Kisah Nitri, Ajudan Soekarno dari Bali yang Menyiapkan Sarapan Favorit

Ia pernah menolak tawaran jadi pengawal Cendana

Denpasar, IDN Times - Sebuah foto Presiden Republik Indonesia (RI) pertama, Soekarno, yang didampingi oleh seorang gadis Bali tampak tergantung di dinding bagian depan rumah Ni Luh Sugianitri, Jalan Drupadi, Denpasar. Foto itu mengundang pertanyaan di benak IDN Times saat menyambangi rumahnya, Jumat (9/8) lalu. Siapakah perempuan yang mendampingi Soekarno tersebut?

Ialah Nitri sendiri, perempuan yang ada dalam foto tersebut. Ia merupakan ajudan Soekarno selama satu tahun.

1. Nitri curi umur supaya bisa masuk ke akademi kepolisian dan menjadi ajudan Bung Karno

Kisah Nitri, Ajudan Soekarno dari Bali yang Menyiapkan Sarapan FavoritFoto-foto Sugianitri yang terpajang di rumahnya. (IDN Times/Imam Rosidin)

Nitri masih terlihat sehat. Meski usianya 71 tahun, namun ia bisa mengingat secara detail bagaimana saat menjadi ajudan Bung Karno selama satu tahun, dari masa transisi ke orde baru.

Kepada IDN Times, Nitri berkisah bagaimana ia bisa menjadi ajudan Bung Karno. Perempuan tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Denpasar ini mencuri umur supaya bisa masuk ke akademi kepolisian, sampai akhirnya ditugaskan sebagai ajudan Bung Karno.

2. Ia mencuri umur supaya bisa lolos sebagai polisi

Kisah Nitri, Ajudan Soekarno dari Bali yang Menyiapkan Sarapan FavoritIDN Times/Imam Rosidin

Nitri berusia 16 tahun kala itu dan baru saja lulus SMP. Tahun 1964, Kepolisian Daerah (Polda) Bali membuat pengumuman akan mencari 40 polisi perempuan di seluruh Indonesia. Bali sendiri mendapatkan jatah lima polisi perempuan.

"Saat itu ada pengumuman di Denpasar dicari polisi wanita di seluruh Indonesia sebanyak 40. Umur saya saat itu 16 tahun dan mengaku 18 tahun," katanya seraya tertawa karena berhasil mencuri umur ketika mendaftar di kepolisian.

Setelah lolos administrasi, ibu tujuh anak ini menjalani tes bersama 55 orang lainnya di Bali. Di antara 55 orang itu, lima orang terpilih dan Nitri masuk di dalamnya. Ia dikirim ke Sukabumi untuk menjalani pendidikan akademi polisi. Selama setahun ia menjalani pendidikan dan berhasil tamat dengan pangkat Brigadir. Pangkat itu menjadi yang terakhir karena ia tak pernah naik pangkat lagi karena meninggalkan dinasnya.

"Semua ini ada yang anak polisi, keponakan polisi, dulu memang tak ada sogok menyogok tapi kan keluarga. Saya yang dari orang biasa sendiri," kenangnya.

3. Ia lulus dan dilantik pada malam peristiwa 30 September 1965

Kisah Nitri, Ajudan Soekarno dari Bali yang Menyiapkan Sarapan FavoritANTARA FOTO/Didik Suhartono

Ia lulus dan dilantik pada tanggal 30 September 1965 pagi. Malam pelantikan itu ada pentas seni dan ia menjadi penarinya. Tetapi acara tersebut batal karena para pejabat tinggi militer saat itu tidak hadir dan sedang berada di Jakarta. Ia baru mengetahui ternyata sedang ada pergolakan yang dikenal sebagai Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).

"Pada malam kesenian semua panglima yang harusnya hadir tidak datang. Nah saat itu kan malam G 30 September," katanya.

Keesokan paginya, semua yang lulus dikirim ke Poldanya masing-masing. Namun berbeda dengan Nitri. Ia tetap ditugaskan di Sukabumi untuk menjadi Sekretaris Jenderal di sana. Ia menolak karena merasa bukan keahliannya menjadi sekretaris.

"Saya ditugaskan di sana jadi sekretarisnya jenderal. Saya tak bisa jadi sekretaris masih muda karena lihat jenderalnya saja takut, lalu saya minta pindah," ujar nenek yang memiliki empat cucu ini.

4. Menjadi Ajudan Presiden, Nitri hanya bertugas menyiapkan makan dan membelikan kue untuk Soekarno

Kisah Nitri, Ajudan Soekarno dari Bali yang Menyiapkan Sarapan FavoritIDN Times/Imam Rosidin

Sebelum peristiwa G30S/PKI, Bung Karno memiliki Pengawal Presiden bernama Cakrabirawa. Tetapi setelah peristiwa tersebut, Cakrabirawa dibubarkan. Kemudian Soekarno dikawal oleh kepolisian dengan nama satuan Detasemen Kawal Pribadi Presiden. Ia masuk dalam kesatuan tersebut.

"Waktu itu Bung Karno punya pengawal bernama Cakrabirawa. Nah, saat malam itu kan dibubarkan. Akhirnya yang ngawal dari polisi dan saya dimasukkan ke sana," terangnya.

Menjadi ajudan Soekarno, Nitri tidak diperbolehkan membawa senjata dan mengenakan seragam lengkap. Ia hanya boleh mengenakan kebaya dan mengurus keseharian Soekarno selama di Istana Presiden, Jakarta. Tugasnya hanya menyiapkan makan dan membelikan kue untuk sang Proklamator.

"Saya tukang cariin kuenya, ngurusin sarapannya, waktu itu masih di Istana Jakarta."

5. Soekarno merasa seperti dipenjara di Istana Negara. Tidak boleh mengenakan pakaian dinas, bepergian hingga menerima tamu

Kisah Nitri, Ajudan Soekarno dari Bali yang Menyiapkan Sarapan FavoritKondisi rumah Sugianitri. (IDN Times/Imam Rosidin)

Niti menuturkan, Soekarno seperti dipenjara selama tinggal di Istana Negara. Tidak boleh bepergian, menerima tamu, mengenakan pakaian dinas, peci, dan menggunakan mobil. Ia hanya disuruh berdiam diri di Istana dengan pakaian biasa. Hal tersebut dijalaninya selama satu tahun. Hingga akhirnya terjadi serah terima kekuasaan.

"Ini peraturan orde baru. Nemenin terus sampai diusir dari Istana dan serah terima kekuasaan."

6. Nitri tahu camilan dan sarapan favorit Soekarno. Coba tebak apa itu?

Kisah Nitri, Ajudan Soekarno dari Bali yang Menyiapkan Sarapan Favorit

Selama menjadi ajudan, Nitri tahu camilan-camilan favorit Soekarno. Yaitu kue lemper dan honkwe. Kue lempernya harus beli di sekitar Cikini yang dibungkus dengan daun pisang. Isinya adalah ketan dan tambahan ayam suwir yang dimasak dengan cara opor. Sementara honkwe harus beli di Pecenongan. Tepungnya tidak boleh ada pewarna dan isinya pisang gepok.

"Kalau kita beli di tempat lain dia pasti tahu," katanya mengisahkan.

Tak hanya camilan, ia bahkan tahu sarapan favoritnya. Yaitu nasi putih dengan lauk telur ayam kampung yang direbus, harus memakai kecap manis dari Blitar, Jawa Timur, dan ditemani minuman berupa teh hangat manis.

"Itu saja setiap hari," ujarnya.

7. Ia menolak tawaran jadi pengawal Cendana dan memilih pulang ke Bali

Kisah Nitri, Ajudan Soekarno dari Bali yang Menyiapkan Sarapan FavoritIDN Times/Imam Rosidin

Nitri tepat setahun menjadi ajudan Soekarno. Ia justru berhenti jadi Polwan karena menolak menjadi pengawal keluarga Cendana. Ia lebih memilih menikah dan kembali ke Bali.

"Saat serah terima, Ibu Tien bilang agar saya tugas di Cendana. Saya pikir-pikir dulu saya bilang," jelasnya.

Momen yang paling diingat adalah ketika ia diminta berfoto bersama Bung Karno. Foto itulah yang kemudian menjadi bukti, bahwa ia pernah menjadi ajudan sang Proklamator Kemerdekaan. Foto tersebut dipajang di dinding samping pintu rumahnya sampai sekarang.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya