupakan masyarakat sipil, yang dalam RKUHP disebut sebagai genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Element of crime dari pelanggaran HAM berat tersebut, menurut dia, tidak bisa disamakan dengan kejahatan biasa, karena harus ada pertanggungjawaban dari pembuat kebijakan.

Menurut Choirul, dalam beberapa konteks, RKUHP belum bisa memberi kepastian hukum, karena terdapat frasa yang multitafsir. Seperti dalam delik keagamaan yakni terkait "perasaan" dan "menimbulkan kegaduhan", dan frasa-frasa lainnya.

Penerapan fungsi hukum pidana ultimum remedium dalam RKUHP, juga masih kurang tepat dalam beberapa pasal.

"Dalam doktrin pidana itu, pemidanaan itu ultimum remedium. Dia adalah tindakan yang dipakai terakhir, untuk memastikan tertib sosial masyarakat. RKUHP ini tidak meletakan paradigma itu sebagaimana mestinya, jadi hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dipidana malah dipidana," ujar Choirul.

Dia mengatakan, terdapat beberapa upaya yang dilakukan Komnas HAM terkait persoalan RKUHP. "Surat, pasti mau kami kirim kepada presiden dan DPR. Tapi kami juga mendukung kalau seandainya ini tetap jalan, ada para pihak yang mau mengajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji aspek konstitusionalitasnya, ya kami mendukung," kata Choirul.

Namun, Komnas HAM berharap agar pengesahan RKUHP sebaiknya ditunda dan diperbaiki terlebih dahulu. "Ditunda, diperbaiki jauh lebih bijak," ujar Choirul.

7. Jokowi sempat meminta pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden dihapuskan

Polemik RKUHP: Ancaman Kebebasan Pers Hingga Unggas Mampir ke TetanggaIDN Times/Teatrika Handiko Putri

Derasnya kritikan publik yang menilai pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden dapat melunturkan semangat demokrasi, akhirnya membuat telinga presiden panas. Dalam pertemuan dengan DPR di Istana Negara pada Senin 23 September lalu, Jokowi ikhlas jika pasal tersebut dihapuskan dari RKUHP.

Ketua Fraksi NasDem Johnny G Plate membenarkan Jokowi meminta pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dihapuskan dari RKUHP. Jokowi merasa tak keberatan apabila pasal tersebut dihapuskan.

"Terhadap dirinya sendiri, Pak Jokowi tidak keberatan penghapusan pasal tersebut, namun bagaimana terhadap presiden berikutnya?" kata Johnny saat dihubungi IDN Times, Selasa 24 September lalu.

Menurut Johnny, meski Jokowi tak keberatan, tetapi harus tetap melihat presiden dan wakil presiden berikutnya. "Terhadap kepala pemerintahan dan kepala negara tentu juga perlu memperhatikan etika dan budaya Indonesia yang umum diterima, yakni saling hormat menghormati, bukan saling mencerca dan saling menghina," kata dia.

Sementara, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Erma Surya Ranik menuturkan DPR membuat pasal tersebut di RKUHP bukan hanya untuk Jokowi, melainkan kepada para pemimpin-pemimpin Indonesia ke depan.

"Kita ini bikin KUHP bukan untuk Pak Jokowi. Kita bikin KUHP ini untuk Republik Indonesia, bukan untuk Pak Jokowi, bukan untuk anggota DPR RI, tapi untuk negara ini," ucap Erma di Gedung DPR RI, Selasa 24 September lalu.

Menurut Erma, pasal penghinaan presiden jangan dilihat bahwa DPR membuatnya hanya untuk Jokowi. DPR ingin masyarakat melihat pasal tersebut untuk ke depannya.

"Setelah itu presiden baru dong. Berpikirnya harus beda, gak boleh berpikirnya hanya karena Pak Jokowi. Itu delik aduan. Itu kita buat karena kita resah," kata Erma.

Baca Juga: Forum Rektor Indonesia Siap Sosialisasi RKUHP dan RUU Lain di Kampus

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya