Heboh Perkawinan Anak di Tapin, Pemerintah Minta Tunda Kehamilan

Secara psikologis usia anak belum matang berkeluarga

Jakarta, IDN Times - Perkawinan usia anak kembali terjadi. Informasi yang beredar melalui foto dan video di media sosial sempat memancing banyak respons masyarakat. Mempelai pria berinisial A yang diketahui baru berusia 13 tahun dan mempelai perempuan berinisial I berusia 14 tahun, melangsungkan perkawinan secara siri atau tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise menyayangkan perkawinan anak yang terjadi di Desa Tungkap, Kecamatan Binuang, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.

“Kita tidak boleh mentolerir dan harus menolak perkawinan usia anak, karena bukan merupakan kepentingan terbaik bagi anak," ujar Yohana dalam keterangan tertulis, Minggu (15/7). 

1. Pasangan muda ini diminta menunda kehamilan

Heboh Perkawinan Anak di Tapin, Pemerintah Minta Tunda KehamilanIDN Times/Sukma Shakti

Pada kasus A dan I yang telanjur melakukan perkawinan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) telah melakukan pendampingan, serta upaya persuasif agar pasangan tersebut menunda kehamilan. Upaya tersebut dilakukan hingga kondisi fisik, terutama alat reproduksi dan kematangan emosional mereka, sudah siap untuk mempunyai anak. Sebab, secara psikologis usia anak belum matang untuk membangun keluarga.

“Pemerintah meminta komitmen para pemimpin daerah serta peran para tokoh masyarakat, agama dan masyarakat pada umumnya, untuk turut mencegah perkawinan anak terjadi,” imbau Yohana.

2. Pemerintah melakukan upaya pendampingan

Heboh Perkawinan Anak di Tapin, Pemerintah Minta Tunda KehamilanIDN Times/Sukma Shakti

Yohana menyebut, kementeriannya akan mengupayakan pendampingan dan pemantauan terhadap pasangan tersebut, guna mencegah kemungkinan kekerasan dalam rumah tangga atau perceraian. Selain itu, memastikan hak-hak anak tetap terpenuhi seperti pendidikan dan kesehatan, serta tidak melakukan perkawinan yang diakui negara, hingga usianya telah siap sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

“Masyarakat perlu disadarkan risiko yang akan dihadapi anak, bila mengalami perkawinan anak. Adapun risiko tersebut antara lain melahirkan anak stunting (bertubuh pendek), ketidakstabilan ekonomi, putus sekolah, rentan kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, hingga bahaya kematian pada ibu yang melahirkan terlalu muda,” papar dia.

3. Revisi UU Perkawinan terus didorong

Heboh Perkawinan Anak di Tapin, Pemerintah Minta Tunda KehamilanIDN Times/Sukma Shakti

Yohana menambahkan, Kementerian PPPA terus mendorong revisi Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, agar menaikkan usia perkawinan minimal 20 tahun untuk anak perempuan dan 22 tahun untuk anak laki-laki.

"Ketentuan batas minimal usia perkawinan harus dinaikkan untuk mencegah perkawinan anak terus terjadi," ujar dia.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya