Aljazair Rayakan 'Hari Kenangan Nasional' untuk Pertama Kalinya

Prancis belum meminta maaf atas pembantaian

Setif, IDN Times - Pada 8 Mei 1945 ribuan orang berunjuk rasa di Setif, Aljazair untuk merayakan kemenangan sekutu atas Nazi Jerman, termasuk kolonial Prancis. Namun, para demonstran juga menyerukan kemerdekaan Aljazair yang membuat pasukan kolonial Prancis menyerang mereka dan membuat puluhan ribu orang tewas dalam pembantaian di kota Setif, Guelma dan Kherrata.

Hari 8 Mei itu disebut sebagai "Hari Kenangan Nasional" dan untuk pertama kalinya negara itu akan memperingati hari bersejarah tersebut pada hari Sabtu, 8  Mei 2021 di kota Setif, yang berjarak 300 kilometer dari ibu kota Algiers.

1. Peringatan pembantaian Prancis disahkan dalam undang-undang 

Melansi dari Middle East Eye, dengan slogan "Sebuah kenangan yang menolak untuk dilupakan", acara resmi telah diselenggarakan pada hari Sabtu di Setif, untuk mengenang hari bersejarah di Aljazair. Peringatan itu mencakup konferensi tentang subjek "kejahatan kolonial di dunia" dan pameran di museum Moudjahid (pejuang) setempat. Sebuah pawai juga dilakukan melalui kota ke tempat korban pertama pembantaian jatuh pada 8 Mei, seorang pemuda bernama Saal Bouzid, yang sedang mengibarkan bendera Aljazair.

Pada Juni tahin lalu, pada peringatan 75 tahun pembantaian tersebut, parlemen Aljazair mengadopsi undang-undang baru untuk memulai mengenang hari itu secara resmi, untuk memastikan bahwa "kejahatan kolonialisme" tidak pernah dilupakan. Sejalan dengan undang-undang ini, saluran TV baru, El-dhakira (Memori), diluncurkan pada November 2020 untuk mendukung pendidikan nasional.

Dalam pernyataannya, Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune mengatakan bahwa pembantaian tahun 1945 adalah “kejahatan terhadap kemanusiaan dan terhadap nilai-nilai peradaban, berdasarkan pemurnian etnis”. 

2. Puluhan ribu orang tewas dalam pembantaian di Setif pda tahun 1945

Melansir dari France 24, pada 8 Mei 1945 di kota Setif selain merayakan kemenangan sekutu, para penduduk Aljazair juga menyerukan untuk mengakhiri kekuasaan kolonial, dengan teriakan "Hidup Aljazair merdeka!" Seruan itu dianggap provokasi bagi polisi Prancis, yang marah dengan kemunculan, untuk pertama kalinya, bendera Aljazair.

Ketika mereka memerintahkan penurunan bendera hijau dan putih, bentrokan terjadi. Seorang pemuda bernama Bouzid Saal menolak untuk menurunkan benderanya, yang membuat polisi Prancis menembaknya hingga tewas, memicu ledakan kerumunan massa yang marah. Kerusuhan berikutnya dan serangan balas dendam terhadap orang Eropa, memicu penindasan kolonial Prancis. Prancis melancarkan kampanye kekerasan selama 15 hari, menargetkan Setif dan daerah pedesaan sekitarnya, membom desa dan dusun tanpa pandang bulu.

Jenderal Raymond Duval memimpin tindakan keras pemerintah Prancis yang kejam, memberlakukan darurat militer dan jam malam di sebidang wilayah yang membentang dari Setif ke laut, 50 kilometer ke utara. Para pemimpin nasionalis ditahan atas dasar kecurigaan murni, dan desa-desa yang dicurigai menampung separatis diberondong oleh serangan angkatan udara dan dibakar.

Wanita, anak-anak dan orang tua dibantai dan sekitar 44 desa dihancurkan dalam 15 hari pembalasan. Eksekusi berlanjut hingga November 1945, dan sekitar 4.000 orang ditangkap. Jumlah korban menurut pihak Aljazair sebanyak 45.000 orang, sedangkan Prancis menyebutkan jumlah korban mencapai 20.000, termasuk 86 warga sipil Eropa dan 16 tentara.

Pembunuhan itu akan berdampak transformatif pada gerakan anti-kolonial yang baru lahir. Perang kemerdekaan besar-besaran pecah 1954, akhirnya mengarah pada kemerdekaan negara itu pada 5 Juli tahun 1962. 

Baca Juga: Erdogan Kecam Biden Terkait Istilah 'Genosida' terhadap Armenia

3. Hubungan Aljazair dan Prancis

Melansir dari Middle East Monitor, meski telah mengakui pembantaian itu, tapi Prancis tidak melakukan permintaan maaf. Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam beberapa bulan terakhir memulai serangkaian "tindakan simbolis" dalam upaya untuk "menjembatani celah ingatan" antara kedua negara Mediterania, terutama dengan perayaan yang akan datang yaitu peringatan 60 tahun kemerdekaan Aljazair.

Macron pada tahun lalu menugaskan sejarawan Prancis Benjamin Stora, yang mempelajari sejarah dalam perang Aljazair untuk menyiapkan laporan yang disampaikan pada bulan Januari yang berisi beberapa rekomendasi dalam konteks ini. Namun, laporan itu tidak ditolak oleh Aljazair.

Pembantaian itu telah menjadi hal sensitif yang mempengaruhi hubungan antara Prancis dan Aljazair. Hubungan keduanya mendapat pukulan baru setelah Aljazair membatalkan kunjungan Perdana Menteri Prancis Jean Castex pada menit terakhir, yang dijadwalkan pada bulan Apri. Beberapa hari setelah pembatalan, Menteri Tenaga Kerja Aljazair Al-Hashemi Jaaboub menggambarkan Prancis sebagai "musuh tradisional dan abadi Aljazair".

Mengomentari pernyataan ini, Macron, presiden Prancis pertama yang lahir setelah berakhirnya perang Aljazair, menganggap bahwa keinginan untuk berdamai antara Prancis dan Aljazair "dibagikan secara luas", meskipun ada "perlawanan" di Aljazair.

Pada Februari 2017, ketika menjadi calon presiden, Macron mengunjungi Aljazair dan menegaskan dalam sebuah pernyataan bahwa penjajahan Aljazair adalah "kejahatan terhadap kemanusiaan" dan "barbarisme nyata", yang memicu gelombang kritik yang meluas di kalangan rakyat.

Baca Juga: Aljazair Bebaskan Puluhan Jurnalis dan Aktivis Pro Demokrasi

Ifan Wijaya Photo Verified Writer Ifan Wijaya

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya