5 Masalah Korban Kekerasan Seksual yang Tak Kunjung Usai

Stigma negatif dapat membunuh karakter korban

Jakarta, IDN Times - Kekerasan pada perempuan terus meningkat setiap tahun. Korban kekerasan kerap tidak berani melapor pada pihak berwajib lantaran takut menerima stigma buruk dari masyarakat.

"Belum lagi ditambah semua kompleksitas yang dialaminya. Saya pikir sangat penting peran psikolog untuk masuk ke dalam (masalah) ini, apalagi kalau korbannya adalah anak-anak," ujar Psikolog Yayasan Pulih Livia Iskandar kepada IDN Times, Sabtu (11/8).

Livia lantas mencontohkan kasus pemerkosaan inses di Jambi beberapa waktu lalu. Seorang remaja berusia 15 tahun divonis penjara, setelah terbukti mengaborsi bayi di kandungannya. Remaja berinisial WA tersebut hamil setelah diperkosa delapan kali oleh kakak kandungnya berinisial AA yang berusia 18 tahun.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Muara Bulian, Jambi, menjatuhkan vonis penjara enam bulan penjara pada WA dan tujuh tahun penjara pada AA. Saat ini, kasus tersebut sedang dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi Jambi oleh Organisasi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan.

"Trauma yang dialaminya pasti sangat berat, karena kasus ini terjadi pada seluruh anggota keluarganya. Dia, kakaknya, juga ibunya (yang diduga membantu menggugurkan bayi)," kata Livia.

1. Stigma negatif adalah bentuk pembunuhan karakter

5 Masalah Korban Kekerasan Seksual yang Tak Kunjung UsaiPixabay.com/Counselling

Menurut Livia, perempuan korban kekerasan seksual kerap menerima stigma negatif dari masyarakat. Dalam kasus pemerkosaan inses di Jambi, korban terancam diberikan sanksi adat berupa pengusiran.

"Bayangkan saja dengan segala hal yang terjadi pada keluarga ini. Kalau si anak bebas, dia mau tinggal sama siapa? Saya pikir si ibu dan anak ini harus mendapatkan proses yang lebih adil," kata dia.

Menurut Livia, masyarakat perlu diedukasi mengenai dampak stigma negatif yang disematkan pada korban kekerasan seksual, apalagi anak-anak. Masyarakat biasanya hanya fokus pada hukuman, bukan pemulihan.

"Masyarakat perlu diberikan informasi sehingga, gak hanya berpikir korban dihukum atau playing victim begitu. Di masyarakat kita, korban kekerasan seksual sering kali malah ditanyai bajunya kayak apa, apakah dia jalan-jalan malam hari, apakah sikapnya menggoda, dan sebagainya. Ini kan bisa jadi pembunuhan karakter si korban," ujar dia mencontohkan.

Oleh sebab itu, kata dia, korban kekerasan seksual hendaknya diberikan pemulihan jangka pendek dan jangka panjang. Misalnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) aktif memberikan rehabilitasi psikologis dan psikososial. Selain itu, korban juga dipastikan tidak mengalami stigma negatif dari lingkungan sekitarnya. 

Baca Juga: Begini 4 Fakta Kasus Pemerkosaan Pelajar Indonesia di Belanda

2. Aparat penegak hukum belum semua sensitif gender

5 Masalah Korban Kekerasan Seksual yang Tak Kunjung UsaiDok.IDN Times/Istimewa

Selain itu, Livia melanjutkan, aparat penegak hukum yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap korban kekerasan seksual juga perlu sensitif gender. Sebab, sering kali pertanyaan-pertanyaan yang diajukan cenderung menyudutkan, misalnya apakah korban berpakaian terbuka hingga 'mengundang' pelaku.

"Saya pikir kalau sedang pemeriksaan, aparat penegak hukum perlu sensitif terhadap apa yang dialami si korban. Harus ada sensitivitas gender bahwa kita tidak menyudutkan, apalagi kalau korbannya anak, itu jangan sampai berulang kali," kata dia.

Tak hanya itu, kata dia, saat proses pemeriksaan korban kekerasan tak boleh sendirian. Dia harus didampingi psikolog atau dokter, lantas direkam sehingga tidak perlu menginterogasi berkali-kali.

Menurut Livia, polisi perlu diberikan pelatihan agar sensitif gender saat menangani kasus-kasus tindak kekerasan. Sebab, walaupun ada unit layanan perempuan dan anak di kepolisian, petugasnya belum tentu semua sensitif gender, sehingga sangat menyudutkan bagi si korban.

Livia mengatakan korban kekerasan seksual dianggapnya seperti kasus biasa, padahal upaya korban sampai melapor ke polisi sudah luar biasa. Korban pastinya sudah mengalami proses konflik batin, terutama kalau pelakunya adalah anggota keluarganya sendiri.

"Untuk melapor saja sudah takut banget, apalagi kalau ada pertanyaan-pertanyaan menyudutkan. Kami pernah melakukan audiensi dengan Kapolri Tito Karnavian, gimana supaya model pertanyaan-pertanyaan itu direvisi. Walaupun dia bilang 'kami kan perlu memastikan keadilan bagi si pelaku'. Ya benar juga, tapi kita perlu ada pemeriksaan psikologis supaya kita bisa melihat konsistensi cerita si korban itu," ujar dia.

Sementara, terkait proses penyidikan pada korban kekerasan, IDN Times mencoba menghubungi pihak Polri. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum menerima tanggapan.

5 Masalah Korban Kekerasan Seksual yang Tak Kunjung UsaiIDN Times/Sukma Shakti

3. Hak-hak anak korban kekerasan seksual belum dipenuhi

5 Masalah Korban Kekerasan Seksual yang Tak Kunjung Usaibbc.co.uk

Asisten Deputi Perlindungan Anak Hukum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) Hasan mengatakan, dalam proses penyidikan terhadap anak korban kekerasan, harus ada pendampingan, baik dari orangtua, Balai Pemasyarakatan (Bapas), maupun Dinas Sosial.

Menurut Hasan aparat hukum juga harus menginformasikan hak-hak anak. Pemeriksaan juga tidak dilakukan secara formal, melainkan harus kekeluargaan supaya anak tidak takut.

"Prosesnya tidak boleh lama, tetap harus ada jeda. Anak bisa menjelaskan kejadian sebenarnya tanpa mendapat tekanan yang menjebak. Tidak ada pertanyaan di luar konteks, penyidik harus mengikuti SOP dalam penanganan anak, dan aparat tidak boleh menunjukkan atribut yang membuat anak takut. Jangan ada borgol," tutur Hasan.

Hasan menuturkan, aparat penegak hukum harus tahu cara memperlakukan pelaku atau korban usia anak yang berhadapan dengan hukum. Proses penyidikan harus memperhatikan partisipasi dan melindungi anak, harus memerhatikan pendapat anak, tidak diputar-putar atau dijebak.

Hasan menyebutkan, Kemen-PPPA telah berupaya melindungi dalam hal rehabilitasi anak sebagai korban, pelaku, dan saksi. Pihaknya juga terus mendorong pemerintah daerah agar pelaksanaan undang-undang sistem peradilan pidana anak (SPPA) bisa diterapkan seperti di pusat. Hasan juga tak menampik terkait kendala-kendala yang ditemui pemerintah di lapangan.

"Masih banyak aparat-aparat penegak hukum yang perlu diberikan pelatihan mengenai sistem peradilan pidana anak. Kemudian, sarana prasarana untuk anak berhadapan hukum (ABH) di lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) masih belum cukup diberikan, misal untuk kegiatan-kegiatan rekreasional. Belum disiapkan juga untuk pemenuhan hak anak," kata Hasan.

4. Penegakan hukum belum sesuai UU SPPA

5 Masalah Korban Kekerasan Seksual yang Tak Kunjung UsaiPixabay/Free-Photos

Hasan menyebut, Kementerian Hukum dan HAM perlu didorong untuk menyiapkan sarana prasarana, agar hak-hak anak di LPKA terpenuhi. Begitu pula terkait Bapas, tak sedikit kasus-kasus anak diproses di pengadilan tidak selalu didampingi.

"Kadang Bapas datang, kemudian tidak. Hal ini karena jumlah personel Bapas juga minim. Kemudian, banyak kasus-kasus anak yang tidak diproses secara SPPA. Catatan saya ke depan, apakah setiap kasus-kasus diupayakan dilakukan diversi atau tidak, terkadang tidak dilakukan. Ini mungkin karena mereka tidak mengetahui adanya diversi. Pendekatannya terlalu legalistik, tanpa memerhatikan hak-hak anak dalam UU SPPA," kata Hasan.

Hasan juga mendorong kementerian/lembaga lebih memerhatikan penegakan hukum sesuai UU SPPA. Menurut dia, ada sejumlah LPKA di daerah yang digabung dengan orang dewasa. Oleh sebab itu, perlu didorong agar Kementerian Hukum dan HAM yang bertugas membangun LPKA bekerja sama dengan pemda.

"Kadang pemerintah pusat sulit membangun LPKA karena tanahnya tidak ada. Seharusnya bisa kerja sama. Pemda menyiapkan tanah, pemerintah pusat dananya untuk membangun gedung. Mudah-mudahan semakin banyak LPKA di daerah ke depannya," kata Hasan.

5. Sumber daya manusia masih jadi kendala krusial

5 Masalah Korban Kekerasan Seksual yang Tak Kunjung UsaiAksi teatrikal menyatakan Stop Kekerasan terhadap Perempuan digelar di Taman Cikapayang Kota Bandung, pada 4 Mei 2016. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler

Menurut Hasan, kendala yang paling krusial saat ini adalah sumber daya manusia. Aparat penegak hukum di Indonesia memang banyak, namun yang diberikan pelatihan hanya sedikit.

"Sebulan paling hanya 50, paling banyak 100 saja. Ini belum berjalan maksimal. Sebab, polisi, hakim, jaksa, jumlahnya ribuan. UU SPPA sudah ditandatangani sejak 2012, tapi 2014 pemerintah harusnya sudah menyiapkan SDM yang bisa menjalani UU tersebut. Makanya kami dorong segera terwujud," kata dia.

Perkara kekerasan seksual--apalagi yang menyangkut anak--memang pelik. Korban kerap merasa disudutkan oleh penyidik dan lingkungan sekitar, sementara penyidik berdalih melaksanakan tugas sesuai protap. Bagaikan fenomena gunung es, hal ini terus-menerus berlangsung, sementara jumlah korban kekerasan kian bertambah. Ya, seperti lingkaran setan. Tidak pernah usai.

Baca Juga: Vonis Anak Korban Pemerkosaan di Jambi Mesti Ditinjau Ulang

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya