Banyak Pasien Kanker Pilih Berobat ke Luar Negeri, Mengapa?

Pengobatan kanker terkendala minimnya alat radiasi

Jakarta, IDN Times - Berobat ke luar negeri kerap dijadikan pilihan saat pasien terserang penyakit mematikan, misalnya kanker. Ahli onkologi radiasi dari RSCM, Soehartati Gondhowiardjo mengatakan, pengobatan di luar negeri dan di Indonesia pada dasarnya sama saja.

"Pelayanan kanker di Indonesia itu sama saja dengan di luar negeri. Mereka yang berobat ke luar negeri kan pasien yang punya uang, begitu pulang pakai BPJS. Pengobatannya sama kok," ujar Soehartati kepada IDN Times.

1. Pengobatan di luar negeri dipengaruhi berbagai faktor

Banyak Pasien Kanker Pilih Berobat ke Luar Negeri, Mengapa?IDN Times/Sukma Mardya Shakti

Soehartati menjelaskan, pengobatan di luar negeri dipengaruhi banyak faktor. Di antaranya adalah anggapan pengobatan di Indonesia kurang maksimal, ada daya tarik tersendiri, faktor gengsi, hingga faktor 'sambil jalan-jalan'. Selain itu, banyak agen promosi berobat di luar negeri yang masuk ke Indonesia. Mereka juga punya dana promosi besar untuk menarik pasien Indonesia.

"Terlalu banyak bisikan-bisikan 'Oh pengobatan di sana bagus, coba pakai kulit ini, obat itu', dan lain-lain. Sebagai onkolog radiasi, saya tahu kalau pengobatan sinar itu minimal 6 minggu. Mereka harus selama itu tinggal di sana. Saya sering dapat banyak pasien yang didiagnosa kanker langsung kaget, langsung ke luar negeri, tapi pada akhirnya dia berobat balik ke Indonesia," ungkapnya.

Namun demikian, lanjut dia, ada situasi-situasi tertentu yang mengharuskan seseorang berobat ke luar negeri. Pengobatan bukan sekadar ada dokter, alat, dan sistem, melainkan juga keinginan pasiennya. Misalnya, mantan Ibu Negara Ani Yudhoyono yang tengah menjalani perawatan di Singapura akibat divonis kanker darah. Menurut Soehartati, bisa saja hal itu untuk menghindari keramaian.

"Kalau berobat di sini kan banyak yang nengok, sementara orang kanker itu butuh ketenangan. Daya tahan tubuhnya turun," ujarnya.

Baca Juga: Curahan Hati Ani Yudhoyono Setelah Tahu Menderita Kanker Darah

2. Banyak informasi menyesatkan berkembang di tengah masyarakat

Banyak Pasien Kanker Pilih Berobat ke Luar Negeri, Mengapa?srael21c.org

Menurut Soehartati, selama ini banyak informasi menyesatkan yang berkembang di tengah masyarakat. Misalnya, banyak yang termakan iklan obat herbal, padahal belum dibuktikan secara medis. Hal itu menyebabkan pasien datang ke dokter saat stadium lanjut dan terlambat ditangani.

"Ada pasien yang datang saat kanker sudah menyebar di organ lain. 70 persen datang saat sudah stadium 3 sampai 4," jelasnya.

3. Tak ada perbedaan pelayanan pasien BPJS dan non BPJS

Banyak Pasien Kanker Pilih Berobat ke Luar Negeri, Mengapa?Dok.IDN Times/Istimewa

Untuk kemoterapi radiasi, lanjut Soehartati, pihaknya tidak membedakan pelayanan terhadap pasien BPJS dan non BPJS. Menurut dia, yang membedakan hanyalah ruang perawatan. Orang yang membayar VIP otomatis mendapatkan ruang perawatan yang lebih nyaman. Namun, ia memastikan obat-obatan yang diberikan sama.

"Kalau pengobatan standar ya sama, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Saat ini yang bisa kami lakukan adalah memperbaiki apa yang dipunya. Kami membuat red carpet service, hampir 90 persen pasien kami pernah berobat ke luar negeri. Kami memberi ruang tunggu, service yang juga didapat di luar negeri. Secara pelayanan keilmuan kedokteran tidak berbeda, kok," kata Soehartati.

4. Pengobatan kanker terkendala minimnya alat radiasi

Banyak Pasien Kanker Pilih Berobat ke Luar Negeri, Mengapa?pixabay.com/PDPics

Kendati obat kanker sama, lanjut Soehartati, pengobatan di Indonesia masih terkendala minimnya alat radiasi. Menurut dia, mengembangkan infrastruktur rumah sakit-- khususnya alat radiasi---butuh waktu, perencanaan, dana, dan alat radiasi yang tak murah.

"Untuk membangun satu radioterapi butuh dana minimal Rp50 miliar. Radiasi kan pakai energi nuklir sampai 20 megavolt. Dindingnya bisa 3 meter beton. Mulai direncanakan sampai operasional itu makan waktu 1,5 tahun," jelasnya.

Beberapa daerah yang masih belum memiliki alat radiasi di antaranya Papua, Maluku, NTT, Aceh, dan Pontianak. Saat ini daerah-daerah tersebut masih dalam proses pengadaan alat radiasi.

Baca Juga: Obat Kanker Dihapus dari Fornas, BPJS Watch: Tidak Memihak Pasien 

5. Faskes harus berbenah memperbaiki layanan kesehatan

Banyak Pasien Kanker Pilih Berobat ke Luar Negeri, Mengapa?ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf mengatakan, banyaknya pasien yang memilih berobat ke luar negeri menjadi tantangan fasilitas kesehatan (faskes) untuk berbenah memperbaiki layanan. Sebab, setiap daerah memiliki tipologi penyakit yang tidak selalu sama. Apalagi, kesadaran masyarakat untuk berobat saat ini lebih tinggi sejak ada layanan BPJS Kesehatan. Akibatnya, terdapat daftar antrean panjang karena pasien bisa mengakses layanan, sementara sarana faskes terbatas.

"Kebijakan soal ini tentu tidak bisa diselesaikan BPJS Kesehatan sendirian, perlu kerja sama antarkementerian dan lembaga mengatasi masalah ini. Ini perlu didorong ke pemerintah, utamanya pemda atau pemkot untuk memperbaiki layanan, menambah dokter, tenaga medis, termasuk pelibatan faskes swasta," ungkapnya.

Berdasarkan data BPJS Kesehatan 2018, pembiayaan pengobatan kanker dengan BPJS Kesehatan menempati peringkat kedua setelah penyakit jantung. Biaya yang dikeluarkan mencapai Rp2,7 triliun dengan jumlah kasus kanker sebanyak 1,79 juta kasus pada 2018.

6. Prevalensi kanker di Indonesia kian meningkat

Banyak Pasien Kanker Pilih Berobat ke Luar Negeri, Mengapa?IDN Times/Indiana Malia

Data Globocan menyebutkan di tahun 2018 terdapat 18,1 juta kasus baru dengan angka kematian sebesar 9,6 juta kematian, di mana 1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 6 perempuan di dunia mengalami kejadian kanker. Data tersebut juga menyatakan 1 dari 8 laki-laki dan 1 dari 11 perempuan, meninggal karena kanker.

Berdasarkan data Riskesdas, prevalensi tumor atau kanker di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari 1.4 per 1000 penduduk di tahun 2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk pada tahun 2018. Prevalensi kanker tertinggi adalah di provinsi DI Yogyakarta 4,86 per 1000 penduduk, diikuti Sumatera Barat 2,47 79 per 1000 penduduk dan Gorontalo 2,44 per 1000 penduduk.

Untuk pencegahan dan pengendalian kanker di Indonesia, khususnya dua jenis kanker terbanyak di Indonesia, yaitu kanker payudara dan leher rahim, pemerintah telah melakukan berbagai upaya antara lain deteksi dini kanker payudara dan kanker leher rahim pada perempuan usia 30-50 tahun dengan menggunakan metode Pemeriksaan Payudara Klinis (SADANIS) untuk payudara dan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) untuk leher rahim.

“Selain itu Kementerian Kesehatan juga mengembangkan program penemuan dini kanker pada anak, pelayanan paliatif kanker, deteksi dini faktor risiko kanker paru, dan sistem registrasi kanker nasional,” kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Anung Sugihantono.

7. Daerah terpencil banyak yang belum terjangkau tenaga kesehatan

Banyak Pasien Kanker Pilih Berobat ke Luar Negeri, Mengapa?IDN Times/Indiana Malia

Terkait tenaga kesehatan, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menyatakan jumlah dokter umum di Indonesia berlebih, namun sebarannya belum merata. Hingga kini, tercatat ada 120 ribu dokter umum dan 30 ribu dokter spesialis.

"Lulusan dokter umum sudah terlalu banyak. Ada 10 ribu sampai 12 ribu yang lulus per tahun, tapi kebanyakan (praktik) di perkotaan," ujar Nila.

Maka itu, salah satu upaya Kemenkes dalam pemerataan dokter dan tenaga kesehatan (nakes) adalah membuka program Nusantara Sehat setiap tahun. Para dokter dan nakes yang telah diseleksi akan dikirimkan ke daerah-daerah terpencil, untuk mengintervensi perubahan perilaku masyarakat terhadap kesehatan.

"Ambil contoh, kami kirimkan delapan nakes ke daerah terpencil. Setelah diteliti, ada perubahan perilaku yang diintervensi oleh Nusantara Sehat," kata Nila.

Baca Juga: Obat Kanker Usus Tak Lagi Dijamin JKN, Apa Akibatnya? 

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya