Setahun Pandemik, LaporCovid-19 Ungkap Data Kematian yang Bermasalah 

Pencatatan data kematian di Indonesia belum mengikuti WHO

Jakarta, IDN Times - Setahun sejak kasus pertama COVID-19 di Indonesia diumumkan, LaporCovid-19 mencatat banyaknya data kematian yang masih bermasalah. Data kasus kematian akibat COVID-19 dari pemerintah pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota berbeda. Jumlah kematian yang dilaporkan juga lebih kecil dibandingkan angka riil. 

Tim LaporCovid-19 Said Fariz Hibban mengatakan, hal ini bisa menurunkan tingkat kewaspadaan publik dalam melawan virus tak kasat mata tersebut.

1. Pencatatan data kematian akibat COVID-19 masih belum mengikuti pedoman WHO

Setahun Pandemik, LaporCovid-19 Ungkap Data Kematian yang Bermasalah Proses pemakaman salah satu jenazah COVID-19 (16/9/2020). IDN Times/Aldila Muharma&Fiqih Damarjati

Menurut Said, pencatatan data kematian di Indonesia masih belum mengikuti pedoman WHO (Organisasi Kesehatan Dunia). Sejak April 2020, WHO menghitung jumlah korban yang meninggal dengan status terduga COVID-19, suspek, dan probable, selain yang terkonfirmasi positif dari tes PCR. 

Namun, pemerintah hanya menetapkan kasus kematian COVID-19 jika korban terkonfirmasi positif berdasarkan tes PCR. Padahal, banyak kasus kematian terduga COVID-19 yang belum sempat menjalani tes PCR.

“Selain tidak mengikuti pedoman WHO, data kematian dengan status positif COVID-19 yang diumumkan pemerintah pusat juga lebih kecil dibandingkan laporan kabupaten/kota,” kata Said melalui keterangan tertulisnya, Rabu (3/3/2021).

Baca Juga: LaporCovid: 75,6 Persen Tenaga Kesehatan Belum Terima Insentif

2. Ini data temuan LaporCovid-19 terkait perbedaan jumlah kasus kematian nasional

Setahun Pandemik, LaporCovid-19 Ungkap Data Kematian yang Bermasalah Ilustrasi pemakaman pasien positif COVID-19. (IDN Times/Aldila Muharma&Fiqih Damarjati)

Dia menjelaskan, data yang dikumpulkan relawan LaporCovid19 dari 514 kabupaten/kota hingga 25 Februari 2021, menunjukkan jumlah korban jiwa dengan status positif di Indonesia mencapai 41.682 jiwa. 

Sebanyak 171 kota/kabupaten di antaranya belum memperbaharui datanya. Jumlah korban jiwa dari daerah berbeda dengan yang diumumkan pemerintah pusat melalui Satgas COVID-19. 

"Hingga 25 Februari 2021, kasus kematian tercatat sebanyak 5.518 jiwa. Ini berarti terdapat sekitar 6.000 data kematian dari kabupaten/kota yang belum dikonfirmasi dan diumumkan pemerintah pusat,” ujarnya. 

Dengan temuan tersebut, kata Said, jumlah korban jiwa di Indonesia bisa jauh lebih besar lagi jika memasukkan data korban yang meninggal dengan status terduga COVID- 19, yang mencapai 71.872 jiwa. Artinya, terdapat 30.244 korban jiwa (42,1 persen) yang belum diumumkan Satgas COVID-19. 

 

3. Jawa Tengah tertinggi kasus kematian nasional berdasarkan data LaporCovid-19

Setahun Pandemik, LaporCovid-19 Ungkap Data Kematian yang Bermasalah IDN Times/Teatrika Handiko Putri

Berdasarkan data kematian nasional, Jawa Tengah tercatat memiliki kasus kematian tertinggi. Secara akumulatif, korban jiwa di Jateng yang tercatat oleh LaporCovid-19 mencapai 18.514 jiwa. 

Berikutnya, DKI Jakarta sebanyak 15.588 jiwa, diikuti Jawa Timur 13.749 jiwa, Jawa barat 6.837 jiwa, dan Sumatera Utara 1616 jiwa. 

Tim LaporCovid-19 juga menemukan gap angka kematian dari kabupaten/kota dengan pemerintah pusat. Setidaknya ada 5 provinsi dengan gap angka kematian positif COVID-19 terbesar, yakni Jawa Tengah sebesar 4.153, Jawa Barat 2.146, Banten 366, Papua 301, dan Yogyakarta 182.

4. LaporCovid-19 sebut data yang transparan penting untuk masyarakat

Setahun Pandemik, LaporCovid-19 Ungkap Data Kematian yang Bermasalah Ilustrasi petugas medis memeriksa kondisi pasien virus corona menggunakan APD. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

Menurut Said, perbedaan ini menunjukkan, belum adanya perbaikan dalam tata kelola data meski pandemik sudah melanda setahun. Padahal, lanjut dia, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pernah berjanji untuk membenahi data COVID-19. Tidak hanya itu, data yang akurat dan transparan dibutuhkan sebagai dasar kebijakan.

“Data yang akurat dan transparan juga dibutuhkan masyarakat untuk memahami situasi pandemik dengan lebih baik. Jika pemerintah tidak melaporkan seluruh data COVID-19, termasuk angka kematian, kewaspadaan publik bisa menurun. Masyarakat akan berpikir COVID-19 sudah terkendali, padahal belum,” ucapnya.

Dia pun mendorong pemerintah memperbaiki data COVID-19 sekaligus mengingatkan publik untuk tetap waspada terhadap penyebaran COVID-19. 

“Selain peningkatan tes, lacak, dan isolasi, perbaikan tata kelola data ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang belum dijalankan dengan baik setelah setahun pandemi ini,” ujarnya.

Baca Juga: [LINIMASA-5] Perkembangan Terkini Pandemik COVID-19 di Indonesia

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya