Bertaruh Nyawa Demi Kelestarian Mangrove di Utara Jakarta

Indonesia memiliki 23 persen mangrove dari populasi dunia

Jakarta, IDN Times - Pohon mangrove bagi sebagian orang mungkin sudah tak asing lagi, khususnya mereka yang tinggal di kawasan pesisir. Tapi mungkin bagi mereka yang tinggal di pegunungan pohon ini kurang familiar, bahkan mungkin tidak tahu sama sekali.

Nah, beberapa hari lalu, tepatnya Senin 23 Juli lalu, saya mengunjungi salah satu kawasan wisata mangrove yang berada di wilayah Jabodetabek. Nama tempat itu Taman Wisata Alam (TWA) Mangrove yang berlokasi di Angke, Penjaringan, Jakarta Utara. 

Mencari lokasi tempat wisata alam ini terbilang mudah, karena persis di depan tempat itu terdapat gedung megah Yayasan Budha Tzu Chi. Apalagi bagi kamu yang beragama Budha, tempat ini mungkin sudah tidak asing lagi.

Setiap pengunjung Taman Wisata Alam Mangrove akan dikenai biaya masuk Rp 25 ribu pada hari biasa. Biaya itu belum termasuk jika membawa kendaraan pribadi atau ingin menikmati wahana yang terdapat di sana, seperti berkeliling hutan mangrove dengan perahu, menanam mangrove, dan bahkan menginap di tempat ini. 

Bertaruh Nyawa Demi Kelestarian Mangrove di Utara JakartaIDN Times/Gregorius Aryodamar P

Sedikit tips jika kamu ingin berkunjung ke tempat ini, pastikan kamu membawa uang tunai yang cukup, karena di Taman Wisata Alam Mangrove tidak menyediakan pembayaran menggunakan kartu debit, kredit, ataupun uang elektronik.

Setelah membayar tiket masuk, saya coba menemui pengelola Taman Wisata Alam Mangrove untuk mengetahui lebih dalam, tentang tempat yang kukunjungi ini.

“Tunggu sebentar ya,” ujar pria penjual makanan di kantin, ketika saya menanyakan keberadaan sang pengelola taman. 

Setelah hampir 30 menit orang yang saya cari-cari tak kunjung hadir, saya kembali menemui penjual makanan tadi. Kali ini, ia meminta saya untuk berbicara dengan seorang wanita bernama Irma, yang mengaku sebagai bagian keuangan Taman Wisata Alam Mangrove.

Bertaruh Nyawa Demi Kelestarian Mangrove di Utara JakartaIDN Times/Gregorius Aryodamar P

Dia sempat memberi penjelasan singkat mengenai apa saja fasilitas yang bisa saya nikmati di tempat wisata ini. Namun tetap saja saya tak bisa bertemu dengan pengelola taman karena tak membawa surat izin.

“Maaf mas, kalau mau ketemu pengelola untuk interview harus bawa surat izin, terus keperluannya apa aja ditulis juga,” ujar Irma.

Setelah saya menjelaskan dengan gamblang apa tujuan saya bertemu pihak pengelola, akhirnya Irma merekomendasikan saya bertemu Resijati Wasito. Dia disebut-sebut pernah berprofesi sebagai ranger alias polisi hutan. Alhasil, saya berhasil menemui pria itu. 

Di balik perawakannya yang tenang, ternyata lelaki yang akrab dipanggil Jati ini menyimpan segudang pengalaman mengerikan terkait pendirian Taman Wisata Alam Mangrove. Dia bisa disebut sebagai saksi hidup sulitnya perjuangan membangun dan mengelola kawasan ini.

1. Bertaruh nyawa demi populasi mangrove

Bertaruh Nyawa Demi Kelestarian Mangrove di Utara JakartaIDN Times/Gregorius Aryodamar P

Jati pun mulai bercerita awal mula membangun kawasan tersebut, yang sebelumnya adalah lahan tidur atau tanah yang tidak memiliki potensi. Dia bertugas di sana sejak 1997 atas perintah Mohamad Prakosa yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehutanan.

“Dulu kawasan ini rusak karena penambak liar, dijadiin kolam dan empang. Pak Prakosa bilang begini sama saya, 'Pak, tolong ini dikembalikan jadi hutan mangrove lagi, sayang',” kata Jati, yang mengenakan kaus hijau itu.

Tentu perintah sang Menteri tugas berat bagi Jati ketika itu. Sebab dia kesulitan mengusir penambak liar di kawasan tersebut, lantaran mereka merasa memiliki lahan tersebut.

Bahkan, dalam operasi gabungan yang dilakukan instansi terkait pada 2002, tidak membuahkan hasil, karena penambak liar kembali menguasai kawasan itu.

“Awalnya saya bertindak seperti intel dulu, saya data siapa saja yang masuk ke kawasan ini. Setelah data cukup operasi gabungan untuk ngusir penambak liar dilakukan, tapi gagal karena mereka masuk lagi,” jelas Jati.

Baca juga: 3 Wisata Mangrove Paling Indah di Jawa Timur, Sudah Pernah ke Sana?

Bertaruh Nyawa Demi Kelestarian Mangrove di Utara JakartaIDN Times/Gregorius Aryodamar P

Setelah operasi gabungan gagal, Jati bersama teman-temannya terus menghadapi gangguan dari penambak liar. Seperti pohon mangrove yang sudah ditanam tapi dicabut para penambak.

Menurut Jati, para penambak tak senang karena mereka bisa mendapat penghasilan hingga ratusan juta tiap tahun di tanah yang sebenarnya milik negara itu.

“Di tanah itu mereka bisa dapat penghasilan hingga ratusan juta, makanya mereka gak suka kalau diusir, padahal itu tanah negara,” kata dia.

Sempat ada perdebatan hebat antara penambak yang merasa memiliki lahan tersebut dengan Jati. Mereka menolak diusir karena mereka merasa memiliki lahan tersebut.

“Waktu dikepung warga, saya udah mau mati. Modal saya cuma surat perintah dari Menteri saja, gak mau pakai senjata walau pun dikasih. Saya bilang sama mereka: Saya tugas di sini karena ada surat perintahnya, kalau kamu merasa punya wilayah ini dan ada suratnya silakan bawa ke kantor bareng-bareng," kenang Jati.

"Setelah dicek, ternyata surat yang mereka punya itu bukan surat tanah, tapi surat izin menggarap dan itu sudah gak berlaku lagi,” lanjut dia.

Bertaruh Nyawa Demi Kelestarian Mangrove di Utara JakartaIDN Times/Sukma Shakti

Lima tahun berselang, operasi gabungan kembali dilakukan pemerintah. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini wilayah-wilayah yang bisa diakses masuk oleh warga digali dan dibuat pagar pembatas, sehingga akses masuk ke wilayah itu hanya ada satu. Beberapa warga yang menjadi provokator pun ditangkap dan dipenjara. 

Akhirnya, pada 2010 Taman Wisata Alam Mangrove diresmikan Menteri Kehutanan saat itu, Zulkifili Hasan. Jati kini sudah pensiun sebagai ranger. Namun, ia tetap setia mengabdi pada taman mangrove ini karena sudah telanjur cinta. Selain itu, sang anak juga jadi alasannya bertahan.

“Saya udah pensiun, mas. Di sini juga cuma bantu-bantu aja, karena anak masih sekolah,” kata dia.

Jati mengaku sering ditawari sejumlah uang sogokan oleh berbagai oknum, agar Taman Wisata Alam Mangrove bisa beralih fungsi. Namun, karena kecintaanya dengan alam membuat ia menolak sogokan itu.

“Dulu saya pernah ditawari uang banyak dari orang, tapi saya tolak karena saya cinta dengan alam dan tempat ini,” ungkap dia.

Perjuangan Jati membangun kembali kawasan Taman Wisata Alam Mangrove yang sempat rusak, tidak semudah membalikan telapak tangan. Kesabaran menjadi hal penting dalam menanam mangrove, karena proses pertumbuhan pohon ini cukup lama.

“Nanam mangrove itu harus sabar. Pembibitannya saja butuh tiga bulan dan jadi agak besar membutuhkan tiga bulan,” kata dia, sambil mengajak saya berkeliling tempat penanaman dan pembibitan mangrove.

Menurut Jati, jumlah mangrove di Taman Wisata Alam Mangrove saat ini sudah cukup, meski pun tetap butuh penanaman mangrove terus menerus.

2. Mangrove punya banyak manfaat

Bertaruh Nyawa Demi Kelestarian Mangrove di Utara JakartaIDN Times/Gregorius Aryodamar P

Orang-orang yang menguasai wilayah Taman Wisata Alam mangrove mempercayai mitos, bahwa pohon ini membuat ikan-ikan mati. Padahal, mangrove memiliki banyak manfaatnya.

“Mereka dulu percaya kalau mangrove bisa bikin ikan mati, kan dulu mereka menambak ikan di sini. Makanya mangrove dicabutin semua sama mereka. Padahal manfaat mangrove banyak, contohnya bisa nahan abrasi dan mecah gelombang laut,” kata Jati.

Hal senada juga diungkapkan Yuyun Harmono, Manajer Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Menurutya, selain dua hal tersebut masih ada manfaat lain dari pohon mangrove.

“Mangrove berguna untuk memecah gelombang laut, tempat berkembangnya biota laut, dan dapat menyerap karbon yang ada di air laut,” kata Yuyun.

Karena punya banyak manfaat, keberadaan mangrove perlu dijaga dan dilestarikan. Menurut Yuyun, sebagai manusia banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjaga dan melestarikan mangrove.

“Mangrove itu perlu dijaga dan dilestarikan. Cara yang paling mudah itu cuma jangan buang sampah sembarangan. Karena sampahnya akan mengalir ke laut dan akan merusak mangrove, apalagi yang bernapas di air,” kata dia.

Yuyun menyebutkan sampah bukan satu-satunya penyebab mangrove bisa rusak. Ekspansi industri juga bisa mengancam tumbuh kembang mangrove.

“Ekspansi industri juga bisa merusak mangrove, bukan cuma sampah,” ujar dia. 

3. Indonesia darurat mangrove

Bertaruh Nyawa Demi Kelestarian Mangrove di Utara JakartaIDN Times/Gregorius Aryodamar P

Menurut data Walhi, Indonesia memiliki 23 persen mangrove dari jumlah populasi mangrove di dunia. Sayangnya, setengah dari jumlah tersebut dalam kondisi yang tidak baik. Karena itu, pemerintah diharapkan menanggapi serius permasalahan ini.

“Sebanyak 23 persen mangrove dunia itu dari Indonesai, sekitar 3,4 juta mangrove. Tapi separuhnya sudah rusak. Mangrove saat ini belum jadi perhatian utama pemerintah yang katanya tidak ingin memunggungi laut. Pemerintah harus membuat langkah korektif untuk mangrove,” kata Yuyun.

Dengan kondisi sekarang ini, kata dia, tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, karena mangrove bisa saja mengalami kepunahan akibat tak dirawat dengan baik. Pemerintah sendiri sudah melakukan berbagai upaya untuk menjaga dan melestarikan mangrove, salah satunya adalah dengan dibuatnya koordinasi kolaboratif dengan instansi yang terlibat dalam wilayah yang dihuni mangrove, sehingga tidak ada yang dirugikan dalam membuat keputusan.

“Mangrove itu perlu dijaga dan dilestarikan. Cara yang paling mudah itu cuma jangan buang sampah sembarangan. Karena sampahnya akan mengalir ke laut dan akan merusak mangrove, apalagi yang bernapas di air,” kata dia.

Yuyun menyebutkan sampah bukan satu-satunya penyebab mangrove bisa rusak. Ekspansi industri juga bisa mengancam tumbuh kembang mangrove. “Ekspansi industri juga bisa merusak mangrove, bukan cuma sampah,” ujar dia. 

Bertaruh Nyawa Demi Kelestarian Mangrove di Utara JakartaIDN Times/Gregorius Aryodamar P

Muhammad Ilman, dalam karya ilmiahnya sebagai kandidat Doktor Pengelolaan Lingkungan di Universitas Queensland Australia pada 26 July 2017 menyebutkan, nasib 3,2 juta hektare mangrove Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Luas mangrove yang hilang hampir satu juta hektare, setara dengan 15 kali luas daratan Jakarta.

Berbagai kajian akademik secara konsisten menunjukkan kehilangan mangrove di Indonesia dipicu permintaan udang dunia yang tinggi. Kesimpulan tersebut berdasarkan dua pengalaman pahit yaitu pelarangan Pukat Harimau penangkap udang pada 1980 dan krisis finansial Asia 1997, yang berujung lenyapnya sekitar 500 ribu hektare mangrove di Kalimantan dan Sumatra.

Tidak itu saja. Mangrove yang rusak terus-menerus melepas gas rumah kaca (GRK) penyebab perubahan iklim dalam jumlah sangat besar (Murdiyarso et al. 2015), setara dengan gas rumah kaca (GRK) yang terlepas dari penggunaan listrik dan gas seluruh Australia.

"Tanpa perbaikan produktivitas tambak, hingga 15 tahun ke depan, masyarakat akan terus tergoda untuk merambah mangrove demi memenuhi permintaan konsumen. Artinya, sekitar 600.000 hektare mangrove terancam jadi tambak agar produksi udang dan permintaan udang dunia menjadi seimbang (Ilman et al. 2016)," tulis Ilman seperti dikutip dari laman mongabay.co.id.

Ancaman yang tidak kalah seriusnya adalah pembukaan kebun sawit. Data World Resources Institute (2014) menunjukkan saat ini terdapat 118.000 hektare mangrove masuk dalam kapling konsesi kebun sawit. Jika tidak dicegah dengan penataan area yang baik, diperkirakan 97.000 hektare lahan mangrove dalam konsesi tersebut akan hilang berubah menjadi kebun sawit.

Bertaruh Nyawa Demi Kelestarian Mangrove di Utara JakartaIDN Times/Sukma Shakti

Menurut Ilman sejak awal 1990-an pemerintah dan masyarakat memang telah melakukan penyelamatan besar-besaran dengan menanami kembali sekitar 15.000 hektare mangrove yang rusak setiap tahunnya (Kusmana, 2014). Kegiatan tersebut dipadu dengan pengembangan kebijakan Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove (SNPM) 1997.

"Sayangnya, berbagai upaya tersebut tidak berhasil meredam kerusakan yang terus berlangsung. Penanaman mangrove misalnya, cakupannya ternyata bagaikan buih di lautan, karena luas kerusakan yang telah hampir satu juta hektare. Tidak mengherankan, hasil perhitungan Richards et al. (2015) menunjukkan bahwa sejak peluncuran SNPM 1997, Indonesia justru terus kehilangan mangrove hingga 5.000 hektare per tahun," kata dia.

Padahal, menurut Ilman, ekosistem mangrove adalah tulang punggung perekonomian Indonesia, karena menyumbang lebih dari Rp 40 triliun per tahun dari sektor perikanan budidaya (KKP, 2015). Nilai tersebut menempatkan Indonesia sebagai raksasa perikanan dunia bersama-sama dengan China dan India (FAO, 2016).

"Nilai ekonomi mangrove akan lebih tinggi lagi jika jasa ekosistem lainnya seperti melindungi infrastruktur pesisir dari erosi, gelombang, dan badai, ikut diperhitungkan. Tidak mengherankan jika pemerintah selama tiga dekade terakhir berupaya keras untuk menyelamatkan mangrove. Pertanyaannya kemudian adalah apakah upaya tersebut berjalan efektif?" dia mempertanyakan. 

Nah, sekarang kamu sudah tahu gambaran ekosistem dan populasi mangrove di Indonesia kan? Jadi mulai sekarang yuk kita lestarikan mangrove di bumi Nusantara dimulai dari hal kecil seperti tidak membuang sampah sembarangan ya guys. Selamat Hari Mangrov Sedunia!

Baca juga: Menengok Kawasan Hutan Mangrove Muara Angke yang dipenuhi sampah

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya