Marak Kekerasan Seksual di Tempat Wisata, Ini 3 Penyebabnya
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Hukum di Indonesia dinilai masih lemah lantaran kekerasan seksual pada anak di sektor wisata kian marak. Koordinator ECPAT Indonesia Ahmad Sofian mengatakan, Indonesia kini menjadi target kekerasan dan eksploitasi seksual pada anak.
1. Pengawasan terhadap pelaku kekerasan seksual masih minim
"Penegakan hukum di negara-negara lain sangat tinggi. Mereka (pelaku) diawasi gerak-geriknya dan mendapatkan hukuman akumulatif. Misalnya, dipenjara selama 30 tahun jika melakukan kekerasan terhadap satu anak, kalau lebih ya berlipat ganda hukumannya," kata Sofian dalam diskusi bertema Situasi Terkini Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Destinasi Pariwisata, Jakarta, Jumat 28 Desember 2017.
Sementara, menurut Sofian, di Indonesia tak ada pemberatan hukuman bagi pelaku. Kendati ada hukuman kebiri, namun masih susah dilaksanakan. Pengawasan terhadap pelaku pun minim.
2. Kultur keterbukaan masyarakat bisa jadi bumerang
Selain faktor lemahnya penegakan hukum, kekerasan seksual terhadap anak juga tak terlepas dari minimnya pengetahuan masyarakat. Terlebih lagi, Indonesia berkultur terbuka dan ramah, bahkan dengan orang asing sekali pun.
"Di negara lain, anak-anak tak diperbolehkan berkeliaran sembarangan di tempat wisata. Di Indonesia, hampir semua anak dibiarkan berinteraksi dengan orang-orang yang baru dikenal. Gak ada upaya melindungi anak-anak, mereka bahkan bisa bebas berjualan di tempat wisata," ujar Sofian.
Editor’s picks
Baca juga: Waspadai Kejahatan Seksual Anak di Tempat Wisata
Sofian menyebut, hal itu diperparah oleh penegak hukum yang ragu-ragu menindak tegas para wisatawan. Jika ada warga negara asing yang tertangkap melakukan kekerasan seksual, aparat akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan kedutaan terkait, baru dideportasi.
"Lambat itu. Padahal, jumlah wisatawan nakal gak sampai satu persen dibanding yang baik, tapi bisa merusak reputasi. Citra kita jadi buruk. Kami mencatat, sepanjang 2013-2017 hanya ada sembilan pelaku yang dibawa ke pengadilan, semuanya kejadian di Bali," kata Sofian.
3. Kerja sama lintas sektor minim
Sementara, Asisten Deputi Tata Kelola Destinasi dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Pariwisata Oneng Setya Harini mengatakan, pihaknya tak bisa berjalan sendirian untuk memberantas kekerasan seksual pada anak di sektor wisata.
Selain itu, kata Oneng, wewenang Kemenpar juga pada ranah pencegahan, bukan penindakan. Peran pemerintah daerah sangat diperlukan guna melancarkan kebijakan-kebijakan yang disusun pemerintah pusat.
"Kemenpar tak bisa sendirian menangani semua daerah. Pemda juga perlu diberikan pemahaman agar dapat menindaklanjuti program kami. Selain itu juga perlu kerja sama dengan SKPD-SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait di daerah," ungkap Oneng.
Baca juga: [Kaleidoskop 2017] Ini Catatan Kasus Kekerasan Anak yang Jadi Sorotan KPAI