8 Tahun Perjuangan Tuti Tursilawati Berujung Eksekusi Mati

Tuti dieksekusi tanpa notifikasi ke pemerintah Indonesia

Majalengka, IDN Times – Suasana duka masih menyelimuti kediaman Iti Sarniti siang itu, Kamis (1/11). Deretan kursi plastik berjajar rapi di depan rumah bercat biru dan merah bata tersebut. Di sudut rumah, tampak dua karangan bunga bertuliskan ucapan belasungkawa dari Duta Besar RI untuk Arab Saudi dan Keluarga Besar KBRI Riyadh. 

Di pinggir jalan, beberapa aparat keamanan tampak berjaga-jaga. Pejabat setempat berdatangan silih berganti. Para tetangga dan sanak saudara pun tampak hilir-mudik, bergantian memberikan dukungan moral disertai pelukan kepada Iti yang masih syok. Butiran bening tak henti-hentinya jatuh dari pelupuk matanya. 

Perempuan paruh baya tersebut baru saja kehilangan anak kesayangannya, Tuti Tursilawati. Setelah delapan tahun berjuang, pekerja migran asal Majalengka tersebut akhirnya dieksekusi mati oleh otoritas Arab Saudi di penjara Thaif, Senin (29/10) pukul 09.00 waktu setempat. 

Atas desakan kebutuhan ekonomi, Tuti berangkat ke Arab Saudi pada 2009 silam. Saat itu, dia meninggalkan suami dan seorang balita berusia 2 tahun.

Di Arab Saudi, Tuti bekerja sebagai penjaga lansia di sebuah keluarga yang bermukim di Kota Thaif. Dikutip dari laman Serikat Buruh Migran Indonesia, Tuti bekerja selama 8 bulan. Namun, sisa gaji selama 6 bulan tidak dibayar oleh majikannya. 

Tuti ditangkap oleh otoritas Arab Saudi pada 12 Mei 2010 dengan tuduhan telah membunuh majikannya, Suud Mulhaq Al Utaibi. Padahal, Tuti mengaku hanya berupaya melakukan bela diri lantaran mendapatkan ancaman kekerasan seksual.

1. Tuti Tursilawati dieksekusi mati tanpa notifikasi ke pemerintah Indonesia

https://www.youtube.com/embed/LriNr_Ses6g

Sekira pukul 16.30 WIB, rumah Iti Sarniti berangsur-angsur sepi. Satu per satu tetangga berpamitan usai menggelar tahlilan. Setelah memastikan suasana kondusif, tim IDN Times pun menyampaikan ucapan bela sungkawa secara langsung pada pihak keluarga Iti Sarniti. Meski tampak lelah dan bermata sembab, perempuan yang akrab disapa Bu Iti tersebut menyambut kami dengan seulas senyum. Ramah.

“Tuti itu anak yang baik, salehah, pendiam,” kata Iti seolah berbicara pada dirinya sendiri. Pandangannya kosong, sudut matanya tampak sedikit berair.

Iti masih belum percaya akan ditinggal anaknya secara mendadak. Pasalnya, seminggu sebelum pelaksanaan eksekusi mati dirinya masih sempat video call dengan Tuti. Saat itu, Tuti berkata ingin melihat wajah mama-nya.

“Terakhir dia bilangnya lagi bikin paspor baru, otomatis pikiran saya berarti dia dipulangkan, dibebaskan begitu,” tuturnya.

Iti mengungkapkan, dia adalah orang yang pertama kali tahu perihal kematian anaknya. Setelah maghrib, dia menerima telepon dari Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal. Iti pun mengiyakan saat Iqbal memohon izin untuk datang ke rumahnya malam itu. Sekira pukul 01.00 WIB, Iqbal pun tiba di rumahnya.

“Pak Iqbal bilang, ‘Bu, maafin saya. Tuti sudah duluan meninggalkan kita semua’. Otomatis saya syok, gak ada kabar awal gimana. Orang Kemenlu saja gak dikasih tahu kalau mau dieksekusi, itu yang kami kecewakan. Tuti juga belum pernah ngeluh, ya gak percaya,” kata Iti.

2. Iti percaya anaknya bukan seorang pembunuh

8 Tahun Perjuangan Tuti Tursilawati Berujung Eksekusi MatiIDN Times/Indiana Malia

Iti meyakini, Tuti bukanlah pembunuh seperti yang dituduhkan pemerintah Arab Saudi. Menurut dia, wajar jika Tuti membela diri lantaran menerima ancaman kekerasan seksual. Saat mencoba mengonfirmasi pada sang anak, Tuti pun menyatakan bahwa dirinya bukanlah pembunuh.

“Kalau cerita di luaran itu kan wallau ‘alam. Saya kan sebagai ibunya juga gak pernah dengar Tuti mengeluh ‘Saya diginiin, digituin, enggak’. Baik-baik aja, dia juga bilang tidak membunuh majikan itu. Saya otomatis percaya dong, memang dia anak baik kok. Gak mungkin dia sampai tega membunuh. Orang baik, pendiam, ya saya gak percaya. Kalau memang orang di luar mau bilang ini-itu, silakan. Saya percaya dengan anak saya, saya percaya Allah,” tuturnya.

Iti menuturkan, selama 8 tahun, keluarganya lancar berkomunikasi dengan Tuti seminggu sekali. Tidak pernah sekali pun Tuti mengeluh sakit, tidak betah, dan lainnya. Sebaliknya, sang anak justru kerap menanyakan kesehatannya.

“Tuti kerap bilang ‘Mamah gak boleh sakit, gak boleh melamun’. Malah kalau saya yang nangis, dia bilang ‘Mamah gak boleh nangis, ngapain nangis. Udah ikhlasin saja, ridho saja sama Allah’. Begitu katanya,” tutur Iti.

3. Tuti Tursilawati di mata keluarga dan kerabat dekat

8 Tahun Perjuangan Tuti Tursilawati Berujung Eksekusi MatiIDN Times/Indiana Malia

Iti mengatakan, semasa hidupnya Tuti dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan tidak neko-neko. Jika tidak ditanya, Tuti akan memilih diam. Iti pun tak banyak menyimpan foto anaknya lantaran Tuti memang tak suka difoto. Namun, Iti mengaku bangga karena Tuti banyak menghabiskan waktu di penjara untuk beribadah. Selama 8 tahun di penjara, Tuti berhasil menghapal Al-Quran sebanyak 12 juz.

“Alhamdulillah. Di sana dia salat, ngaji. Pribadinya rajin. Kan gak mungkin lulus 12 juz kalau gak rajin mengaji. Saya yakin. Kalau telepon saya sering bilang ‘Jangan lupa salat, ya’. Itu berarti diturutin ucapan orangtuanya,” kenang Iti sembari tersenyum.

Setelah 40 hari tahlilan nanti, lanjut Iti, dirinya dijanjikan Kemenlu untuk berziarah ke makam Tuti di Arab Saudi. Dia pun mengaku selalu mendapatkan dukungan dan doa dari banyak orang. Oleh karena itu, dia tak ingin kesedihannya membuatnya jatuh sakit karena perjalanan hidup masih panjang.

“Walau sesedih apa pun, saya kuat dan ikhlas. Ke depannya berpikir yang lebih baik lagi. Doakan mudah-mudahan keluarga dikasih ketabahan,menerima kenyataan, dan ikhlas. Mudah-mudahan Tuti dimaafkan segala dosanya, diberikan tempat yang layak di sisi Allah,” ujar Iti.

Karena dikenal taat beribadah, para tetangga pun banyak yang tak percaya tentang keputusan eksekusi mati terhadap dirinya.  Asyirah, salah satu kerabat, mengungkapkan bahwa Tuti berasal dari keluarga baik-baik. Sepanjang hidupnya, Tuti dikenal tak pernah mengeluh, mengadu, atau menjelek-jelekkan orang lain. Dia selalu ceria, murah senyum, dan memberikan kabar baik pada orang rumah.

“Tuti itu keturunan orang baik, cucunya pejabat desa. Keluarga baik-baik masa jadi pembunuh? Dia itu ke sana mau bekerja, cari rezeki. Memang di sana (Arab Saudi) ada sejuta persoalan, apalagi  buat perempuan. Di sana punya hukum, punya kekuasaan, kita mah numpang,” kata Asyirah saat ditemui sebelum acara tahlilan.

Kepala Desa Cikeusik, Jaenudin, mengungkapkan hal yang sama. Ketika Tuti tersandung kasus pembunuhan, Jaenudin turut mendampinginya di Arab Saudi. Pasalnya, saat itu dirinya juga menjadi pekerja migran selama 2,5 tahun di sana. Setelah kembali ke kampung halaman dan menjadi kepala desa, Junaedi pun membantu sekuat tenaganya untuk membebaskan Tuti.

“Saya pulang awal 2011, 8 bulan kemudian menjabat kepala desa dan mengikuti proses (kasus) ini. Saya tiap tahun ada pertemuan dengan pihak Kemenlu, memberikan kejelasan perkembangan kasus. Pihak keluarga diwakili ibunya berangkat ke Arab Saudi menemui Tuti sebanyak 3 kali,” tutur Jaenudin.

Oleh sebab itu, dia merasa terkejut dan kecewa karena eksekusi mati Tuti dilakukan tanpa pemberitahuan pada pemerintah Indonesia.  Dia pun berharap, Tuti kini bisa tenang di sisi Tuhan.  Selama hidup, dia mengenal Tuti sebagai sosok yang tak banyak mengeluh dan selalu membantu orang-orang sekitarnya. Jika Tuti menelepon keluarga, Tuti selalu menyapa lebih dulu. Di tahanan pun, Tuti tak memiliki catatan jelek.

Jaenudi mengaku sempat berkomunikasi dengan Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal setelah menerima kabar kematian Tuti. Sehari sebelum eksekusi mati, ujarnya, Iqbal sempat menelepon Tuti, namun tak ada laporan apa pun terkait eksekusi mati. Keesokan harinya, Iqbal meminta KJRI Jeddah untuk mengunjungi Tuti. Nahas, sesampainya di penjara, pihaknya menerima kabar eksekusi mati.

“Saya selaku kepala desa mengutuk keras. Sebab, kalau kami lebih awal tahu, mungkin kami beserta keluarga bisa mempersiapkan doa bersama karena Tuti akan menghadapi ajal,” tuturnya.

4. Desakan ekonomi jadi alasan warga Desa Cikeusik menjadi pekerja migran

8 Tahun Perjuangan Tuti Tursilawati Berujung Eksekusi MatiIDN Times/Indiana Malia

Saman, Kakak Iti, mengungkapkan desakan ekonomi jadi alasan Tuti untuk menjadi pekerja migran di Arab Saudi. Tuti hampir memiliki pekerjaan usai lulus dari jurusan farmasi di salah satu perguruan tinggi, namun dia memutuskan untuk menikah. Saat usia anaknya menginjak 2 tahun, Tuti lantas berangkat ke Arab Saudi. Nahas, saat tersandung kasus tersebut, suami Tuti menceraikannya dan menikah dengan perempuan lain.

“Sebelum jadi pekerja migran, dia itu ibu rumah tangga biasa. (Tuti pergi ke Arab Saudi) tujuannya memang membantu suami. Karena kepepet ekonomi akhirnya berangkat ke Arab Saudi. Anaknya sekarang sudah SMP kelas 1. Tapi dia belum paham kalau ibu kandungnya meninggal, kan ditinggal saat masih kecil, sekarang punya ibu baru,” kata Saman dengan raut muka sedih.

Jaenudin membenarkan hal tersebut. Desakan ekonomi memang kerap dijadikan alasan para ibu rumah tangga untuk menjadi pekerja migran di luar negeri. Di Kabupaten Majalengka, terutama Desa Cikeusik, sebagian besar warga bekerja sebagai petani dan buruh migran. Selain itu, ada yang menjadi pedagang, PNS, TNI, dan Polri. Adapun warga yang memutuskan menjadi pekerja migran sebagian besar perempuan. Timur Tengah kerap dijadikan sasaran karena pertimbangan persamaan agama dan biaya yang murah.

“Sejak saya menjabat sebagai kepala desa, pekerja migran di Cikeusik sekitar 400-an. Sekarang tinggal 50-an karena sudah (moratorium) tidak bisa ke Arab lagi,” ungkapnya.

Berdasarkan data nasional dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) per September 2018, jumlah pekerja migran tertinggi berasal dari Jawa Timur sebanyak 48.438 orang, Jawa Tengah sebanyak 43.772 orang, Jawa Barat sebanyak 41.961 orang, Nusa Tenggara Barat (NTB) sebanyak 24.659 orang, dan Sumatera Utara sebanyak 13.620 orang.

Sementara, berdasarkan Kabupaten/Kota, jumlah pekerja migran tertinggi berasal dari Indramayu sebanyak 16.013 orang, Lombok Timur sebanyak 9.953 orang, Kabupaten Cirebon sebanyak 8.553 orang, Cilacap sebanyak 8.369 orang, dan Lombok Tengah sebanyak 7.194 orang. Sementara, Majalengka menempati urutan ke-20 dengan jumlah pekerja migran sebanyak 2.445 orang.

5. Para pekerja migran membutuhkan bekal keterampilan

8 Tahun Perjuangan Tuti Tursilawati Berujung Eksekusi MatiAtalia Praratya (IDN Times/Indiana Malia)

Menurut Jaenudin, saat ini yang dibutuhkan masyarakat adalah keterampilan dan modal usaha. Dengan demikian, tak ada lagi warganya yang menggantungkan diri sebagai pekerja migran di negeri orang. Kendati pemerintah daerah setempat memiliki program pemberdayaan, namun menurut dia belum maksimal.

“Ada program pemberdayaan perempuan, kader posyandu, program bantuan ternak dan alat pertanian,” kata Jaenudin.

Ketua Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Atalia Praratya mengatakan, ke depan Tim Penggerak PKK se-Jawa Barat akan mendorong sekolah perempuan. Hal itu untuk mempersiapkan perempuan untuk membentengi dirinya, mampu mandiri secara ekonomi. Menurut dia, sudah ada beberapa sekolah perempuan di wilayah Jawa Barat, seperti di Kota Bogor dan Cimahi.

“Ini akan kami dorong, kami bikin kurikulum dasarnya sehingga para perempuan bisa tangguh menghadapi berbagai tantangan zaman saat ini. Saya melihat data dari banyaknya jumlah pekerja migran di Majalengka tinggi sekali. Di Cikeusik ada 400-an, sekarang tersisa 50 masih kami pantau. Rata-rata adalah perempuan yang sudah menikah dan punya anak,” kata perempuan yang akrab disapa Bu Cinta tersebut.

Baca Juga: Sebelum Ditangkap, Tuti Tursilawati Sempat Diperkosa di Saudi 

6. Eksekusi mati Tuti Tursilawati menimbulkan kecaman dari berbagai pihak

8 Tahun Perjuangan Tuti Tursilawati Berujung Eksekusi MatiIDN Times/Indiana Malia

Keputusan eksekusi mati Tuti Tursilawati yang tanpa notifikasi pada pemerintah Indonesia menimbulkan kecaman dari berbagai pihak, salah satunya dari aktivis perempuan. Puluhan aktivis perempuan melakukan aksi di Kedutaan Besar Arab Saudi, Jumat (2/11). Aksi tersebut merupakan bentuk solidaritas dan kecaman keras atas eksekusi mati pemerintah Arab Saudi terhadap Tuti Tursilawati. Mereka membawa puluhan spanduk dan poster sebagai bentuk protes. 

"Stop hukuman mati sekarang juga! Arab Saudi pembunuh!" teriak pendiri Migrant Care, Anis Hidayah, di depan Kedutaan Besar Arab Saudi.

Dalam orasinya, Anis menyatakan hukuman mati pemerintah Arab Saudi merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Dia pun menuntut pemerintah Indonesia untuk mem-persona non grata-kan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia. 

"Kami mendesak pemerintah Indonesia untuk mengkaji ulang uji coba pengiriman 30.000 pekerja migran Indonesia ke Arab Saudi!" kata Anis.

Aktivis KontraS, Putri Kanisia, mendesak pemerintah Indonesia untuk menghapuskan hukuman mati. Menurut dia, Indonesia tidak mendapatkan dukungan karena masih menerapkan hukuman mati .

"Kami desak pemerintah Indonesia menghapuskan hukuman mati di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia punya nilai tawar di negara lain," ujarnya.

Berdasarkan keterangan dari pihak Kementerian Luar Negeri, otoritas Kerajaan Arab Saudi tidak memberi tahu secara resmi mengenai eksekusi tersebut kepada Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI). Menurut Putri, tindakan tersebut menunjukkan proses hukum yang tak adil.

"Keputusan esekusi mati tersebut menunjukkan pemerintah Arab Saudi tak patuh tata krama diplomasi internasional. Tuti Tursilawati adalah korban kekerasan seksual, tetapi malah dieksekusi. Pemerintah Arab Saudi tidak menjunjung tinggi HAM serta merendahkan martabat perempuan!" ungkapnya

Baca Juga: Jokowi Sesalkan Eksekusi Mati Tuti di Arab Saudi Tanpa Notifikasi

7. Eksekusi mati Tuti Tursilawati menjadi wajah buruk perlindungan buruh migran

8 Tahun Perjuangan Tuti Tursilawati Berujung Eksekusi MatiIDN Times/Cije Khalifatullah

Ketua DPP Bidang Advokasi Perempuan Partai Gerindra, Rahayu Saraswati mengatakan, eksekusi mati Tuti Tursilawati menunjukan kelemahan posisi Indonesia dalam memberikan perlindungan kepada pekerja migran  yang bekerja di luar negeri, terutama di negara-negara  yang hukum perlindungan kepada tenaga kerjanya (lokal maupun migran) lemah. Menurut dia, kegagalan mengetahui jadwal eksekusi mati menunjukkan lalainya pengawasan buruh migran yang bermasalah di luar negeri. Pasalnya, Tuti sudah mengalami persoalan hukum di Arab Saudi bertahun-tahun.

Sara menilai tingginya pengiriman tenaga kerja informal tanpa dibekali pengetahuan hukum dan kondisi sosial negara penerima, menjadi penyebab terjadinya kasus-kasus pekerja migran bermasalah. Para pekerja menjadi rentan dieksploitasi di tempat mereka bekerja. Dia pun mendesak pemerintah mengevaluasi dan memastikan kembali negara tujuan pekerja migran yang dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi para pekerja.

"Solusi lain, di tengah derasnya tenaga kerja asing di negeri sendiri, kita juga sangat perlu mengembangkan lapangan pekerjaan untuk warga kita sehingga tidak perlu mencari pekerjaan ke negara lain," ujarnya.

Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri pada pertemuan dengan Tim Pengawas TKI di Gedung DPR, 21 maret lalu menyatakan ada 20 TKI di Arab Saudi terancam hukuman mati sepanjang 2011 hingga 2018 dimana 15 orang karena kasus pembunuhan dan lima karena kasus sihir.

"Data ini sudah ada di pemerintah, tinggal melakukan monitoring perkembangan kasus detik demi detik. Ini persoalan lemahnya lobi pemerintah," kata anggota Komisi VIII DPR RI tersebut.

8. Semoga tak ada lagi eksekusi buruh migran Indonesia

8 Tahun Perjuangan Tuti Tursilawati Berujung Eksekusi MatiIDN Times/Indiana Malia

Menjelang maghrib, Tim IDN Times lantas berpamitan pada keluarga Iti Sarniti. Di sepanjang jalan yang kami lewati, potret kemiskinan seolah tak tampak di Desa Cikeusik. Hampir semua jalan telah beraspal. Tak terlihat rumah beratap bambu dan beralas tanah. Menurut penuturan warga sekitar, sebagian besar perempuan memang menggantungkan dirinya sebagai pekerja migran. Hasil jerih payah di negeri orang dikumpulkan, lantas digunakan untuk berbagai keperluan, mulai membangun rumah hingga membiayai sekolah anak. Maka tak heran jika rumah-rumah di desa tersebut tampak mewah.

Namun, untuk membayar bangunan mewahan tersebut, terkadang ada nyawa yang harus terenggut. Tuti Tursilawati adalah satu dari sekian pekerja migran tak beruntung yang bertahun-tahun bertarung mempertahankan nyawanya. Demi sesuap nasi, demi kehidupan yang lebih baik. Setelah kematian Tuti yang tanpa notifikasi, semoga tak ada lagi eksekusi mati Tuti-Tuti selanjutnya ...

 

Baca Juga: FOTO: Protes Eksekusi Tuti Tursilawati, Massa Minta Dubes Saudi Diusir

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya