1.330 Nasabah Melapor, Pinjaman Daring Dianggap Langgar Hukum dan HAM

Nasabah merasa diteror dengan tagihan

Jakarta, IDN Times - Akhir-akhir ini peer to peer (P2P) lending atau jasa pinjaman daring terus menjamur di Indonesia. Masyarakat memanfaatkan layanan financial technology tersebut untuk memenuhi kebutuhannya karena dianggap lebih mudah. Namun, banyak masalah yang ditimbulkan dari pinjaman daring tersebut.

Hal itu terungkap karena banyak nasbah yang sudah mengadu ke Lembaga bantuan Hukum (LBH) mengenai pinjaman darng tersebut. Mereka mengadukan pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dialami setelah menjadi konsumen.

LBH sendiri sudah membuat pos pengaduan korban pinjaman sejak 4-25 November lalu. Berdasarkan laporan dari LBH Jakarta, sudah 1.330 orang mengadukan masalahnya terkait kasus tersebut. Tentu ini bukan jumlah yang sedikit.

Baca Juga: Kamu Merasa Dirugikan Pinjaman Online? Segera Lapor ke Sini

1. Ada pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan penyelenggara pinjaman daring

1.330 Nasabah Melapor, Pinjaman Daring Dianggap Langgar Hukum dan HAMpixabay.com/Erik_Lucatero

Pengacara Publik LBH Jeanny Silvia Sari Sirait mengungkapkan berdasarkan analisa dari laporan aduan yang masuk, terindikasi ada pelanggaran hukum dan HAM yang terjadi. Sebab, pola yang dilakukan lembaga pinjaman online itu seperti sudah terstruktur.

"Awal sebelum pengaduan kami sudah inventarisir adanya delapan pelanggaran yang dilakukan penyelenggara pinjaman. Hari ini kami mengumumkan bahwa berdasarkan aduan yang masuk, kami menemukan jenis-jenis pelanggaran lain, setidaknya diduga ada 14 pelanggaran yang kami catat," kata Jeanny di gedung LBH, Jakarta, Minggu (9/12).

2. Nasabah harus kehilangan privasinya karena ditelepon dan ditagih ke rekan-rekannya

1.330 Nasabah Melapor, Pinjaman Daring Dianggap Langgar Hukum dan HAMPexels/Ahmed Aqtai

Adapun jenis pelanggaran, di antaranya bunga yang dibuat penyelenggara pinjaman daring terlalu tinggi dan bahkan tanpa batas. Kemudian, menagih pinjaman tak kepada yang dipinjamkan, tetapi menyasar ke kontak-kontak yang ada di gawai pelanggan.

Salah satu nasabah berinisial RIS yang berprofesi sebagai karyawan swasta di suatu perusahaan mengaku mendapat perlakuan tak baik dari penagih pinjamannya.

"Mereka melakukan teror melalui telepon, mendatangi rumah dan kantor, serta yang cukup mengganggu privasi, menghubungi kerabat hingga rekan kerja. Itu sudah sangat mengganggu," kata pria 23 tahun itu kepada IDN Times.

"Mereka ikut menagih dengan alasan sulit menghubungi saya. Penagih bilang tolong dikasih tahu," sambung dia.

Tentu, hal itu membuat pria yang berdomisili di Bintaro, Tangerang Selatan tersebut harus menanggung malu atas apa yang dilakukan kreditur tersebut.

3. Salah satu nasabah mengaku menggunakan aplikasi itu karena terdesak kebutuhan

1.330 Nasabah Melapor, Pinjaman Daring Dianggap Langgar Hukum dan HAMinstagram.com/lilmoyo

RIS mengaku menggunakan pinjaman daring untuk keperluan mendesak. Ia juga mengakui itu bukanlah yang pertama kali dirinya melakukan pinjaman. Hanya saja, kali ini kondisi keuangannya sedang tak stabil, sehingga belum memungkinkan untuk membayar.

"Saya ingin melunasinya, tapi bunga terus bertambah setiap hari. Saya gunakan aplikasi lain untuk tutup utang, tapi itu cuma cukup buat bayar pokoknya saja. Bunganya justru bertambah dari aplikasi lain yang saya pakai," tutur dia.

Pengalaman di atas tersebut bisa masuk dalam salah satu unsur pelanggaran. Sebab, melanggar Pasal 27, Pasal 29 UU ITE dan merupakan tindakan pidana.

4. OJK menganggap pengambilan hak privasi nasabah pinjaman daring merupakan kebebasan kontrak

1.330 Nasabah Melapor, Pinjaman Daring Dianggap Langgar Hukum dan HAMpixabay

Selain itu ada pelanggaran hukum lainnya yang diasumsikan LBH. Di antaranya, cara menagih disertai dengan ancaman, fitnah, penipuan, hingga pelecehan seksual. Ada juga penyebaran data pribadi, ketidakjelasan informasi kontak, dan lokasi kantor penyelenggara aplikasi pinjaman daring dan sebagainya.

Berdasarkan pada statmen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kondisi tersebut bukan suatu masalah, karena mereka memegang aturan kebebasan berkontrak dengan pihak asosiasi fintech. Tapi, LBH berpendapat lain.

"Ini penyalahgunaan keadaan berdasarkan hukum, kondisi dimana seseorang tak bisa memilih untuk bisa bersepakat karena keadaan tertentu. Sehingga sekali pun dia tahu risikonya, dia terpaksa harus menyepakati perjanjian tersebut, agar aplikasinya bisa masuk. Ini bisa menjadi alasan cacatnya perjanjian," kata Jeanny.

5. OJK belum memberikan kepastian hukum yang jelas kepada korban pinjaman daring

1.330 Nasabah Melapor, Pinjaman Daring Dianggap Langgar Hukum dan HAMUnsplash.com/belart84

Dari banyaknya kasus, sebetulnya sudah ada juga yang melapor kpadae OJK. Hanya saja, tak ada jawaban pasti mengenai kelanjutan kasus korban. Bahkan, ada yang disalahkan kenapa menggunakan lembaga yang tak terdaftar di OJK.

Namun, berdasarkan penelitian dari LBH Jakarta, dari 1.330 laporan tersebut, 25 di antaranya terdaftar dan 64 lagi dianggap ilegal.

"Ternyata, dari lembaga yang terdaftar di OJK juga ada 28.08 persen dan 71.92 tak terdaftar. itu membuktikan bahwa lembaga resmi tak menjamin tidak adanya sebuah pelanggaran yang terjadi," ungkap Jeanny.

Ini tentu bertolak belakang dengan keinginan Indonesia untuk pemanfaatan tekhnologi fintech. Sebab, pada saat peningkatan uang yang dipinjamkan, terjadi sederet masalah yang merugikan masyarakat.

Jika itu terus terjadi, bukan tak mungkin tahun depan akan lebih banyak lagi laporan akibat kasus pinjaman daring.

Baca Juga: 73 Perusahaan Pinjaman Online yang Resmi Terdaftar di OJK

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya