Kisah Sanusi, Korban Pelanggaran HAM 1965 Jadi Pegiat Inklusi Sosial

Ia pernah ditahan selama 8 tahun tanpa diadili

Jakarta, IDN Times - Sanusi tak lagi muda. Usianya kini telah menginjak 77 tahun. Namun, dari balik kacamatanya, memancar semangat muda. Bahkan Sanusi masih mengendarai sepeda motor klasiknya. Dengan motor itu ia berkeliling dari rumah ke rumah mengunjungi para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) 1965.

1. Sanusi pernah dihukum selama 8 tahun

Kisah Sanusi, Korban Pelanggaran HAM 1965 Jadi Pegiat Inklusi SosialUnsplash/Mitch Lensink

Sanusi adalah bagian dari korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) 1965. Ia pernah ditahan selama 8 tahun di masa orde baru karena dituduh sebagai anak Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia menjalani hukuman berpindah-pindah selama 8 tahun tersebut.

Namun Sanusi menganggap penahanan dirinya selama 8 tahun itu sebagai masa 'pendidikan'. Sebagai pegawai sipil Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) saat itu, Sanusi yang dicap sebagai kelompok subversif, kerap menyaksikan bahkan merasakan perlakuan kekerasan.

Ia menjadi saksi bagaimana seseorang justru mendapatkan kesenangan menyiksa saudara sebangsanya sendiri. Masa pendidikan inilah yang membentuk pribadinya saat ini. 

Bagi Sanusi, hukuman bukan hal baru. Sebab ayahnya, Sutopo, pernah dihukum buang oleh rezim kolonial Hindia Belanda karena dianggap memberontak. Ayahnya dihukum buang ke Serambi Mekkah di ujung utara Sumatera, tanpa diadili sebelumnya.

Nasib yang sama dialami Sanusi. Ia dihukum 8 tahun karena dianggap terlibat PKI. Dan seperti ayahnya, ia pun dihukum tanpa melalui proses pengadilan.

Baca Juga: Kisah Supiah Hapus Trauma Kelam di Dusun Talangsari Lampung

2. Mendapat stigma hingga diskriminasi

Kisah Sanusi, Korban Pelanggaran HAM 1965 Jadi Pegiat Inklusi SosialUnsplash/Chris Nguyen

Kelar menjalani hukuman selama 8 tahun, Sanusi masih harus menghadapi stigma dan diskriminasi karena status cap komunis yang disandangnya. Cap tersebut berimbas besar terhadap kehidupannya bertahun-tahun kemudian.

Ia sulit mendapatkan pekerjaan formal, kontak sosial pun sulit dilakukan karena orang cenderung menghindarinya. Dan Sanusi pun tak luput dari pengawasan aparat keamanan.

3. Inklusi sosial untuk para korban pelanggaran HAM

Kisah Sanusi, Korban Pelanggaran HAM 1965 Jadi Pegiat Inklusi SosialIDN Times/Margith Damanik

Pada awalnya, pendekatan inklusi sosial terasa asing untuk mereka yang bergelut di isu HAM. Ternyata justru pendekatan inilah yang berhasil memberikan harapan dan kehidupan yang lebih baik untuk para penyintas.

Sanusi, adalah satu dari banyaknya kader Pandu Inklusi Nusantara (PINTAR) yang giat bekerja agar rekan senasib sepenanggungan mendapatkan akses dan fasilitas layanan publik yang sama seperti masyarakat pada umumnya.

Sebagai koordinator Sekber’ 65, ia masih rutin menyambangi rekan-rekannya mengajak mereka datang dalam pertemuan bulanan yang menjadi wadah para korban melepas penat dan menyembuhkan luka masa lalu.

“Saya menarik para korban agar traumanya sedikit demi sedikit hilang. Mereka ada yang takut kalau bertemu tentara, kaget kalau mendengar derap sepatu. Mereka sulit dihubungi dan tidak mau diajak bertemu. Saya sampaikan berita dan informasi perkembangan situasi saat ini seperti apa, sudah berubah, agar mereka lebih bersemangat,” cerita Sanusi.

Akses terhadap layanan kesehatan adalah salah satu yang paling dibutuhkan oleh para korban mengingat usia mereka yang sudah lanjut usia. Terbatasnya pilihan dan ruang gerak karena stigma dan diskriminasi juga tak membantu kondisi ekonomi serta penghidupan mereka.

Sekedar memeriksakan kondisi kesehatan dan berobat adalah sesuatu yang mewah bagi mereka.

“Saya tanyakan apa surat-surat yang mereka punya, KTP, dan lain-lain untuk dikirimkan ke [Komisi Nasional] Komnas HAM. Nanti Komnas HAM bisa memberikan surat keterangan korban pelanggaran HAM berat,” cerita Sanusi.

4. Rekomendasi Komnas HAM membuka akses layanan kesehatan

Kisah Sanusi, Korban Pelanggaran HAM 1965 Jadi Pegiat Inklusi SosialANTARA FOTO/Didik Suhartono

Dengan surat rekomendasi Komnas HAM tersebut, para korban bisa mendapatkan buku hijau untuk mengakses layanan kesehatan. “Buku hijau ini seperti ‘jalan tol’ jika dibandingkan dengan BPJS. Para korban bisa mendapatkan layanan kesehatan gratis,” kata Sanusi dengan semangat.

Buku hijau, mungkin hanya sebuah benda yang menjadi prasyarat dan dapat membantu para korban dapat berobat. Namun terlebih dari itu, buku hijau menjadi wujud dari bentuk pemanusiaan para korban pelanggaran HAM menjadi setara semartabat.

5. Tidak ada rasa dendam

Kisah Sanusi, Korban Pelanggaran HAM 1965 Jadi Pegiat Inklusi SosialDok. IDN Times

Sanusi mengaku tidak ada rasa dendam atas apa yang menimpanya di masa lalu. Ia justru ingin melakukan rekonsiliasi antara korban dengan pelaku. Rekonsiliasi berarti kedua belah pihak saling berdamai satu sama lain, saling memaafkan, dan juga berkomitmen untuk mencegah kejadian serupa dapat terulang kembali di masa depan.

“Saya ingin masyarakat tahu bahwa korban 1965 adalah tumbal negara. Jadi memang betul-betul tidak salah tetapi disalahkan karena tidak terbukti berbuat kriminal atau teror. Hanya karena [ber]kuasa, seenak saja menahan orang. Peristiwa 1965 adalah pengorbanan rakyat. Mereka dikorbankan oleh penguasa pada waktu itu,” ungkap Sanusi.

Baca Juga: Hapus Stigma PKI 1948, Madiun Wacanakan Pendirian Prasasti Lubang Sudo

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya