Pesta Demokrasi 'Setengah Hati' untuk Kaum Disabilitas

Hak-hak pemilih disabilitas belum dipenuhi dengan baik

Jakarta, IDN Times - “Ada yang 'ketawa' kok orang gangguan jiwa didata sebagai pemilih dan diberi hak pilih (sambil ngenyek ketawanya). Itu sesungguhnya memperlihatkan dangkal dan ketidaktahuan mereka soal gangguan jiwa atau penyandang disabilitas, yang juga bisa hidup normal asal didukung proses pemulihan optimal,” tulis Titi Angraini di akun Twitter-nya, @titianggraini, Selasa (20/11).

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu tampak kecewa dengan pandangan masyarakat yang masih melihat sebelah mata, tentang nasib penyandang disabilitas, khususnya orang dengan gangguan jiwa pada ajang pesta demokrasi.

Titi melihat penyandang disabilitas yang sering dikucilkan adalah penyandang disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa. Yaitu terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku yang meliputi psikososial, di antaranya schizophrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian.

Selain itu, disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, seperti autis dan hiperaktif. Titi menyoroti pemilih disabilitas mental yang dipandang sebelah mata, bahkan 'ditertawakan' oleh sebagian orang.

Titi tak segan mengkritik pemikiran masyarakat yang masih merendahkan orang dengan gangguan jiwa, untuk mendapatkan hak pilihnya dalam Pemilu 2019.

Kritikan Titi tersebut didasarkan pada Amar Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015, yang menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Nomor 8 Tahun 2015 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang frasa “Terganggu jiwa atau ingatannya, tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa dan atau gangguan ingatan permanen, yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum.”

“Sehingga sudah sewajarnya bagi penderita gangguan jiwa sepanjang tidak ada surat keterangan profesional bidang kesehatan jiwa yang mengatakan bahwa ia tidak mampu memilih di pemilu, maka ia wajib didata dan diberikan hak pilihnya tanpa kecuali,” sambung Titi.

1. Penyandang disabilitas bukan warga kelas dua dan memiliki hak pilih dalam pemilu

Pesta Demokrasi 'Setengah Hati' untuk Kaum DisabilitasIDNTimes/Fitang Adhitia

Titi mengatakan penyandang disabilitas dilindungi dalam undang-undang internasional dan nasional. Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas menyebutkan, disabilitas merupakan suatu konsep yang terus berkembang dan merupakan hasil dari interaksi antara orang-orang dengan keterbatasan kemampuan dan sikap, serta lingkungan yang menghambat partisipasi penuh dan efektif mereka di dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.

Sedangkan, Pasal 1 UU Nomor 8 Tahun 2016 soal Disabilitas menyebutkan, setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

“Jadi paradigma kita itu mestinya bagaimana memastikan interaksi yang berbasis kesamaan hak, sehingga mereka bisa berpartisipasi secara penuh dan efektif. Dan bukannya malah makin melekatkan stigma sebagai warga negara kelas dua,” kata Titi.

Baca Juga: Perludem Kritik Nasib Disabilitas Mental yang Terpinggirkan di Pemilu

2. Penyandang disabilitas bukanlah beban

Pesta Demokrasi 'Setengah Hati' untuk Kaum DisabilitasIDNTimes/Fitang Adhitia

Demi melibatkan penyandang disabilitas dalam pemilu, Titi menyarankan kepada KPU agar mengedepankan pendekatan berbasis hak asasi manusia (HAM). Cara pandang bahwa penyandang disabilitas adalah sama seperti manusia lain memiliki hak yang sama, termasuk hak berpolitik melalui pemilihan umum.

“Jadi bukan malah menganggap mereka sebagai beban, apalagi stigma subordinasi,” ujar Titi.

Menurut Titi pendekatan berbasis HAM dalam interaksi dengan penyandang disabilitas pada pemilu sangat penting, sebab pesta demokrasi memberikan kesempatan untuk meningkatkan partisipasi dan mengubah persepsi publik atas kemampuan penyandang disabilitas.

“Di mana hasilnya, penyandang disabilitas dapat memiliki suara politik yang lebih kuat dan semakin diakui sebagai warga negara setara. Partisipasi politik merupakan upaya untuk mendorong perubahan yang fundamental, yakni masa sekarang dan masa depan untuk semua orang, khususnya penyandang disabilitas,” kata Titi.

Titi juga mendorong agar penyandang disabilitas agar bisa menggunakan hak pilihnya. Jika pada akhirnya ada persoalan, apakah disabilitas bisa menggunakan pilihnya atau tidak, adalah permasalah berbeda.

“Persoalan mereka nanti bisa menggunakan hak pilihnya atau akan mencoblos atau tidak adalah persoalan berbeda. Negara harus memenuhi hak setiap warga negara untuk didata sebagai pemilih pemilu 2019 merupakan sebuah keniscayaan. #disabilitasmental,” kata dia.

Titi menyebutkan sejumlah kendala lain yang dihadapi penyandang disabilitas dalam pemilu. Seperti hambatan hukum, informasi, fisik, dan sikap. Hambatan hukum yakni pemahaman terhadap undang-undang dan konvensi Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas masih terbatas.

Hambatan informasi, kata dia, adalah bagaimana pendidikan pemilih di media belum dapat diakses tunarungu dan tunanetra. Hambatan fisik yakni lokasi dan desain TPS yang belum ramah disabilitas. Terakhir, adalah hambatan sikap, di mana terjadi stigmatisasi terhadap penyandang disabilitas.

3. Pemilih disabilitas mental terdaftar sebagai pemilih dengan rekomendasi dari dokter dan keluarga

Pesta Demokrasi 'Setengah Hati' untuk Kaum DisabilitasIDN Times/Ilyas Listianto Mujib

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari lebih menyoroti pemilih disabilitas mental yang belakangan masih diperdebatkan di masyarakat. Menurut dia, mereka tetap terdaftar dengan ada rekomendasi dari dokter yang merawatnya dengan melihat situasi dan kondisi.

“Bila Hari H yang bersangkutan waras, maka dapat memilih, demikian pula sebaliknya,” kata Hasyim kepada IDN Times, baru-baru ini.

Hasyim menjelaskan pendataan penyandang disabilitas mental dilakukan kepada pihak keluarga, dokter, dan tenaga medis yang merawatnya.

“Dengan demikian, penyandang disabilitas mental yang memungkinkan didaftar adalah hanya yang berada di rumah, kumpul keluarga, atau sedang dirawat di rumah sakit jiwa atau panti,” kata dia.

4. Ada perbedaan perlakuan KPU di kota dan di daerah bagi penyandang disabilitas?

Pesta Demokrasi 'Setengah Hati' untuk Kaum DisabilitasIDN Times/Ilyas Listianto Mujib

Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca) Penca Heppy Sebayang membenarkan banyaknya pemilih disabilitas yang memilih golongan putih (golput), terutama dari penyandang disabilitas mental.

“Teman-teman dengan keterbelakangan intelektual misalkan, sering tidak didata sebagai pemilih karena dianggap tidak punya hak pilih,” kata dia saat dikonfirmasi IDN Times.

Heppy mengakui adanya perbedaan KPU pusat, provinsi, dan kabupaten dalam pemahaman penyelenggaraan pemilu.

 “Kalau di daerah sering kali karena vokasi ke penyelenggara pemilu daerah kurang maksimal sehingga mereka memandang sebelah mata dari kelompok disabilitas. Tpi dari kebijakan, regulasi atau program dari sisi KPU pusat sudah bagus,” kata dia. 

Menurut Heppy perbedaan perlakuan bagi disabilitas di antaranya dari sisi bimbingan teknis dan simulasi penyelenggaran pemilu. Permasalahan anggaran menjadi salah satu faktor perbedaan perlakuan bagi pemilih disabilitas.

“Kalau KPU pusat misal dia selenggarakan bimbingan teknis nasional, itu pesertanya KPU provinsi dan kabupaten, jadi harapanya peserta tadi kan melakukan bimbingan teknis ke level kecamatan dan desa. Harusnya begitu tapi tidak maksimal, bisa saja karena alokasi anggaran di KPU provinsi kabupaten kota. Tidak ada alokasi khusus bimbingan teknis bagi pemilih disabilitas. Mungkin begitu,” kata dia.

Heppy sendiri mengaku tidak tahu soal anggaran bagi pemilih disabilitas. Tapi ia yakin KPU memiliki alokasi anggaran untuk memfasilitasi pemilih disabilitas.

Namun, Heppy menilai, KPU sudah banyak melibatkan penyandag disabilitas dalam pemilu. “Mulai dari review aturan KPU itu sendiri, supaya aturan itu mengakomodir disabilitas. Kedua, kita juga desain alat coblos bagi tunanetra untuk pemilu 2019. Kita juga terlibat perumusan kebijakan di luar aturan KPU. Termasuk, saat ini kita sedang menyusun modul pendidikan pemilih untuk penyandang disabilitas,” ujar dia.

“Tapi memang tidak semua perwakilan disabilitas diundang. Karena yang selama ini fokus ya PPUA,” sambung Heppy.

5. Fasilitas belum memadai menjadi penyebab banyak pemilih disabilitas golput

Pesta Demokrasi 'Setengah Hati' untuk Kaum DisabilitasIDN Times/Helmi Shemi

Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2013, jumlah penduduk Indonesia pada 2018 mencapai 265 juta jiwa. Dari angka tersebut, sekitar 20 juta lebih merupakan penyandang disabilitas yang terdiri dari tunanetra, tunarungu, tunadaksa, autism, dan disabilitas mental.

“Kalau menurut survei internasional di Indonesia ada 25 juta orang hidup dengan disabilitas dari berbagai macam kategori,” kata Duta Disabilitas Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Sikdam Hisam Gayo kepada IDN Times beberapa waktu lalu.

Pendiri Indonesian Disabilities Youth Center itu mengatakan toleransi terhadap disabilitas menjadi catatan di beberapa bidang seperti infrastruktur, pendidikan, pekerjaan, dan juga politik. Untuk bidang terakhir, banyak hal yang menjadi sorotan untuk disabilitas

Sayangnya, kata Sidkam, jelang pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) 2019, nasib disabilitas belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Khususnya penggunaan hak pilih mereka dan akses di pemilu.

“Teman-teman disabilitas kenapa mereka gak mau terlibat, karena mereka gak merasa dilibatkan,” keluh dia.

Menurut Sidkam, fasilitas dan akses bagi pemilih disabilitas masih tergolong minim, khususnya di daerah seperti Aceh, Jambi, Bengkulu, dan Kalimantan. Akibatnya, banyak dari mereka enggan menggunakan hak pilihnya.

“Kalau untuk DKI dan kota besar lainnya sudah akses, kota lain belum. Akses dalam pemilu belum, keterlibatan juga belum dilibarkan sama sekali. Gimana saya mau ke sana (TPS), mending saya tidur. Itu masalah nya,” ujar dia.

Sebagai aktivis kaum disabilitas, Sikdam mengaku sudah mendatangi KPU RI untuk menyuarakan kegelisahannya demi melibatkan disabilitas dalam pemilu 2019. Ia kerap mendengar keluhan dari teman-temannya yang mempersoalkan perjuangan menuju TPS saat pemilu. Mulai dari lokasi TPS yang jauh dan belum difasilitasi dengan peralatan untuk kebutuhan disabilitas.

“Pas saya ke KPU saya bilang ‘Kalau bapak mau 22 juta teman-teman disabilitas pengen partisipasi dalam pemilu, tolong libatkan mereka baik sebagai panitia, model, segala macam’. Ke TPS butuh jarak dan sebagainya, dan tempat gak akses. Kedua peralatan coblos hanya seperti DKI, Surabaya, dan kota besar yang sudah baik. Tapi kalau pelosok gak ada, itu untuk tunanetra. Untuk tunadaksa tempatnya gak akses untuk kursi roda,” tutur dia.

6. Penurunan keterlibatan penyandang disabilitas dalam pemilu dibanding sembilan tahun lalu

Pesta Demokrasi 'Setengah Hati' untuk Kaum DisabilitasIDN Times/Helmi Shemi

Sikdam juga menyebut ada penurunan keterlibatan penyandang disabilitas dalam sembilan tahun terakhir penyelenggaraan pemilu. Ia mengingat dirinya pernah ditunjuk menjadi duta pemilu untuk disabilitas pada 2014. Saat itu, ia bertugas mengedukasi teman-temannya untuk menggunakan hak pilihnya.

KPU saat itu, kata Sidkam, dinilai sangat aktif dalam melibatkan penyadang disabilitas. Mulai sebelum, saat, dan setelah pemilu berlangsung.

“Kalau partisipatif teman-teman di pemilu, beda, 2009 dan 2014 KPU sebagai penyelenggara pemilu sangat melibatkan teman-teman disabilitas. Tidak hanya pemungutan suara, tapi pra, saat, dan pasca-pemilu. Saya dikirim dari satu panti ke panti. Tapi sayangnya sudah dua periode, pemilu 2014 dan ini juga sepertinya KPU sampai saat ini belum pernah mengontak kita untuk dilibatkan,” ungkap dia.

Sikdam tak mau teman-temannya hanya dilibatkan sebagai objek atau pemilih semata dalam ajang demokrasi. Namun ia ingin kelompoknya dilibatkan sebagai subjek yang memiliki partisipasi aktif seperti pemilu-pemilu sebelumnya.

“Kalau subjek, sekarang ini ada sosialisasi pemilu, mencoblos segala macam. Harusnya KPU melibatkan kita. Karena misalnya, hanya tunanetra yang tahu apa kebutuhannya dalam kotak suara. Tunanetra kan butuh braille, gimana saya tahu siapa calonnya kalau coblos gak akses buat saya. Gimana saya tahu ada pemilihan kalau gak ada sosialisasi,” ujar dia.

Meski secara keterlibatan mengalami penurunan, Sikdam bersyukur, partisipasi penyandang disabilitas dalam pemilu terakhir semakin meningkat dibanding dua pemilu sebelumnya.

“Tapi kalau bisa mengenai partisipasi sekarang lumayan tinggi dibanding dua pemilu sebelumnya,” ujar dia.

7. Janji manis dan realita pahit para politikus jelang pemilu bagi disabilitas

Pesta Demokrasi 'Setengah Hati' untuk Kaum DisabilitasIDN Times/Helmi Shemi

Salah satu yang membuat Sikdam kecewa adalah banyaknya janji manis pada penyandang disabilitas saat pemilu. Namun, begitu calon anggota legislatif atau presiden terpilih, mereka lupa akan janji-janji mereka pada penyandang disabilitas.

“Teman-teman disabilitas hanya diperhatikan ketika sebelum pemilu. Ketika mereka kampanye, mereka dateng ke panti (disabilitas) untuk dapat suara kita. Dengan janji politik mereka, akan perhatikan disabilitas dalam program mereka. Tapi ketika mereka jadi, kita dilupakan,” ujar dia.

Meski pesimis, Sikdam mengatakan, teman-temannya terus memiliki harapan agar calon anggota legislatif dan presiden terpilih kelak dapat lebih memperhatikan nasib kaum disabilitas.

“Siapa pun yang duduk dan jadi presiden mereka selalu punya hati dan waktu untuk disabilitas. Apapun program mereka, mereka selalu bicarakan ada hak disabilitas dalam kebijakan dan program mereka. Karena begitu ada, kebijakan itu akan menjadi luar biasa, unik, kalau disabilitas dilibatkan,” kata dia.

Dalam pilpres 2019, Sikdam berharap, adanya keterlibatan penyandang disabilitas, seperti dalam debat pasangan calon yang diharapkan bisa menghadirkan panelis dari teman-temannya penyandang disabilitas.

“Dalam debat presiden nanti kita harap ada dewan juri atau panelis dari teman-teman disabilitas, karena kemarin waktu debat presiden mereka bicara tentang disabilitas, tapi tidak pernah melibatkan teman-teman disabilitas dalam kebijakan,” pungkas Sikdam.

Pesta Demokrasi 'Setengah Hati' untuk Kaum DisabilitasIDN Times/Sukma Shakti

Baca Juga: UU Disabilitas Dipuji Sangat Membantu Penyandang Disabilitas 

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya