Radio Malabar: Mega Proyek Koloni Belanda di Bandung yang Penuh Ambisi

Pemerintah Hindia Belanda berharap banyak pada proyek ini

Bandung, IDN Times – Berbicara tentang destinasi favorit masyarakat Bandung untuk berkemah bersama keluarga, kaki Gunung Puntang, Pegunungan Malabar, Kabupaten Bandung, mungkin menjadi salah satu yang difavoritkan. Akses yang mudah, udara yang segar, dan sederet warung yang menjual makanan dan minuman hangat membuat ngarai tersebut banyak dikunjungi wisatawan hingga sekarang ini. Namun, di antara menjulangnya pepohonan pinus yang asri di sana, terdapat berbagai reruntuhan tua yang menjadi sejarah pendirian teknologi mutakhir koloni Belanda di Indonesia.

Seabad lalu, di area itu berdiri kompleks Radio Malabar, stasiun radio pertama yang menyambungkan komunikasi suara antara Indonesia dan Belanda. Reruntuhan bangunan tua itu di antaranya ialah rumah dinas para penjawat Radio Malabar selama mereka bekerja di sana sejak 1916.

Untuk menuju situs peninggalan Radio Malabar, Anda perlu menempuh jarak sekitar 20,7 km. Atau, jika ditempuh dengan kendaraan roda empat dan dua, Anda kira-kira akan menghabiskan waktu sekitar 50 menit melintasi Jalan Gunung Puntang. Meski terbilang jauh, berkelok, dan berkabut, Anda tak perlu cemas karena semua akses menuju situs Radio Malabar, atau yang kini dinamai Bumi Perkemahan Gunung Puntang, sudah beraspal.

Mudahnya mengakses Radio Malabar, tak semudah menjabarkan sejarahnya. Terutama tentang bagaimana Radio tersebut luluh lantak. Pasalnya, berbagai catatan sejarah, baik buku mau pun peninggalan penting, belum cukup membawa kita pada titik seterang-terangnya cerita tentang Radio Malabar.

Namun, IDN Times mencoba mencatatkan kembali bagaimana Radio Malabar diprakarsai hingga akhirnya menjadi puing yang berisi segudang misteri.

1. Catatan Perjalanan Klaas Dijkstra

Radio Malabar: Mega Proyek Koloni Belanda di Bandung yang Penuh AmbisiCuplikan buku Radio Malabar, Herinneringen aan een boeiende tijd 1914-1945

Nama Klaas Dijkstra, seorang menir Belanda yang datang ke Indonesia pada awal abad 20 diam-diam menuliskan catatan perjalanannya ke Radio Malabar. Ia memang dipanggil, atau lebih tepatnya ditugaskan Belanda untuk bekerja membantu dr. De Groot (Pendiri Radio Malabar) dalam mengoperasikan Radio Malabar di selatan Bandung.

Catatan tersebut kemudian ditemukan oleh seorang penulis bernama Arthur O. Bauer ketika tengah menyidik bekas stasiun penyiaran Radio Kootwijk di Belanda pada musim semi 2001. Singkat cerita, ia mendapat izin untuk mengolah temuannya itu dan menyiarkan sebuah buku berbahasa Belanda berjudul Radio Malabar, Herinneringen aan een boeiende tijd 1914-1945. Atau jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, “Radio Malabar, Kenangan dari Masa-masa yang Menyenangkan pada 1914-1945”.

Buku tersebut sejauh ini kerap dijadikan landasan cerita tentang pembangunan hingga perpisahan antara pemerintah Belanda dengan Radio Malabar-nya yang mahsyur. Dijkstra yang kreatif pun sempat mereportase pertemuan pertamanya dengan masyarakat Bandung Selatan, hingga kekagumannya pada mega proyek Radio Malabar.

Meski demikian, IDN Times mencoba untuk mengulas riwayat Radio Malabar tidak hanya dari buku Arthur O. Bauer saja, melainkan juga dari berbagai sumber lainnya.

2. Kunjungan pertama saya ke Radio Malabar

Radio Malabar: Mega Proyek Koloni Belanda di Bandung yang Penuh AmbisiCuplikan buku Radio Malabar, Herinneringen aan een boeiende tijd 1914-1945

Dalam buku Radio Malabar, Herinneringen aan een boeiende tijd 1914-1945 halaman 294, Dijkstra merinci dengan jelas bagaimana pada akhir 1920 ia berangkat dari Batavia (kini Jakarta) menuju Kota Bandung dan bergerak ke selatan menuju Stasiun Radio Malabar. “Setibanya di Batavia pada akhir 1920, saya diberi tahu bahwa akan ditempatkan di Kantor Pusat Layanan Radio di Bandoeng. dr. de Groot sangat menginginkan saya menjadi stafnya. Saya pun diminta untuk melakukan perjalanan secepat mungkin ke bergdessa (nama tempat di Batavia untuk pejabat-pejabat Bandoeng),” tulis Dijkstra.

Dalam potongan buku yang diberi subjudul “Kunjungan Pertama Saya ke Radio Malabar”, Dijkstra juga menulis keterkesanannya pada Radio Malabar. “Ini akan menjadi pertama kalinya saya berkenalan dengan gunung-gunung tinggi, hutan, dan terakhir dengan keajaiban di ngarai Malabar. Seperti pertama kali Anda punya banyak pengetahun untuk diproses. Semuanya sangat berbeda dari Holland (Belanda)," tulisnya.

Tak memakan waktu lama, Dijsktra kemudian bergerak menuju Bandung dengan menggendarai mobil. Setibanya di Paris Van Java, ia tak lama beristirahat dan melanjutkan perjalanan ke Pangalengan (Bandung Selatan).

Dari Bandung, puluhan kilometer menuju kaki Gunung Puntang, tempat di mana Radio Malabar berdiri, lanskap Pegunungan Malabar sudah berada di depan mata Dijkstra. “Saat itu masih pagi. Kabut tipis bergantungan di kaki pegunungan. Kami yang sibuk di jalan, melihat ratusan pedagang membawa barang dagangan mereka ke pusat kota. Keranjang-keranjang yang berat mereka gantungkan di bahu dengan seuntai bambu,” tulisnya.

Setelah 15 menit berkendara dari Bandung, Dijkstra tiba di Dayeuh Kolot (Dalam bahasa Indonesia berarti Kota Tua). Dijkstra terus melanjutkan perjalannya, dan melintasi jembatan yang berdiri di atas Sungai Citarum.

“Kami tiba di jembatan besi yang sempit, lalu jalan pun terbelah dua. Cabang kiri mengarah ke stasiun penerima (sinyal radio) Cangkring, dan yang kanan, yang harus kami lalui, menuju Bandjaran kemudian ke Radio Malabar,” ujar dia.

Dijsktra pun masuk ke sebuah jalan setapak berkerikil yang terhubung dengan Stasiun Radio Malabar. Kiwari ini, jalan tersebut dinamakan Jalan Puntang. Di sana, lanskap Pegunungan Malabar semakin mantap dipandang. “Jarang sekali saya melihat panorama yang lebih baik dari itu. Kami harus mendaki sekitar 700 meter lagi dari sini,” tulisnya.

Dari tulisan itu, Dijkstra juga mengungkap betapa orang-orang Belanda sangat dihormati oleh pribumi. Ketika ia melintas, pribumi kerap berjongkok dan mengangkat topi bambu, simbol penghormatan bagi para menir.

Tapi, meski mendapat penghormatan dari pribumi, menir tetaplah menir di mata petugas keamanan Radio Malabar. Seorang menir sekali pun tidak mudah memasuki Stasiun Radio Malabar. de Groot tampaknya sudah mewanti-wanti para penjaga pintu gerbang untuk selalu mewaspadai siapa pun yang datang berkunjung, tanpa kecuali orang Belanda. Dijkstra sendiri mengaku disetop seorang pribumi petugas keamanan Radio Malabar, dan diperiksa sebelum akhirnya diizinkan memasuki kompleks megah itu.

Masuklah ia ke dalam Stasiun Malabar. Pemandangan pertama yang Dijkstra lihat adalah asrama, lebih tepatnya aula besar, tempat di mana pekerja pribumi tinggal. Kemudian ia pun melihat rumah-rumah dinas megah dan indah, yang berdiri dengan material bebatuan, tempat di mana pekerja Belanda tinggal.

Setelah perjalanan panjang itu, de Groot kini berada di hadapan Dijkstra. Untuk pertama kalinya ia akan bekerja di Bandung, di Stasiun Radio Malabar yang dipuja-puja bangsa dunia.

3. Keinginan Belanda atau ambisi de Groot?

Radio Malabar: Mega Proyek Koloni Belanda di Bandung yang Penuh AmbisiCuplikan buku Radio Malabar, Herinneringen aan een boeiende tijd 1914-1945

Bagi Belanda, de Groot merupakan ilmuwan yang amat penting. Sebelum membangun Stasiun Radio Malabar, lulusan Technische Hogeschool (Jerman) itu berulang kali membantu negaranya dalam proyek besar yang berkaitan dengan teknologi informasi seperti telegram. Misalnya ketika ia dimintai bantuan untuk mendirikan Stasiun Telegrafi di Sabang (Aceh) pada 1911, juga tiga stasiun serupa lainnya di Ambon, Timor, dan Situbondo pada 1913.

Berbagai pengalamannya di Indonesia ia tumpahkan dalam sebuah disertasi berjudul Pengaruh Iklim Tropis pada Koneksi Radio. Disertasi itu pula yang membuatnya lulus dari Technische Hogeschool. Selain mengantarkannya menjadi sarjana, disertasi tersebut disambut baik oleh Pemerintah Belanda yang tengah ingin memperkuat diri lewat pembangunan jaringan komunikasi nirkabel jarak jauh. Teknologi nirkabel memang sebuah terobosan oke, karena situasi Perang Dunia I membuat pasokan kabel tidak mungkin dapat dimiliki Belanda di Indonesia.

Masalahnya Radio Malabar adalah proyek yang sangat ambisius kala itu. Bagaimana tidak, mereka belum pernah mengerjakan proyek radio yang mampu menghubungkan gelombang suara dari Bandung ke Belanda yang berjarak 12 ribu km. Pemerintah Hindia Belanda pun memercayakan semua pembangunan Radio Malabar pada de Groot dan disertasinya. Maka itu, tak heran jika beberapa catatan menekankan bahwa Radio Malabar merupakan ambisi de Groot yang didukung oleh Belanda.

Kaki Gunung Puntang yang berupa ngarai sebagai lokasi berdirinya Radio Malabar pun tentu tidak asal tunjuk. de Groot berpendapat bahwa Gunung Puntang dan Gunung Halimun yang mengapit ngarai tersebut cocok untuk dijadikan dudukan pemancar gelombang radio.

Mulailah de Groot memuntahkan seluruh pengetahuannya tentang telekomunikasi sejak 1916 di kaki Gunung Puntang. Ia memilih Willem Smith & Co’s Transformatorenfabriek sebagai perusahaan penyedia kumparan besar dan trafo. Sementara Smit Slikkerveer adalah merek yang dipilih untuk memasok generator radio.

Pembangunan pun tak hanya dilakukan di kawasan Radio Malabar. Untuk memasok kebutuhan listrik yang besar, de Groot memprakasai pembangunan beberapa pembangkit listrik baru, salah satunya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Dago, Bandung.

Berbagai teknologi yang hadir di lembah Gunung Puntang-Halimun membuat masyarakat pribumi menjuluki lokasi proyek tersebut sebagai Negara Puntang. Julukan itu tak lepas dari pentingnya Radio Malabar bagi Belanda, yang seakan tak pernah bisa menolak apa pun permintaan de Groot demi terciptanya radio nirkabel dari Bandung ke Belanda.

Termasuk tentang sebuah kolam besar yang saat ini kerap disebut Kolam Cinta. Kolam tersebut memang berbentuk simbol cinta, dan dewasa ini kerap dianggap sebagai simbol romansa. Padahal, sesungguhnya Kolam Cinta dibangun dengan fungsi sebagai pendingin atribut mesin radio yang bekerja. Dan, sejatinya kolam itu bukan berbentuk cinta, melainkan arah mata angin yang menunjuk Belanda.

Juga tentang dua gua yang dibangun de Groot di sekitar kompleks Radio Malabar, untuk menjaga mesin-mesin dari serangan negara lain, termasuk Jepang.

4. Suara tersiar Januari, puisi pun dikirim lewat telegram

Radio Malabar: Mega Proyek Koloni Belanda di Bandung yang Penuh AmbisiCuplikan buku Radio Malabar, Herinneringen aan een boeiende tijd 1914-1945

Hingga 1922, enam tahun proyek Radio Malabar dikerjakan dan belum membuahkan hasil. Dalam buku Radio Malabar, Kenangan dari Masa-masa yang Menyenangkan pada 1914-1945, de Groot tak punya lagi banyak waktu untuk membuat Radio Malabar berjalan sempurna. Soalnya, surat kabar di seluruh dunia telah memberitakan Radio Malabar sebagai stasiun bikinan Hindia-Belanda yang mutakhir.

Berbagai uji coba telah mereka lakukan. Pada pengujian pertama, antena radio tak mampu menahan tegangan tinggi yang terjadi sehingga isolator suspensi tidak bekerja. Tak hanya itu, kecelakaan pekerja juga terjadi ketika antena pengganti hendak dipasangkan. Berbagai peristiwa itu membuat kesuksesan Radio Malabar terus ditunda.

Tapi, pada akhir November 1922, pemancar mesin (PKX) yang berada di Bandung pertama kali menerima sinyal dari belanda pada panjang gelombang 15 km. Namun beberapa masalah kembali terjadi setelah sinyal tersebut berhasil ditangkap.

Baru pada 18 Januari 1923, suara dari Stasiun Kootwijk (PCG) didengar untuk pertama kalinya di stasiun penerima Radio Malabar yang berdiri di Cangkring, beberapa kilo dari pusat radio. Suara tersebut berasal dari komite Radio Kootwijk, Detiger, dengan panjang gelombang 8.400 meter.

“Momen bersejarah ini segera dilaporkan oleh radio melalui PKX, dengan catatan: penerimaan QSA (sinyal kuat). Selanjutnya, dilaporkan bahwa Kootwijk datang lebih kuat daripada stasiun Eropa lainnya, juga lebih kuat dari Nauen. Sukses besar!” tulis Dijkstra.

Oleh wartawan di Jawa, lanjut Dijkstra, peristiwa tersebut disebut sebagai tonggak sejarah dalam lalu lintas dua negara. de Groot pun berbahagia, karena disertasinya selama ini berhasil direalisasikan. Terobosan luar biasa yang tak akan ia lupa hingga akhir hayatnya.

Saking terharunya dengan peristiwa itu, Sang Ilmuwan kemudian membuat puisi dalam secarik kertas dan ia kirimkan ke Belanda. Berikut sebuah salam puitis dari Radio Malabar (PKX) untuk Radio Kootwijk (PCG), yang juga telegram panjang pertama di Hindia-Belanda:

 

Nyanyian PKX ke PCG oleh dr. de Groot

 

Saya tidak tahu apa artinya,

Bahwa saya sangat bahagia!

Keinginan dari masa lalu,

Itu terlintas di pikiran saya hari ini.

 

Gunung-gunung tinggi dan saya sudah menunggu

Di bawah hujan dan sinar matahari,

Dan seperti sirene, tender,

Panggil aku dengan kata rekan.

 

Seberapa baik leluhur saya dulu,

Lorelei yang bahagia

Ketika dia memanggil, datang dengan perahu,

Semua kapal ada di sini.

 

Sia-sia lima tahun berseri-seri,

Jauh lebih cantik dari Lorelei

Saya terpesona, saya terdengar, saya bergema,

Tapi Kootwijk tidak pernah datang.

 

Saya sering mencoba menghubungi Anda,

Dengan berbagai macam suara,

Tapi semua cara yang mereka ciptakan,

Hanya kesunyian yang begitu sunyi dan susah.

 

Saya sangat ingin menjadi

Busur yang saya lukis begitu indah,

Tetapi tidak ada Tuhan yang membantu saya di bumi ini,

Cintaku, kau tidak mau mengerti!

 

Jadi saya akhirnya mengambil mesin,

Suku tersayang,

Namun tidak ada ekspresi yang berkedut

Di sana di negara asal.

 

Saya mendengar stasiun jauh seperti itu,

Dengan sambutan yang baik,

Tapi aku tidak akan pernah membalasmu

Cintaku, kau diam oh begitu lama.

 

Sekarang saya tahu mengapa, hari ini, dengan sukacita,

Saya dengan penuh semangat mengirim balok:

Karena kami berdua bisa mendengar

Kami hari ini untuk pertama kalinya.

 

Dan apakah saya mendengar suara Anda,

Masih sepi tentang negara dan laut,

Jadi saya harap itu suara Anda

Yang kuat dan semakin banyak.

 

Aktifkan frekuensi terbaik

Aku ingin kau mendengar sukacitaku

Hari ini dan Lenzen selanjutnya!

 

Hore, Hore, Hore

Panjang umur PCG!

5. Peresmian yang kacau sebelum telegram terkirim

Radio Malabar: Mega Proyek Koloni Belanda di Bandung yang Penuh AmbisiIDN Times/Galih Persiana

Apakah de Groot selalu bahagia setelah menulis pesan itu? Tentu tidak. Karena ada salah satu momentum yang membuat de Groot stres, ialah waktu hujan badai dan petir menghantam Radio Malabar beberapa hari sebelum di-launching pada 5 Mei 1923. Walhasil, beberapa perangkat radio rusak sekaligus membuat Radio Malabar tak dapat bekerja dengan baik. Besar kemungkinan kala itu de Groot merasa bersalah, karena Gubernur Jenderal Dirk Fock sudah datang untuk meresmikan Radio Malabar.

Peresmian dilakukan dengan mengirim pesan telegraf dari Radio Malabar ke Radio Kootwijk (Stasiun penerima) di Belanda untuk Sang Ratu dan jajaran menteri. Namun, hingga acara peresmian usai, mereka tak menerima balasan dari Belanda.

Betapa leganya hati de Groot ketika ia menerima pesan balasan dari Ratu Belanda pada 6 Mei 1923 malam. Walau begitu, hingga saat ini peresmian Radio Malabar dianggap telah diketuk-palu pada 5 Mei 1923.

6. Ketika Groot berpulang dan Radio Malabar dihancurkan

Radio Malabar: Mega Proyek Koloni Belanda di Bandung yang Penuh AmbisiIDN Times/Galih Persiana

Seketika nama de Groot sebagai ilmuwan terdengar di berbagai penjuru bumi. Ia dianggap berhasil membawa negaranya selangkah lebih maju dengan disertasi yang dibuktikan lewat praktik selama hampir satu dekade.

Namun, singkat cerita, waktu menempuh perjalanan dari ke arah Eropa, tepatnya di Laut Merah pada 1 Agustus 1927, de Groot mengalami sakit dan meninggal di atas kapal. Tak ada yang dapat menjelaskan secara rinci apa penyakit yang diderita de Groot kala itu. Yang pasti, kepemimpinan Radio Malabar mesti segera dialihkan.

Beberapa kali Radio Malabar mengalami pergantian pimpinan. Salah satu pemimpin yang sempat menjabat saat itu ialah Klaas Dijkstra sendiri.

Sementara itu, kepulangan de Groot cukup memukul hati orang-orang Belanda, termasuk Ratu mereka. Maka, melalui siaran Radio Malabar, Sang Ratu berpidato mengenang jasa de Groot sekaligus mendirikan sebuah patung memorabilia di Lapangan Citarum, Bandung.

Pada 1950-an, patung tersebut dibongkar pribumi karena dianggap melanggar kesusilaan. Namanya yang pernah dijadikan nama jalan di Bandung pun, kini telah diganti menjadi Jalan Siliwangi.

Pada 1942, kabar mengenai serangan Jepang ke Indonesia membuat pengurus Radio Malabar resah. Semakin hari, kabar tersebut semakin terdengar pasti. Maka itu, salah satu pejabat Radio Malabar, Van der Berg, mulai menghancurkan beberapa peralatan penting di sana. Asumsinya, agar bila mana jatuh ke tangan Jepang, Radio Malabar tak akan berfungsi sama sekali.

Menurut informasi resmi yang dapat diakses di situs bersejarah itu, beberapa orang Belanda termasuk Klaas Dijkstra ditangkap Jepang dan dikirimkan ke penjara. Dijkstra kemudian bebas dari penjara pada akhir tahun 1945. IDN Times tak dapat menemukan catatan sebagai kisah akhir hayat Klaas Dijkstra.

Setahun setelah Dijkstra dibebaskan, pada 1946, Radio Malabar diketahui telah dirusak oleh pribumi. Beberapa sumber memberi keterangan, pribumi yang merusak Radio Malabar adalah para pejuang kemerdekaan di Bandung Selatan. Tak ada catatan yang mampu menjelaskan secara lengkap alasan pribumi menghancurkan Radio Malabar. Namun, jika dicocokkan dengan lini masa, besar kemungkinan pribumi penghancuran itu dilandasi semangat Bandung Lautan Api yang bermula sejak 1945.

Ketika Indonesia benar-benar lepas dari tangan penjajah, akhirnya, infrastruktur Radio Malabar yang tersisa dipindahkan ke Dayeuh Kolot, pusat kota Bandung kala itu. Di sana, pemerintah Indonesia membangun kembali infrastruktur dan menjadi cikal bakal berdirinya PT. POS Indonesia.

Kembali mengingat momentum bersejarah waktu Radio Malabar pertama kali menerima suara dari Belanda, de Groot menutup puisinya dengan kalimat “Panjang umur PCG!”. Apa yang dikatakan de Groot kala itu benar adanya, karena PCG, yang ia maksud Radio Kootwijk, masih berdiri hingga sekarang.

Jika puisinya adalah sebagian dari doa, dan kalimat penutup puisi de Groort adalah “Panjang umur PCX”, bukan tidak mungkin Radio Malabar bisa kita temui dewasa ini.

Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalamanan unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.

Baca Juga: Paguyuban Pasundan: Gerakan Pemuda Sunda yang Merasa Terasingkan

Baca Juga: [Fragmen Lapas Sukamiskin I] Soekarno dan Tudingan Makar di Bandung

Baca Juga: [Fragmen Lapas Sukamiskin II] Ketika Soekarno Dihinakan di Bandung

Topik:

  • Galih Persiana
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya