ICW Desak Polri Pecat Penyidik Jika Terbukti Palak Pejabat di KPK
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mendesak Polri untuk memecat anggotanya, jika memang terbukti memeras Wali Kota Tanjungbalai Syahrial, saat menjalankan tugasnya sebagai penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"KPK harus memproses hukum penyidik itu serta Polri juga mesti memecat yang bersangkutan dari anggota Korps Bhayangkara," kata Kurnia dalam keterangan tertulis, Kamis (22/4/2021).
Baca Juga: Polri Tak Beri Toleransi bagi Penyidik KPK yang Diduga Peras Pejabat
1. Jika terbukti memeras, penyidik KPK itu harusnya dihukum seumur hidup
Kurnia menjelaskan, jika dugaan pemerasan itu benar, maka penyidik KPK berinisial SR itu harus dijerat dua pasal UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua pasal itu adalah Pasal 12 huruf e tentang tindak pidana pemerasan dan Pasal 21 terkait menghalang-halangi proses hukum.
"Tentu ketika dua kombinasi pasal itu disematkan kepada pelaku, ICW berharap penyidik asal Polri yang melakukan kejahatan itu dihukum maksimal seumur hidup," jelasnya.
2. Peristiwa pemalakan oleh penyidik KPK pernah terjadi pada 2006
Kurnia mengungkapkan, kejadian ini bukanlah yang pertama terjadi. Pada 2006, seorang penyidik KPK bernama Suparman terbukti memeras saksi Rp413 juta
Editor’s picks
"Suparman kemudian diganjar hukuman 8 tahun penjara," jelasnya.
3. ICW kritik proses penanganan perkara korupsi era Firli
ICW juga mengkritik proses penanganan perkara yang dilakukan KPK pada masa kepemimpinan Firli Bahuri. Menurut Kurnia, KPK sering menyembunyikan nama tersangka dengan alasan menunggu penangkapan atau penahanan.
Padahal, dalam Undang-Undang (UU) KPK tidak ada kewajiban bagi lembaga antirasuah untuk menutup-nutupi nama tersangka, ketika proses penanganan perkara sudah masuk proses penyidikan.
"Pasal 44 ayat (1) UU KPK sudah jelas menyebutkan bahwa dalam fase penyelidikan, KPK sudah mencari bukti permulaan yang cukup. Hal itu menandakan, tatkala perkara sudah naik pada tingkat penyidikan, maka dengan sendirinya sudah ada penetapan tersangka," jelasnya.
Jika kebiasaan itu terus dilakukan, kata Kurnia, maka KPK telah melanggar Pasal 5 UU KPK tentang asas kepentingan umum, keterbukaan, dan akuntabilitas lembaga.
Selain itu, Kurnia mengatakan bahwa kebiasaan baru KPK dalam menyidik perkara tanpa penetapan tersangka, akan semakin diperparah dengan kewenangan KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU KPK.
"Pemerasan yang diduga dilakukan oleh penyidik KPK tersebut, patut diduga merujuk pada penghentian penyidikan lewat penerbitan SP3 oleh KPK," ujarnya.
Baca Juga: Penyidik dari Polri Diduga Peras Wali Kota Tanjungbalai, Ini Sikap KPK