Fakta-Fakta RUU Pekerja Rumah Tangga yang Tak Kunjung Disahkan

RUU PRT digaungkan sejak 2004

Jakarta, IDN Times - Pemerintah dan DPR terus didorong untuk memasukkan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Sebab, RUU PRT beberapa kali masuk dalam prolegnas, namun pembahasannya mandek dan tak kunjung disahkan.

RUU PRT dinilai sangat penting bagi PRT yang selama ini posisinya rentan. Sebab, PRT bekerja di ranah privat yang cenderung tertutup dari pantauan.

Menurut Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Nasional-Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Angraini, RUU PPRT telah diperjuangkan selama 16 tahun. Namun selama itu pula sering muncul isu-isu yang membuat RUU ditolak. Contohnya PRT di Indonesia ingin digaji sesuai Upah Minimum Regional (UMR), hanya mengambil satu pekerjaan saja di rumah, dan tidak mau membantu.

Sementara menurut Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Lestari Moerdijat, berlarutnya pembahasan RUU PRT sama dengan menunda kepastian hak warga negara yang dijamin oleh UUD 1945.

“Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sesuai dengan harkat, martabat, dan asasinya sebagai manusia seperti yang diamanatkan Pancasila dan Pasal 27 UUD 1945,” kata Lestari dilansir dari ANTARA, Senin (15/2/2021).

Berikut fakta-fakta terkait RUU PRT.

Baca Juga: Nasib RUU PPRT Terkatung-katung karena Isu PRT Minta Gaji UMR

1. Perjalanan RUU PRT sejak 2004

Fakta-Fakta RUU Pekerja Rumah Tangga yang Tak Kunjung DisahkanIlustrasi kegiatan inklusi keuangan ibu rumah tangga. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

RUU PRT diajukan sejak 2004, masuk dalam prolegnas setiap masa bakti DPR RI. Pada periode 2009-2014, RUU PRT masuk Prioritas Tahunan dari 2010, 2011, 2012, 2013, dan 2014 dengan rincian sebagai berikut.

• Sejak tahun 2010 RUU PPRT masuk dalam pembahasan Komisi IX DPR RI
• Tahun 2010-2011 DPR RI Komisi IX melakukan riset di 10 Kabupaten/Kota
• Tahun 2012 Komisi IX melakukan uji publik pada 3 kota di antaranya Makassar, Malang dan Medan. Kemudian di tahun yang sama dilakukan studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina
• Tahun 2013 Komisi IX menyerahkan draf RUU PRT ke Baleg DPR RI

Pada periode 2014-2019, tahun 2014 pembahasan RUU PRT berhenti di Baleg DPR RI. RUU PRT kembali masuk dalam prolegnas berstatus waiting list.

Pada periode 2019-2024, RUU PRT masuk lagi dalam prolegnas. Kemudian, pada 2020 RUU tersebut masuk dalam RUU prioritas.

2. Urgensi pengesahan RUU PRT

Fakta-Fakta RUU Pekerja Rumah Tangga yang Tak Kunjung DisahkanANTARA FOTO/Risky Andrianto

Ada beberapa urgensi pengesahan RUU PRT. Di antaranya jumlah PRT di Indonesia. Berdasarkan Survei ILO dan Universitas Indonesia tahun 2015 PRT berjumlah 4,2 juta (tren meningkat setiap tahun). Angka ini cukup besar sebagai pekerja yang selama ini tidak diakui dan dilindungi.

Selain itu, secara kuantitas jumlah PRT di Indonesia tergolong tertinggi di dunia jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia. Di India ada 3,8 juta dan Filipina 2,6 juta. Persentase PRT mayoritas perempuan (84 persen) dan anak (14 persen) yang rentan eksploitasi dan risiko terhadap human trafficking.

PRT adalah kaum pekerja yang rentan. PRT bekerja dalam situasi yang tidak layak, seperti jam kerja panjang (tidak dibatasi waktu), tidak ada istirahat, tidak ada hari libur, tidak ada jaminan sosial (kesehatan PBI dan ketenagkerjaan), kekerasan dalam bekerja baik secara ekonomi, fisik, dan psikis (intimidasi, isolasi).

Kemudian, PRT juga rawan terkena diskriminasi, pelecehan dan perendahan terhadap profesi. PRT tergolong angkatan kerja tidak diakui sebagai pekerja sehingga dianggap pengangguran. PRT juga tidak diakomodir dalam Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan Republik Indonesia.

3. PRT perlu diakui sebagai pekerja

Fakta-Fakta RUU Pekerja Rumah Tangga yang Tak Kunjung DisahkanIlustrasi pekerja pabrik. ANTARA FOTO/Siswowidodo

Pekerja rumah tangga perlu diakui sebagai pekerja. Sebab, PRT selama ini melakukan pekerjaan dengan memenuhi unsur upah, perintah, dan pekerjaan. Dengan demikian, PRT
adalah pekerja yang berhak atas hak-hak normatif dan perlindungan sebagaimana yang diterima pekerja pada umumnya.

Selain itu, terdapat diskiriminasi dan stigmatisasi terhadap PRT dan pekerjaannya karena bias jenis kelamin, kelas, ras sebagai pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan, tidak bernilai ekonomis dan rendah harus dihentikan.

Posisi PRT juga rentan terjadi eksploitasi dan kekerasan di tempat kerja yang merupakan wilayah domestik. Belum ada payung hukum berupa peraturan perundang-undangan yang melindungi PRT.

UU PRT diperlukan sebagai perlindungan terhadap pekerja rumah tangga. Hal itu ditujukan untuk menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak PRT dan kesejahteraan PRT beserta keluarganya.

RUU PRT mengacu pada prinsip fundamental Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women( CEDAW), dan Konvensi International Labour Organisation (ILO).

Konvensi ILO di antaranya Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat, Konvensi ILO No.98 tentang Hak untuk Berunding dan Bernegosiasi, Konvensi ILO No. 100 tentang
Pengupahan Yang Sama Untuk Laki-Laki dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama, Konvensi ILO No. 111 tentang Non Diskriminasi, Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum Kerja, Konvensi ILO No. 182 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak,Konvensi ILO No. 29 tentang Kerja Paksa, dan Konvensi ILO No.189 tentang Kerja Layak PRT.

Baca Juga: 16 Tahun Terkatung-Katung, RUU PRT Diharapkan Segera Menjadi UU

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya