Belajar Hal Terkecil tentang Toleransi dari Sekolah Inklusi

Toleransi tak melulu soal agama

Jakarta, IDN Times – Setiap manusia yang lahir di bumi membawa takdirnya masing-masing. Tidak ada yang mau jika ditawari terlahir berbeda dari manusia lainnya. Meski demikian, tak sedikit anak yang lahir dengan kebutuhan khusus membawa keistimewaan sendiri dalam kehidupan sesama manusia, salah satunya toleransi. 

Jangan pernah menyepelekan semangat para penyandang disabilitas untuk berkembang. Banyak yang sudah membuktikan bahwa anak-anak disabilitas juga bisa berkarya layaknya anak biasa. Di balik keistimewaan yang dianugerahkan pada mereka dengan bimbingan dari keluarga, masyarakat dan lembaga yang terkait, para penyandang disabilitas bisa bersaing dengan orang-orang biasa, baik dalam bidang akademik maupun pekerjaan.

Toleransi tak melulu soal kerukunan antar umat beragama, hadirnya sekolah inklusi juga menjadi salah satu bukti hadirnya toleransi dalam dunia pendidikan.

Sama seperti masyarakat pada umumnya, anak berkebutuhan khusus (ABK) juga memiliki hak hidup yang setara, termasuk dalam bidang pendidikan. Hak tersebut juga tertuang dalam Undang-Undang dasar (UUD) 1945 pasal 28 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”

Pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional pun telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 70 Tahun 2009 yang menjamin hak ABK untuk mendapatkan pendidikan karena setiap sekolah di tingkat provinsi atau kabupaten/kota wajib menyediakan pendidikan inklusi di tingkat SD, SMP, dan SMA. Peraturan yang ditetapkan Bambang Sudibyo pada 5 Oktober 2009 itu bertujuan untuk memberi pendidikan yang tak diskriminatif.

Mengutip Pasal 1 dan 2, Pendidikan inklusif merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan pada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan bersama dengan peserta didik pada umumnya. Tujuannya untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

Lantas, seperti apa gambaran sekolah inklusi yang memberi ruang pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus agar bisa mendapatkan kesempatan yang sama seperti anak sekolah pada umumnya?

1. Tak sembarangan sekolah bisa memberikan fasilitas pendidikan inklusif

Belajar Hal Terkecil tentang Toleransi dari Sekolah InklusiSekolah Inklusi Marsudirini Bogor (IDN Times/Aryodamar)

Sekitar 20 Km dari pusat Kota Bogor, Jawa Barat, terdapat sebuah sekolah yang telah menyelenggarakan pendidikan inklusif selama hampir 12 tahun. Sekolah bernama Marsudirini Bogor tersebut awalnya tidak dibangun sebagai sekolah inklusi. Namun, keberadaan seorang anak dengan kondisi ‘istimewa’ mengubah segalanya.

“Dulu ada anak yang agak 'berbeda'. Dites gak bisa, fokusnya kurang. Suster Rosali (Ketua yayasan Marsudirini Bogor saat itu) langsung konsultasi ke Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, kata mereka sekolah kami ini sekolah inklusi, akhirnya kami dapat surat keterangan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa kami ini sekolah inklusi yang menerima ABK,” ujar Wakil Koordinator bidang ABK Sekolah Marsudirini Bogor, Angela Ira, ketika ditemui IDN Times.

Sejak Sekolah Marsudirini Bogor dinyatakan sebagai sekolah inklusi, ratusan siswa ABK telah dididik mulai dari tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga sekolah menengah atas. Bukan hanya itu, sekolah di kawasan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ini juga menyiapkan sejumlah fasilitas penunjang seperti kebun dan gedung khusus agar ABK bisa belajar mengenai life skill.

Pengamat pendidikan, Darmaningtyas berpendapat, lembaga pendidikan tak bisa sembarangan memberi pendidikan inklusif. Menurutnya ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi sebelum memberikan pendidikan inklusif.

“Sarana dan prasarana harus siap menerima ABK. Sumber daya manusianya juga harus siap, mengajar ABK itu butuh kesabaran,” jelas Darmaningtyas ketika dihubungi IDN Times.

Meski telah memiliki aturan yang menjamin hak pendidikan bagi ABK, nyatanya tak semua lembaga pendidikan mampu menyelenggarakan pendidikan inklusif. Sebab masih banyak sekolah yang belum memenuhi syarat penunjang menyelenggarakan pendidikan tersebut.

2. Mengajar sekaligus mendapat pelajaran hidup dari anak berkebutuhan khusus

Belajar Hal Terkecil tentang Toleransi dari Sekolah InklusiAngela Ira, guru ABK di Sekolah Inklusi Marsudirini Bogor, Jawa Barat (IDN Times/Aryodamar)

Kepada IDN Times, Ira sempat berkisah mengenai pengalamannya selama bertahun-tahun menjadi guru pendamping ABK. Menurutnya, pengalaman mendampingi ABK memberikan pelajaran hidup yang berharga.

“Aku dapat banyak pelajaran hidup dari mereka. Jadi orang yang lebih tangguh dan berani berjuang untuk sesuatu yang layak diperjuangkan,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Ia pun mengatakan bahwa menjadi guru pendamping ABK tak melulu bahagia. Sebab, ada kalanya ia dianggap remeh karena seolah hanya mengajarkan soal hidup saja. Meski demikian, Ira memutuskan tetap bertahan dengan pekerjaannya itu.

“Cita-cita ku sebenarnya kerja di NGO (Non-Govermental Organtization). Waktu itu baru lulus kuliah, terus sekolah ini butuh lulusan psikologi terus nyoba ngelamar di sini. Tadinya mau hanya sebentar di sini, tapi karena rasa cinta sama anak-anak jadi bertahan sampai sekarang,” ujarnya.

3. Sekolah inklusi dan SLB serupa tapi tak sama

Belajar Hal Terkecil tentang Toleransi dari Sekolah InklusiSekolah Marsudirini Bogor yang menyelenggarakan pendidikan inklusif (IDN Times/Aryodamar)

Selain di sekolah inklusi, ABK di Indonesia juga bisa memperoleh pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Meski sama-sama menampung ABK, nyatanya sekolah inklusi dan SLB memiliki perbedaan. ABK di sekolah inklusi akan mendapat lingkungan yang sama dengan siswa pada umumnya, sedangkan di SLB mereka mendapat lingkungan yang serupa, bergaul dengan sesama ABK lainnya.

“Sebenarnya secara pengajaran gak jauh beda. Bedanya hanya lingkungan sosialisasinya saja,” kata Ira.

Pendapat Ira pun diamini oleh Darmaningtyas. Secara terpisah, dia juga menyebutkan bahwa pembedanya terdapat pada lingkungan. “Kalau di SLB temannya kan khusus, sedangkan di sekolah inklusi lebih beragam,” jelasnya.

4. Para siswa memperlakukan ABK di sekolah inklusif sama seperti siswa lainnya

Belajar Hal Terkecil tentang Toleransi dari Sekolah InklusiAngela Ira, pengajar di sekolah inklusi (IDN Times/Aryodamar)

Maria Christina, salah satu pelajar di Marsudirini Bogor mengungkapkan bahwa keberadaan ABK di sekolahnya tak memberi perbedaan dalam hal bersosialisasi. Ia pun tetap memperlakukan ABK sama seperti yang dilakukannya terhadap teman-teman lain meski hubungannya tak terlalu dekat. Baginya, mereka adalah teman yang sama bahkan beberapa di antaranya memiliki kehebatan di bidang tertentu.

“Ya ditemenin saja kayak biasa. Mereka tuh bukan gak bisa ngapa-ngapain, mereka punya keistimewaan masing-masing. Kalau ketemu ya disapa kayak ke teman lain,” ujarnya kepada IDN Times.

Maria memberi contoh seorang teman berkebutuhan khusus di sekolahnya yang punya kemampuan spesial dalam berhitung. Ia mengungkapkan bahwa anak itu memiliki kemampuan berhitung lebih cepat dibanding yang lainnya.

“Ada anak namanya Kevin, dia matematikanya jago. Kita waktu itu kasih soal misalnya perkalian, kita harus ngitung dulu nih tapi dia bisa cepat jawab, padahal angkanya besar,” ujarnya.

Perbincangan dengan Maria pun harus segera berakhir ketika kami mendengar pendamping siswa asrama melalui pengeras suara mengingatkan bahwa waktu makan malam akan segera berlangsung, matahari juga sudah mulai tenggelam di bawah garis cakrawala di ufuk barat.

Sepulangnya dari sekolah luar biasa ini, kami menerima pembelajaran luar biasa, bahwa toleransi seharusnya tak cuma terucap dalam lisan atau bacaan yang hanya berakhir wacana. Kita bisa memulainya dari hal yang terkecil, yakni menerima perbedaan.

Baca Juga: Segitiga Emas Kampung Sawah, Bukti Toleransi di Indonesia Masih Kukuh

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya