Saksi Tidak Konsisten, Hakim Sidang Kasus Edhy Prabowo Murka

"Lihat mata saya, mana yang benar?" tegas Hakim

Jakarta, IDN Times - Hakim Ketua Albertus Usada 'mengamuk' ketika mendengar Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PT PLI) sekaligus Pendiri PT Aero Citra Kargo (PT ACK), Siswadhi Pranoto Loe, bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat. Siswadhi dihadirkan sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi ekspor benur yang melibatkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. 

Apa yang menyebabkan hakim sangat murka?

1. Hakim konfirmasi soal pembagian biaya ekspor benur ke saksi

Saksi Tidak Konsisten, Hakim Sidang Kasus Edhy Prabowo MurkaMenteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (tengah) berjalan menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan korupsi ekspor benih lobster di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (26/11/2020) dini hari (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Mulanya Hakim Albertus bertanya pada Siswadhi mengenai rincian pembagian biaya ekspor benur atau benih bening lobster Rp1.800 dari PT PLI ke PT ACK. Sebab, ada keterangan yang berbeda.

"Berkenaan hubungan PLI dan ACK kaitannya dengan besaran biaya flight forwarding, pengangkutan udara, sejumlah Rp1.800. Itu berapa bagian PT ACK dan berapa yang jadi bagian PT PLI? Kemarin ada Rp1.450 dan Rp350 = Rp1.800. Sementara ada keterangan lain Rp1.500 dan Rp300, ketemunya sama Rp1.800. Coba saudara sebagai saksi dan terdakwa berapa nilai jumlah yang pasti, tentu besaran ongkos angkut udaranya?" tanya hakim dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (16/6/2021).

Siswandi sempat ragu terhadap jawabannya. Dia lalu menjawab bahwa pembagian ke PT ACK Rp1.500 dan PT PLI Rp300. Jawaban itu pun langsung dipertanyakan hakim karena berbeda dengan dakwaan jaksa dan fakta sidang sebelumnya.

"Di penuntut umum Rp1.450+ Rp350, mana ini yang benar? Dalam dakwaan itu Rp350 PLI, Rp1.450 adalah ACK. Ini kok ada versi lain Rp1.500+ Rp300, bagaimana ini? Mana yang pasti ini?" tanya hakim.

"Lihat mata saya, mana yang benar?" tegas Hakim Albertus.

2. Hakim tegur saksi karena tidak konsisten

Saksi Tidak Konsisten, Hakim Sidang Kasus Edhy Prabowo MurkaHakim Sidang Edhy Prabowo. (IDN Times/Aryodamar)

Usai dicecar, Siswadhi akhirnya membenarkan pernyataan yang didakwakan jaksa. Ia pun ditegur karena tidak konsisten memberi keterangan.

"Dari tadi lah begitu. Wong kemarin fakta yang terungkap di perkara yang Suharjito itu. Kami terikat di sana. Ini kok malah versi lain bagaimana itu? Saya pertegas ini, jangan sampai nanti berubah-ubah. Saya hanya uji konsisten keterangan satu yang lain berkas yang bersamaan ini. Konsisten. Jangan dibilang nanti hakimnya mencla-mencle. Putusan ini begini, putusan itu begini, beda. Nanti dibaca akademisi malu kami itu," ujarnya.

3. Edhy Prabowo didakwa terima suap Rp24,6 miliar

Saksi Tidak Konsisten, Hakim Sidang Kasus Edhy Prabowo MurkaMantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (3/12/2020) (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Sebelumnya Edhy Prabowo didakwa menerima suap senilai Rp24,6 miliar dan 77 ribu dolar Amerika Serikat. Uang tersebut didapatkannya melalui Amiril Mukminin, Ainul Faqih, Andreau Misanta Pribadi, Suharjito, dan Siswadhi Pranoto Loe.

Ainul adalah staf istri Edhy, Iis Rosita Dewi. Lalu Andreau merupakan staf khusus Edhy, dan Amiril merupakan sekretaris pribadi mantan politikus Partai Gerindra itu. Suharjito adalah Direktur Utama PT DPPP dan Siswadhi Pranoto Loe adalah Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) dan pemilik PT Aero Citra Kargo (ACK) yang didakwa memberi suap.

Dalam dakwaannya, jaksa mengatakan, pemberian suap itu agar perusahaan milik Suharjito dimuluskan untuk melakukan izin pengelolaan dan budi daya lobster dan ekspor benur dengan mengeluarkan kebijakan untuk mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor: 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) dari Wilayah Negara Republik Indonesia. 

"Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya," ujar jaksa.

Setelah Edhy menerima uang dari para pengekspor benur tersebut, selanjutnya uang digunakan untuk membeli tanah, membayar sewa apartemen, membeli mobil, jam tangan, sepeda, merenovasi rumah, pembayaran bisnis buah-buahan, pembelian barang di Amerika Serikat serta memberikan uang ke berbagai pihak seperti sekretaris pribadi, staf ahli, penyanyi dangdut, pesilat, dan pihak lainnya.

Ia didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Ia pun terancam penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.

Baca Juga: Penyuap Edhy Prabowo: Ekspor Benur Gak Ada Untungnya!

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya