Tidak Melibatkan Partisipasi Publik, UU Cipta Kerja Disebut Absurd

UU CIpta Kerja dianggap melanggar hukum HAM Internasional

Jakarta, IDN Times - Disahkannya Rncangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja (Ciptaker) dalam pengambilan keputusan tingkat II pada rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020),ternyata menimbulkan gelombang protes. Selain poin-poinnya di dinilai merugikan rakyat Indonesia, pembuatan UU Cipta Kerja yang kontroversial itu pun minim keterlibatan publik.

Deputy Direktur Amnesty International, Ary Hermawan, menyebut jika negara abai dalam melibatkan publik dalam proses perancangan RUU Ciptaker yang kini sudah menjadi UU tersebut. Padahal, setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan untuk menjadi bagian dalam pelaksanaan urusan publik, baik secara langsung maupun oleh perwakilan.

1. Keputusan pemerintah dan DPR dalam mengesahkan UU Ciptaker dianggap absurd

Tidak Melibatkan Partisipasi Publik, UU Cipta Kerja Disebut AbsurdTangkapan layar - Konferensi pers menangani dampak terhadap ekonomi, sosial dan budaya dari pengesahan UU Cipta Kerja. (IDN Times/Ilyas Mujib)

Hak-hak warga negara itu sudah tercatat dalam Konvenan internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ICESCR) yang sudah diratifikasi pada 2005 dan juga konvenan internasional hak-hak sipil dan politik yang sudah diratifikasi pada 2005, termasuk dalam Pasal 25 ICCPR.

"Mungkin ini agak ikonik dalam proses pembahasan terakhir, [RUU Cipta Kerja] ini dilakukan saat akhir pekan. pengesahannya pun dilakukan lebih cepat dari jadwal. Saya kira ini jadi simbol, dan pertunjukkan yang bisa dibilang absurd, ini sengaja jika pemerintah berusahan untuk menyelesaikan lebih cepat dari protes yang akan dilakukan masyarakat," kata Ary dalam konferensi pers yang digelar Trade Union Rights Centre (TURC) dan Amnesty International Indonesia secara virtual, Selasa (6/10/2020).

Amnesty secara tersirat menegaskan, apa pun alasan di balik buru-burunya DPR mengesahkan UU Ciptaker tak bisa jadi alasan untuk mengabaikan hak masyarakat menyampaikan pendapat.

Baca Juga: UU Ciptaker Dikritik, Luhut: Tunjukkan di Mana yang Merugikan Buruh

2. UU Ciptaker dianggap melanggar ketentuan Hukum HAM Internasional

Tidak Melibatkan Partisipasi Publik, UU Cipta Kerja Disebut AbsurdTangkapan layar - Konferensi pers menangani dampak terhadap ekonomi, sosial dan budaya dari pengesahan UU Cipta Kerja. (IDN Times/Ilyas Mujib)

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Amnesty International terhadap UU Ciptaker ini, khususnya di klaster ketenagakerjaan dan lingkungan. UU ini sangat tidak proresif dan dianggap melanggar prinsip non-retrogresi.

"Ini secara konteks dalam pemenuhan hak-hak ekosob (ekonomi sosial budaya) UU ini mundur ke belakang. Jadi apa yang jadi UU saat ini jauh lebih progresif dibadingkan UU Ciptaker," ujar Ary.

Adapun beberapa alasan UU Ciptaker dianggap merugikan masyarakat, terutama buruh/pekerja dan ancaman terhadap lingkungan, karena adanya perubahan dari beberapa pasal sebelumnya.

Beberapa poin dianggap bermasalah dalam kluster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, termasuk perubahan Pasal 59, Pasal 77 dan Pasal 78 UU ketenagakerjaan. Selain itu, UU Ciptaker juga dianggap melanggar ketentuan Hukum HAM Internasional.

3. Buruh sudah menrencanakan gelombang protes pada 6-8 Oktober 2020

Tidak Melibatkan Partisipasi Publik, UU Cipta Kerja Disebut AbsurdRibuan buruh di Kabupaten Bandung Barat turun ke jalan tolak Omnibus Law. (IDN Times/Bagus F)

Sebelumnya gelombang protes dari buruh/pekerja sudah terjadi di beberapa wilayah. Sebelumnya, 32 federasi dan konfederasi serikat buruh, plus organisasi buruh lainnya bahkan menyatakan siap bergabung dalam aksi unjuk rasa nasional pada 6-8 Oktober 2020 yang dinamai mogok massal nasional. Hal ini dalam rangka memprotes RUU Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR RI dalam sidang paripurna, Senin (5/10/2020) petang.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengungkapkan mogok nasional ini dilakukan sesuai dengan UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU No 21 Tahun 2000 khususnya Pasal 4.

“Selain itu, dasar hukum mogok nasional yang akan kami lakukan adalah UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang hak-Hak Sipil dan Politik,” kata Said Iqbal dalam rilis yang diterima IDN Times.

Baca Juga: Fakta-fakta dalam Seribu Halaman Omnibus Law Cipta Kerja 

Topik:

  • Ilyas Listianto Mujib
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya