Jalan Panjang Petani Kendeng Mencari Keadilan

Perjuangan belum berakhir

Jakarta, IDN Times"Kami berjuang demi ibu bumi, demi anak cucu. Ikhlaskan jika kami tidak kembali." Kalimat itu terucap dari mulut Yu Patmi sebelum berangkat ke Jakarta, Maret 2017. Ia menyusul saudara-saudara seperjuangannya yang lebih dulu beraksi menyemen kaki di depan Istana Negara.

Namun, perjuangan Yu Patmi harus berhenti. Ia Patmi mengalami serangan jantung usai aksi terakhir menyemen kaki. Dalam perjalanan dengan ambulans menuju Rumah Sakit Santo Carolus, Salemba, pada pukul 02.55 WIB, nyawanya tak tertolong.

Hingga kini, perjuangan warga pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, masih berlangsung. Mereka meminta pemerintah untuk menghentikan penambangan di kawasan desa mereka. Warga juga masih menolak kegiatan pabrik semen PT Semen Indonesia di sana.

“Pak Jokowi, bagaimana kelanjutan kasus Kendeng? Pabrik semen di Rembang mau diresmikan atau ditutup? Biar dijawab kayak apa. Kami sedih, ini persoalan lingkungan lho,” ujar juru bicara Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK), Gunretno kepada IDN Times, Sabtu (2/2).

1. Kajian Lingkungan Hidup Strategis telah selesai dilaksanakan

Jalan Panjang Petani Kendeng Mencari KeadilanOmahkendeng.org

Gunretno menjelaskan, setelah beberapa kali melakukan aksi, pihaknya berkesempatan bertemu Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk melakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) di sekitar pegunungan Kendeng Utara meliputi Kabupaten Rembang, Grobogan, Pati, Blora, Lamongan, Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan.

“Proses KLHS dibagi menjadi dua tahap, pertama di Rembang, kedua meliputi semua daerah tadi. Rekomendasi hasil KLS adalah wilayah pengeluaran izin di cekungan air tanah (CAT) Watuputih telah memenuhi kriteria sebagai Kawasan Bentang Alam Kars (KBAK),” jelas Gunretno.

Menurut Gunretno, tahap pertama KLHS di Rembang selesai pada 12 April 2017. Sementara, KLHS kedua selesai pada akhir Juni 2018. Sesuai perintah Undang-Undang No. 23 Tahun 2009 tengan Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menurutnya, masyarakat berhak menuntut KLHS ketika melihat kegiatan atau kebijakan yang merusak lingkungan.

2. KLHS belum diimplementasikan dengan baik

Jalan Panjang Petani Kendeng Mencari KeadilanANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Namun, warga Kendeng belum bisa bernapas lega. Kendati telah dilaksanakan sesuai arahan presiden, hingga saat ini KLHS tidak diimplementasikan dengan baik.

“Ada revisi perdata tata ruang Jawa Tengah, membuat rencana pembangunan jangka menengah daerah, ini kan perintah UU harus berpijak pada KLHS. Tetapi sepertinya belum dilakukan ke arah sana,” ungkap Gunretno.

Dia mengatakan, pabrik semen dan tambang lainnya yang merusak lingkungan di Kendeng harus ditutup. Warga memiliki kekuatan hitam di atas putih dari putusan pegadilan dan aturan pelaksanaan KLHS. Namun, pemerintah belum bertindak.  Saat Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko dilantik pada 2018, perwakilan warga Kendeng mendatanginya.

“KSP bertanggung  jawab sebagai koordinator untuk menyelesaikan kasus Kendeng, karena ini meliputi antarkementerian, itu tugas KSP. Ketika Pak Moeldoko dilantik, kami temui biar Pak Moeldoko tahu dari kedua belah pihak,” ujarnya.

3. Warga Kendeng aktif mengampanyekan pelestarian lingkungan

Jalan Panjang Petani Kendeng Mencari KeadilanIDN Times/Sukma Shakti

Gunretno menjelaskan, kendati KLHS belum dilaksanakan, warga Kendeng tetap aktif menyuarakan penolakan penambangan di area pegunungan Kendeng. Selain itu, mereka juga mengampanyekan pelestarian lingkungan. Berkaca dari banyaknya bencana akhir-akhir ini, lanjut Gunretno, pemerintah seharusnya bisa memahami perjuangan para warga Kendeng.

“Kalau menang kan juga kami tidak mendapatkan gunung, tanah. Ini adalah perjuangan bagaimana agar udara tetap sejuk. Pemerintah harus sadar bahwa keruakan lingkungan sudah begitu besar,” katanya.

Gunretno menilai, kepemimpinan era Jokowi belum menjadikan isu kelestarian lingkungan sebagai prioritas. Pemerintah tampak belum berpihak pada lingkungan.

“Ini proses panjang puluhan tahun. Pijakan untuk menyelesaikannya ada kok, ada putusan pengadilan dan KLHS yang diperintahkan oleh kepala negara,” kata dia.

Baca Juga: Kumpulan Foto, Warga Kendeng Cor Kaki untuk Protes Pabrik Semen

4. Izin penambangan masih berlangsung sampai sekarang

Jalan Panjang Petani Kendeng Mencari KeadilanANTARA/Aprilio Akbar

Kendati presiden meminta pelaksanaan KLHS, imbuh Gunretno, kenyataannya izin penambangan kian marak sampai saat ini. Warga Kendeng pernah meminta data izin penambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

“Kami sempat kesulitan. Kami datang dan audiensi dengan banyak orang. Kami gak akan pulang. Namanya dokumen publik ya harusnya dikasih. Dia (gubernur) jawab, itu harusnya diakses di website. Kami mengakses website, sebagai petani di kampung ya gak segampang itu,” kata Gunretno.

Gunretno menambahkan, ternyata ada ratusan izin penambangan yang dikeluarkan selama proses KLHS sampai selesai. Ada yang berstatus sudah eksploitasi, ada pula yang berstatus eksplorasi. Hal itu menandakan bahwa pemerintah tidak mematuhi perintah kepala negara.

“Masa presiden gak tahu seperti ini? (pemerintah) era sekarang belum kelihatan keberpihakannya. Perlu diketahui, over produksi semen di Indonesia  lebih dari 30 juta ton. Sudahlah over produksi, lingkungan rusak pula,” tuturnya.

5. Penambangan menimbulkan banyak kerugian

Jalan Panjang Petani Kendeng Mencari KeadilanArisip ANTARA

Berdasarkan hasil kajian KLHS, tampak valuasi ekonomi jasa lingkungan ekosistem Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih jauh lebih menguntungkan dibandingkan semen. Ekosistem CAT Watuputih memiliki peluang ekonomi lain, yaitu jasa lingkungan meliputi sumber air, keanekaragaman hayati, dan objek wisata alam. Sementara, penambangan dapat menyebabkan pola penyebaran air berubah. Selain itu, penambangan juga menyebabkan penurunan jumlah air yang tersimpan di dalam CAT Watuputih.

Izin usaha penambangan merekomendasikan PT Semen Indonesia menambang di area CAT Watuputih seluas 293 ha. Sementara, curah hujan di kawasan CAT Watuputih sebanyak 1,624 m per tahun. 50 persen air hujan akan menjadi aliran permukaan dan 50 persen akan menjadi air tanah.

Jika terjadi penambangan, jumlah air yang hilang dan memengaruhi jumlah serapan air tanah dalam satu tahun sebanyak 131.901.280.000 liter per tahun. Kerugian yang muncul akibat penambangan dan hilangnya potensi serapan air sebesar Rp217,637 miliar per tahun.

Setelah dilakukan penghitungan pada KLHS, kerugian ekonomi yang harus ditanggung jika aktivitas penambangan ekosistem CAT Watuputih dilakukan sebesar Rp3,273 trilun per tahun. Jika penambangan dilakukan selama 50 tahun, total biaya yang harus ditanggung sebesar Rp163,686 triliun.

“Jasa lingkungan CAT Watuputih ini tidak sebanding dengan semen tidak sebanding, tidak ada sepucuk kuku. CAT Watuputih dibiarkan saja secara ekonomi lebih menguntungkan kalau tidak ada pabrik semen,” kata Gunretno.

6. Petani Kendeng menang melawan PT Semen Indonesia

Jalan Panjang Petani Kendeng Mencari KeadilanANTARAJATENG/Zuhdiar Laeis

Seperti diketahui, sidang peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung memenangkan gugatan petani pegunungan Kendeng dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terhadap PT Semen Indonesia. Kemenangan tersebut membuat izin lingkungan yang diterbitkan Gubernur Jawa Tengah untuk PT Semen Indonesia harus dibatalkan.

Berdasarkan situs resmi MA, gugatan tersebut diputus pada tanggal 5 Oktober 2016 lalu. Amar putusan mengabulkan gugatan dan membatalkan objek sengketa. Namun, hingga kini, izin penambangan di lingkungan pegunungan Kendeng masih berlangsung. Warga pun masih setia menunggu pelaksanaan KLHS.

Baca Juga: Bu Patmi, Peserta Cor Kaki Asal Kendeng Meninggal Dunia

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya