Pemindahan Ibu Kota Diminta Pertimbangkan Faktor Lingkungan

Ada lima syarat

Jakarta, IDN Times - Pemerintah diimbau mempertimbangkan faktor lingkungan terkait wacana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Tengah. Pemindahan ibu kota diharapkan tidak mengganggu keseimbangan keberadaan hutan lindung dan konservasi.

"Terganggunya keseimbangan dikhawatirkan dapat menimbulkan munculnya potensi konflik lahan," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Diheim Biru, Jakarta, Minggu (12/5).

1. Pemprov Kalteng perlu berhati-hati menentukan tata batas wilayah

Pemindahan Ibu Kota Diminta Pertimbangkan Faktor LingkunganIDN Times/Teatrika Handiko Putri

Berkaca pada 2003-2015, kata Diheim, pemerintahan daerah banyak menguras lahan hutan secara cuma-cuma, karena pembatasan lahan tidak direncanakan dengan baik. Menurut dia, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah perlu berhati-hati dalam menentukan tata batas wilayah.

"Batas yang jelas akan memastikan ketersediaan besaran lahan hutan untuk dimanfaatkan bertahun-tahun ke depan," ujar dia.

Baca Juga: Fakta-fakta Tiga Lokasi Calon Ibu Kota Baru yang Ditinjau Jokowi

2. Besaran pembagian luas kawasan perlu dipertimbangkan

Pemindahan Ibu Kota Diminta Pertimbangkan Faktor LingkunganANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Diheim menjelaskan kawasan hutan juga berfungsi sebagai kawasan penyangga. Hal itu dapat mencegah bencana alam seperti tanah longsor, sedimentasi sungai, dan banjir ketika curah hujan tinggi.

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah sudah mengusulkan untuk membagi kawasan non-hutan menjadi 45 persen. Namun, kata Diheim, sebaiknya besaran pembagian tersebut perlu dipertimbangkan kembali, apakah sudah termasuk untuk ibu kota baru di dalamnya.

"Hal ini penting karena ketersediaan sumber daya alam yang terus menipis akibat tuntutan ekonomi," ujar dia.

3. Revisi perda perlu mempertimbangkan lahan masyarakat dan HPK

Pemindahan Ibu Kota Diminta Pertimbangkan Faktor LingkunganANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/foc.

Menurut Diheim, faktor kedua adalah tumpang tindihnya lahan masyarakat dan hutan produksi yang bisa dikonversi (HPK) perlu dimaksimalkan. Revisi perda perlu memperhatikan faktor tersebut. Sebab, semua data lahan harus disesuaikan dengan agenda reforma agraria.

"Revisi perda juga dibutuhkan untuk redistribusi lahan serta pemanfaatan HPK yang benar-benar maksimal untuk pemanfaatan jangka panjang. Ibu kota yang baru perlu infrastruktur yang baik, berkaca pada masalah-masalah yang telah terjadi di pembangunan infrastruktur Jakarta,” kata dia.

4. Rencana tata ruang wilayah provinsi perlu segera direvisi

Pemindahan Ibu Kota Diminta Pertimbangkan Faktor LingkunganIDN Times/Teatrika Handiko Putri

Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah diharapkan segera merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Sebab, Peraturan Daerah nomor 5 Tahun 2015 yang merupakan revisi dari Perda Nomor 3 Tahun 2008 sudah tidak selaras dengan kondisi eksisting.

Menurut Diheum, urgensi revisi perda tersebut diperlukan, setelah memasuki wacana pemindahan ibu kota yang mulai dibahas pada awal Mei lalu.

"Padahal, wacana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Tengah sudah diusung bersamaan dengan usulan revisi perda yang sudah digeber-geberkan sejak dua tahun yang lalu. Namun, sejauh ini belum ada perubahan terhadap perda tersebut terkait kejelasan data lahan yang ada," ungkap dia.

5. Inventarisasi dan kepastian hukum harus diprioritaskan

Pemindahan Ibu Kota Diminta Pertimbangkan Faktor LingkunganIDN Times/Idris

Dengan demikian, lanjut Diheim, belum bisa diketahui berapa luas lahan yang bisa disediakan untuk pemindahan dan pembangunan ibu kota ke depan. Inventarisasi dan kepastian hukum harus diprioritaskan apabila konflik lahan ingin dituntaskan.

"Kejelasan RTRWP (Perencanaan Tata Ruang Wilayah Provinsi) ini harus diterapkan di provinsi lain di luar Kalimantan Tengah juga, sehingga tidak ada hambatan ketika menentukan patok wilayah ibu kota sebelum pemindahan dan ketika dalam proses pemindahannya sendiri," kata dia.

Diheim menambahjan, pulau Kalimantan sudah banyak mengalami konflik lahan akibat efek samping dari pemberian izin eksploitasi lahan. Misalnya, eksploitasi pertambangan yang tidak sepenuhnya lolos Amdal (Analisis mengenai dampak lingkungan) dan perkebunan sawit yang sudah beroperasi tanpa ada persetujuan yang menyeluruh dengan masyarakat.

Karena itu, kata Diheim, perlu pertimbangan matang untuk penentuan lokasi ibu kota yang mengacu pada faktor sosial, ekonomi, dan teknologi yang terbaik bagi Nusantara. Pemindahan ibu kota dari Jakarta perlu direncanakan dengan baik untuk jangka panjang, dan penempatan dirancang secara adaptif dan memitigasi segala pembuangan sumber daya alam.

Baca Juga: Pembangunan Ibu Kota Baru Mulai 2020 Jika Syarat Ini Terpenuhi

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya