Dibahas di Debat Capres, Ini Bocoran Persoalan Energi di Indonesia

Kira-kira apa solusi yang akan ditawarkan kedua kubu nanti?

Jakarta, IDN Times – Ada banyak persoalan energi di Indonesia. Tidak hanya energi dalam bentuk minyak, gas, batubara, tapi juga bagaimana Indonesia memunculkan energi alternatif agar keberlangsungan hidup bisa terus terjaga hingga beberapa generasi mendatang.

Momentum debat calon presiden (capres) yang bersaing di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 bisa jadi acuan kapasitas calon presiden terpilih nanti. Bisa juga menjadi tolak ukur kita memilih 17 April nanti. Dalam debat yang kedua Minggu (17/2) malam nanti, salah satu tema yang akan dibahas adalah kebijakan di bidang energi.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dalam konferensi persnya beberapa hari lalu memaparkan apa saja permasalahan energi di Indonesia yang menarik dan kemungkinan besar dibahas saat debat nanti malam. Tidak hanya masalah, INDEF juga merekomendasikan sejumlah solusi permasalahan energi. Apa saja? Yuk kita simak.

1. Indonesia mengalami defisit energi khususnya minyak

Dibahas di Debat Capres, Ini Bocoran Persoalan Energi di IndonesiaANTARA FOTO/Aswaddy Hamid

Kenapa minyak Indonesia defisit? Hal itu karena ketergantungan terhadap BBM impor yang sangat besar yang mencapai 41 persen dari konsumsi BBM. Sudah begitu, kondisi ini akan semakin parah melihat produksi migas yang cenderung menurun, lebih rendah 30 persen di 2018 dibandingkan 2014.

“Investasi migas yang anjlok, khususnya di hulu sehingga sulitnya dorong produksi, dipengaruhi erat oleh kurangnya koordinasi dan kepastian kebijakan serta bolongnya UU migas,” kata Direktur INDEF Berly Martawardaya.

Oh ya, perlu kamu ketahui, menurut data Bappenas bahwa kebutuhan energi diperkirakan akan terus meningkat dan mencapai 2.744 juta Barrel Oil Equivalent (BOE) pada 2024.

2. Impor energi sulit untuk dihindari

Dibahas di Debat Capres, Ini Bocoran Persoalan Energi di IndonesiaSumber Gambar: www.selectanews.com

Yup, karena kebutuhan energi makin bertambah sementara produksinya terus menurun, mau gak mau impor menjadi pilihan. Tapi hal itu berdampak pada defisit neraca perdagangan migas yang menembus rekor baru pada 2018 sebesar USD 8,57 milar dimana USD 12,4 miliar dari defisit migas.

“Sedangkan neraca non-migas surplus USD 3,84 miliar sehingga kurs rupiah terhadap dolar tertekan di 2018 hingga menembus Rp 15200/1 USD di akhir Oktober 2018,” ujar Berly.

Baca Juga: Debat Pilpres soal Infrastruktur, Apa Saja Masalah dan Solusinya?

3. Indonesia belum mencapai diversifikasi energi

Dibahas di Debat Capres, Ini Bocoran Persoalan Energi di Indonesiapexel.com

Akibat suplai energi Indonesia masih didominasi oleh energi tak terbarukan yang mencapai 91,6 persen. Ditambah pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) baru mencapai 8,4 persen sehingga masih sangat jauh dari target 23 persen Energi Baru Terbarukan (EBT) di 2025. membuat Indonesia sulit diversifikasi energi yang menjamin kemandirian energi.

4. Indonesia masih lemah dalam ‘demand management’ di bidang energi

Dibahas di Debat Capres, Ini Bocoran Persoalan Energi di IndonesiaANTARA FOTO/Reno Esnir

Kenapa hal itu terjadi? Pertama adalah karena batalnya pembangunan Mass Rapid Transport di beberapa daerah urban besar. Kedua, tertundanya kebijakan serta insentif mobil listrik terus tingkatkan demand energi.

“Masih tingginya subsidi BBM yang ditanggung Pertamina juga kurangi minat terhadap transportasi publik atau kendaraan hemat energi selain gerus penerimaan Pertamina,” papar Berly.

Baca Juga: Sebelum Rokan, Begini Cerita Blok Mahakam Kembali ke Ibu Pertiwi

5. Tuntaskan revisi UU Migas dan moratorium PLT batubara

Dibahas di Debat Capres, Ini Bocoran Persoalan Energi di IndonesiaIDN Times/Sukma Shakti

Lalu apa solusinya?

“Pada sisi supply, pemerintah perlu  menuntaskan revisi UU Migas dan tingkatkan insentif fisikal untuk pengembangan EBT,” ujar Berly.

Kedua, juga perlu moratorium PLT batubara dan disel untuk mencapai target bauran energi 2025. Karena kalau gak dilakukan, habisnya minyak bumi dalam waktu sekitar 12 tahun dan gas bumi dalam sekitar 30 tahun hanya mempersempit waktu Indonesia untuk transisi ke energi terbarukan.

“Apabila dalam lima tahun ke depan tidak ada perubahan kebijakan nyata pada sisi supply dan demand, maka Indonesia akan menjadi pengimpor BBM terbesar dunia yang menggerus kesejahteraan masyarakat dan kurs rupiah serta ciptakan ketergantungan Indonesia pada negara produsen migas,” jelas Berly.

Mau terus impor guys?

5. Turunkan pertumbuhan konsumsi, gimana caranya?

Dibahas di Debat Capres, Ini Bocoran Persoalan Energi di Indonesia(Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengisi BBM jenis Pertamax ke mobil konsumen) ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

Solusi untuk masalah di atas lainnya adalah perlu banget kebijakan untuk menurunkan pertumbuhan konsumsi energi. Misalnya nih sarana transportasi masal publik kayak MRT, LRT, BRT perlu ditingkatkan alokasi APBN dengan bekerja sama dengan pemda di daerah urban.

“Kebijakan dan insentif fiskal untuk kendaraan listrik tidak bisa ditunda lagi,” kata Berly.

Terakhir, Berly menyarankan perlunya dibentuk dana abadi energi yang diinvestasikan untuk mendorong kemandirian dan kedaulatan energi negara di masa depan.

Baca Juga: Kebijakan Energi Jokowi, Blok Rokan Kembali ke Ibu Pertiwi

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya