KPK Ungkap Ada 244 Kasus Mafia Tanah dalam 4 Tahun Terakhir
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap ada 244 kasus mafia tanah di Indonesia selama empat tahun terakhir. Data ini mereka peroleh dari kajian Direktorat Monitoring KPK.
"Dalam periode ini ditemukan sebanyak 244 kasus mafia tanah," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, Kamis (5/1/2023).
1. KPK ungkap ada 31.228 kasus pertanahan
Tak hanya itu, Ghufron juga mengungkapkan ada 31.228 kasus pertanahan. Rinciannya sebanyak 37 persen sengketa, 2,7 persen konflik, dan 60 persen perkara.
"Masalah klasik sengketa agraria yang ditemukan adalah tumpang tindih hak guna usaha (HGU)," ujar Ghufron.
Baca Juga: Menteri Era Presiden SBY Diperiksa KPK soal Penyaluran Dana UMKM
2. BPN terkesan tidak melakukan apapun dalam masalah tanah
Editor’s picks
Ghufron menjelaskan masalah ini biasanya terjadi karena sertifikat HGU yang belum terpetakan. Bahkan, totalnya mencapai 1.799 sertifikat dengan luas mencapai 8,3 hektar.
Selain itu, KPK juga mengungkap di atas satu bidang tanah bisa terbit beberapa sertifikat. Namun, Badan Pertanahan Nasional (BPN) terkesan tidak melakukan apapun sehingga konflik berlanjut di pengadilan.
"Semestinya negara itu profesional mengatakan mana yang benar dan salah. (Bukan) Seakan-akan tidak mau ambil risiko dan rakyat yang berjuang sendirian. Kami berharap ada perbaikan dari teman-teman BPN," ujarnya.
3. KPK soroti lemahnya pengawasan
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, mengatakan ada beberapa kasus korupsi pertanahan yang sedang ditangani lembaganya. Di antaranya, suap HGU di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau dan Kalimantan Barat.
Kondisi ini disebabkan karena lemahnya pengawasan. Sebab, Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021 tidak mengatur sanksi tegas terkait pelanggaran kewajiban HGU dan kurangnya anggaran.
"Minim anggaran pengawasan HGU dan tidak dibangun mekanisme pengawasan berbasis risiko dan teknologi. Akibatnya terjadi ketidakpatuhan pelaksanaan kewajiban pemegang HGU dan potensi tumpang tindih tinggi," ujar Pahala.