Cerita Kelam Buruh Perempuan di Tengah Pandemik, Kena PHK hingga KDRT

Buruh perempuan rentan mendapat diskriminasi dari perusahaan

Jakarta, IDN Times - Pandemik COVID-19 mengakibatkan banyak pekerja diputus kontrak dan juga di-PHK. Dampak yang dirasakan dari pandemik ini tidak hanya pada buruh laki-laki, melainkan juga bagi pekerja perempuan khususnya di industri Tekstil, Garmen, dan Alas Kaki (TGSL).

“Buruh perempuan mengalami persoalan baru karena tantangan yang mereka hadapi di tempat kerja serta ekspektasi terkait kewajiban pekerja perempuan di rumah semakin double. Mereka semakin terpuruk karena beban mereka semakin bertambah,” ujar Ketua Pemberdayaan Pekerja Perempuan, Yati Kursyanti pada Webinar Pekerja Perempuan, Covid-19, dan Industri TGSL, Selasa 22 Desember 2020 lalu.

Apa saja dampak yang dirasakan oleh para buruh perempuan akibat pandemik?

1. Buruh perempuan terpaksa dirumahkan dan gaji dipotong 70 persen

Cerita Kelam Buruh Perempuan di Tengah Pandemik, Kena PHK hingga KDRTIlustrasi pekerja linting di pabrik sigaret. ANTARA FOTO/Siswowidodo

Semenjak COVID-19 melanda Indonesia, banyak pekerja perempuan khususnya buruh di industri tekstil PT Master Wovenindo Label yang dirumahkan karena pabrik tutup. Padahal, 90 persen pekerja di pabrik tekstil itu adalah perempuan.

Yuliati, pekerja perempuan yang bertugas sebagai staf administrasi di PT Master mengatakan bahwa perusahaannya memberikan upah 30 persen hingga Agustus, setelah itu perusahaan ditutup dan mereka dirumahkan.

“Pada bulan Maret kita masih digaji full yaitu 100 persen, di tanggal 1 Mei karyawan dirumahkan, kita dibayar gaji 30 persen tapi ada sekitar 70 persen karyawan itu yang dipekerjakan untuk menghabisi sisa-sisa order sebelumnya,” ucap Yuliati.

Baca Juga: Soal Upah, Buruh Minta Pengusaha Jangan Bersembunyi di Balik Pandemik

2. Pesangon pekerja tidak kunjung diberikan

Cerita Kelam Buruh Perempuan di Tengah Pandemik, Kena PHK hingga KDRTOky Lukmansyah/ANTARA FOTO

Selain dari pekerja yang dirumahkan, kesepakatan tentang pesangon juga masih menjadi perdebatan di antara para pekerja PT Master Wovenindo Label dengan pemilik, sebab sudah beberapa kali diadakan pertemuan tak kunjung ditemukan titik temu. Selain membahas tentang pesangon, para pekerja juga menagih hak mereka seperti uang makan dan gaji yang harusnya dibayarkan 30 persen selama pandemik.

Serikat pekerja juga tengah menuntut delapan poin yang nantinya akan dibahas pada pertemuan berikutnya.

“Kami tidak menyangka kalau PT Master akan tutup secepat ini, akhirnya setelah PT Master resmi ditutup lalu dibentuklah tim yang terdiri dari perwakilan manajemen dan perwakilan serikat. Di situ dirumuskan masalah perjanjian bersama yang terdiri dari 8 poin di antaranya yaitu masalah pembayaran pesangon dua kali PMTK dan penjualan secara bersama-sama, pengeluaran paklaring dan pembayaran BPJS,” kata Yuliati pada video yang diputar di Webinar.

Dia menambahkan, inti dari pertemuan pekerja dengan pemilik adalah menuntut hak-hak karyawan yang seharusnya dibayarkan.

"Selama ini kita hanya digaji 30 persen, uang makan tidak ada, kita menuntut hal itu,” lanjutnya.

 

3. Perempuan menjadi korban KDRT akibat lilitan ekonomi

Cerita Kelam Buruh Perempuan di Tengah Pandemik, Kena PHK hingga KDRTIlustrasi Kekerasan. (IDN Times/Sukma Shakti)

Yati Kursyanti mengatakan, banyak hal lain yang menjadi beban para pekerja perempuan yang dirumahkan akibat pandemik. Salah satu beban yang harus ditanggung oleh perempuan yang berhenti kerja adalah mendapatkan kekerasan verbal yang didasari karena lilitan ekonomi yang semakin mencekik.

Posisi ini menjadi beban baru yang harus dilalui para pekerja perempuan, apalagi jika suami juga terkena PHK di tempat kerjanya. Problematika ini terus bergulir di tengah COVID-19.

“Karena masalah ekonomi berimbaslah kepada KDRT karena suaminya yang juga di-PHK dan KDRT ini juga tidak hanya pekerja perempuannya saja tetapi juga kepada anak pekerja itu,” ujar Yati.

 

4. Diskriminasi pekerja perempuan jadi feminis kemiskinan

Cerita Kelam Buruh Perempuan di Tengah Pandemik, Kena PHK hingga KDRTIDN Times/Dhana Kencana

Masalah tak hanya sampai di situ. Selain terdampak pada perekonomian keluarga, pekerja perempuan juga kerap didiskriminasi dengan pembagian kerja gender, yang mengakibatkan “feminisasi” kerja di industri TGSL membuat perempuan diposisikan sebagai operator, pekerja kontrak, dan dibayar dengan upah rendah karena dianggap tidak memiliki keahlian (unskilled workers).

Hal ini menunjukkan bahwa feminis kerja mengakibatkan feminis kemiskinan dengan tidak adanya sensitivitas gender di perusahaan.

“Upah murah bagi pekerja perempuan dibanding pekerja laki-laki. Ini sudah diskriminasi sekali. Rata-rata mereka memang dibayar upah murah dengan alasan pekerja perempuan itu hanya sebagai membatu mencari nafkah bagi suaminya padahal yang harus dilihat perusahaan adalah kinerja si pekerja perempuan tersebut, jangan dibeda-bedakan,” kata Yati.

Baca Juga: Curhat Buruh: May Day 2020 Paling Kelam Bagi Buruh

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya