Sekjen PDIP: Sistem Pemilihan Langsung Akar Masalah Konflik Pemilu

Termasuk pelaksanaan Pilkada Serentak

Jakarta, IDN Times - Sekjen DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengatakan, potensi konflik pemilu, termasuk dalam Pilkada Serentak 2020, bersumber dari perubahan sistem demokrasi Indonesia yang didorong menjadi lebih liberal pasca-amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang dipengaruhi sejumlah lembaga internasional saat itu. 

Contohnya saja, kata Hasto, pada saat krisis ekonomi 1998 yang melahirkan skenario proses liberalisasi politik global. Di Indonesia saat itu kedaulatan politik ekonomi Indonesia dikontrol melalui Letter of Intent (LOI) dengan International Monetary Fund (IMF). 

1. Hasto menyebut demokrasi langsung punya sisi negatif, yaitu kapitalisasi politik

Sekjen PDIP: Sistem Pemilihan Langsung Akar Masalah Konflik PemiluIlustrasi (IDN Times/Mardya Shakti)

Hasto mengatakan jika dalam sistem sebelumnya Indonesia memiliki haluan negara yang dibentuk berdasarkan aspirasi seluruh perwakilan rakyat melalui DPR, utusan daerah, hingga utusan golongan di MPR RI, di dalam sistem baru sekarang ini digantikan dalam praktik demokrasi liberal dengan sistem demokrasi langsung atau pemilu.

Masalahnya, kata Hasto, demokrasi langsung ala Amerika Serikat itu ternyata memiliki sisi negatif, yakni kapitalisasi kekuasaan politik, di mana pemilik modal atau cukong bisa mempengaruhi. Alasannya, karena ongkos politik yang mahal.

"Pilkada dalam praktik, menyempitkan pemikiran para pendiri bangsa yang visioner dan penuh dengan gambaran ideal tentang Indonesia Raya. Misalnya, dulu kita bermimpi, bupati Klaten bisa diisi oleh orang Papua, bagaimana gubernur dari Jakarta bisa diisi oleh orang Sumatra Barat, misalnya. Karena setiap warga negara adalah sama. Tetapi dengan pelaksanaan pilkada secara langsung itu, terjadi penyempitan," kata Hasto dalam diskusi daring bertajuk Perayaan Hari Perdamaian Dunia yang diselenggarakan Universitas Pertahanan, Senin (21/9/2020).

Baca Juga: PDI Perjuangan Ngotot Pilkada Harus Segera Dilakukan, Ini Alasannya

2. Parahnya, demokrasi langsung dikaitkan dengan nilai agama dari para pendukung

Sekjen PDIP: Sistem Pemilihan Langsung Akar Masalah Konflik PemiluIlustrasi kampanye terbuka. IDN Times / Nana Suryana

Hasto mengatakan, negara telah membuat berbagai regulasi untuk mencegah konflik akibat sistem demokrasi sekarang, namun, hingga saat ini, potensi konflik dalam ajang pemilu tetap saja terjadi. Bahkan, kata dia, muncul analogi bahwa pemilu sebagai sebuah perang, apalagi sampai membawa agama di dalam pilkada, sebagai dalil semangat bagi para pendukungnya. 

"Padahal agama itu untuk menebar kebaikan, agama itu menjadi kekuatan moral dan etis yang sangat penting bagi setiap warga bangsa. Nilai spiritualitas yang membebaskan," ujar dia.

3. Demokrasi langsung melahirkan pemimpin yang penuh dengan pencitraan di media sosial

Sekjen PDIP: Sistem Pemilihan Langsung Akar Masalah Konflik PemiluIlustrasi media sosial (Sukma Shakti/IDN Times)

Penerima beasiswa doktoral Universitas Pertahanan itu juga menyebutkan, selain politik agama, politik elektoral juga menjadi sisi negatif demokrasi langsung. Partai politik hanya dianggap sekadar mesin pemenangan, bukan sebuah kesempatan membumikan Pancasila untuk masyarakat dalam kebijakan pemerintahan negara.

Politik elektoral tersebut, lanjut Hasto, pada akhirnya hanya sebagai bentuk pencitraan. Ia mencontohkan, jika pada hari-hari biasa, ada rakyat kesusahan dibiarkan, tetapi begitu kampanye, ada rakyat susah, semua berbondong-bondong membantu dan kemudian diviralkan melalui media sosial.

"Politik elektoral dari perspektif pencitraan itu juga nanti akan menciptakan konflik tersendiri. Kemudian, wataknya juga transaksional, karena ada mobilisasi pilkada itu jauh lebih besar," tutur dia.

4. Hasto tawarkan sejumlah rekomendasi agar pemilu bisa berbiaya rendah

Sekjen PDIP: Sistem Pemilihan Langsung Akar Masalah Konflik PemiluIlustrasi uang (IDN Times/Prayugo Utomo)

Hasto kemudian menawarkan solusi berupa konsolidasi demokrasi, konsolidasi ideologi, hingga konsolidasi politik, melalui budaya tertib hukum yang intinya adalah sistem pemilu ke depan harus berorientasi pada biaya politik rendah, serta menempatkan rakyat pada kedaulatan tertinggi.

Dia juga merekomendasikan dilakukannya pengkajian pelaksanaan pemilu asimetris, dengan memperhatikan indeks demokrasi, kerawanan demokrasi, dan posisi strategis suatu wilayah. "Praktek demokrasi harus memperkuat sistem pertahanan nasional yang bersifat semesta, dan melibatkan peran aktif setiap warga negara," ujar Hasto.

Baca Juga: Mungkinkah Pilkada Serentak 2020 Ditunda Lagi Akibat Pandemik?

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya