UU Ciptaker Bisa Digugat Jika Hak Konstitusi Warga Tak Diakomodasi DPR
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Fitra Arsil mengatakan, masyarakat bisa mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang saat ini sedang menjadi polemik.
Masyarakat sipil, kata dia, punya peluang untuk menggugat ke MK, jika tidak ada peran warga negara yang dilibatkan dalam proses pembentukan UU tersebut.
1. Uji materi ke MK bisa berupa uji formil dan materiil
Fitra menjelaskan, gugatan ke MK terbagi menjadi dua jenis. Pertama adalah uji formil dan kedua adalah uji materiil.
“Kalau pengujian formil terhadap proses pembentukan, uji materill terhadap materi. Kalau saya melihat sih peluang akan selalu ada,” kata Fitra saat dihubungi IDN Times, Jumat (16/10/2020).
Baca Juga: Serikat Pekerja Siapkan Uji Materi UU Cipta Kerja
2. Pembuatan UU akan menyalahi aturan jika tidak melibatkan warga negara
Editor’s picks
Dia menjelaskan, sebuah UU akan menyalahi prosedur jika dalam pembentukannya tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Pasal 20 Ayat 1-5, yang di antaranya adalah melibatkan warga negara dalam pembentukan suatu UU.
Dengan demikian, gugatan ke MK tersebut bisa menjadi batu uji gugatan formil bagi masyarakat sipil yang keberatan atas disahkannya UU Cipta Kerja oleh DPR pada Senin (5/10/2020) lalu.
“Apakah saat pembentukannya (UU) hak-hak warga negara, prosedur demokrasi sudah terakomodasi. Misalnya prinsip kedaulatan rakyat yang kemudian diwakili oleh DPR, apakah DPR cukup mewakili dalam proses pembentukan UU ini. Nah itu bisa dijadikan batu uji apakah terimplementasi proses kedaulatan itu,” ujarnya.
3. Putusan MK tidak perlu ditindaklanjuti pemerintah karena langsung berlaku ketika diputuskan
Fitra pun menepis adanya isu yang menyebut bahwa pemerintah tidak lagi wajib menindaklanjuti putusan MK yang tertuang dalam undang-undang baru mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 7 Tahun 2020 di Pasal 59 ayat 2. Artinya, seandainya buruh memenangkan judicial review, maka pemerintah bisa saja mengabaikan putusan MK tersebut.
Pasal tersebut memang berbeda jika dibandingkan UU MK terdahulu di ayat 2-nya tertulis "jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan."
Namun, hal itu dibantah oleh Fitra. Menurut dia, dengan menghilangkan ketentuan di ayat 2 dalam UU baru MK sudah benar. Sebab, putusan MK akan berlaku dengan sendirinya tanpa perlu adanya eksekusi seperti putusan PN atau PTUN terkait kasus konkrit. Oleh sebab itu, putusan MK tidak perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah atau DPR karena sudah secara otomatis UU-nya berubah bila putusan dikabulkan MK.
“Jadi putusan MK ini langsung berlaku ketika diucapkan, jadi gak perlu ditindaklanjuti pemerintah, dia langsung berlaku mengikat gak perlu ada eksekusi. Kalau dia diputuskan langsung berlaku. Jadi ayat penindaklanjutan itu, justru membuat ketidakpastian hukum, jadi karena dia erga omnes (berlaku untuk semua) jadi langsung mengikat putusannya,” tuturnya.
Baca Juga: Jawab Kritik soal UU Cipta Kerja, Jokowi: Silakan Ajukan Uji Materi