KPK Ungkap Modus Korupsi BUMN: Pakai Jasa Konsultan Miliaran Gak Jelas
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, mengungkapkan ada sejumlah modus dugaan korupsi yang biasa terjadi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satunya, dengan menggunakan jasa konsultan dengan biaya miliaran rupiah, namun tak jelas.
"Perusahaan itu di dalam terminologi fraud menggunakan jasa konsultan menjadi salah satu modus untuk mengeluarkan duit dari perusahaan," ujar Alex di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (22/12/2021).
"Ini saya yakin juga pasti banyak di BUMN banyak menggunakan konsultan yang gak jelas konsultan apa, yang biayanya juga kadang miliaran, hasilnya apa kita gak ngerti," sambungnya.
1. Perusahaan BUMN kerap sembunyikan pengeluaran lewat berbagai pos anggaran
Alex mengatakan penggunaan jasa konsultan merupakan modus korupsi paling mudah di BUMN. Selain itu, perusahaan pelat merah kerap menyembunyikan pengeluaran gak resmi lewat berbagai pos biaya.
"Biaya pemasaran lah, atau manajemen fee, dan lain sebagainya, kan seperti itu. Itu salah satu bentuk dari tindakan kecurangan yang disembunyikan seolah-olah menjadi transaksi yang lumrah," ujarnya.
Baca Juga: KPK Tetapkan Eks Direktur BUMN PTPN XI Tersangka Korupsi Mesin Giling
2. Modus korupsi pakai jasa konsultan pernah tejadi di Garuda Indonesia
Modus korupsi seperti itu pernah terjadi di PT Garuda Indonesia. Alex mengatakan, uang hasil korupsi itu dianggap sebagai proses pembelian yang dikerjakan mantan Direktur Utama (Dirut) PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo sehingga hakim tak merampas uang itu.
"Uang yang diterima oleh perusahaan yang dikendalikan Soetikno tadi itu dianggap sebagai bisnis yang legal oleh hakim, sehingga hakim tidak mau merampas uang itu," ujar Alex.
3. KPK heran uang Rp390 miliar Soetikno dianggap legal
Alex mengatakan KPK masih meminta hakim merampas uang senilai Rp390 yang diduga diterima Soetikno. Ia pun heran karena di negara lain hal seperti itu merupakan suap.
"Sangat aneh. Kalau di negara lain itu dianggap sebagai suap, sementara di sini karena katanya ada kontrak itu dianggap sebagai legal," ujarnya.
Baca Juga: Garuda Indonesia Libatkan Banyak Konsultan saat Bahas Status PKPU