Sering Disorot, Ini Enam Masalah Kesehatan di Era Jokowi-JK

Kasus gizi buruk Suku Asmat sampai pencabutan obat kanker

Jakarta, IDN Times - Masalah di bidang kesehatan masih menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah untuk segera dituntaskan. Sejak program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-Kartu Indonesia Sehat (KIS) diselenggarakan per 1 Januari 2014, peserta program JKN per 1 Maret 2019 sebesar 218.132.478 juta jiwa atau 82 persen dari total seluruh penduduk Indonesia. Sementara, fasilitas kesehatan yang tergabung dengan program JKN sebanyak 27.211.

Sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), pemerintah menjamin kesehatan seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Namun, itu tak serta merta menyelesaikan masalah kesehatan. Dalam empat tahun pemerintahan Joko 'Jokowi' Widodo-Jusuf Kalla, tercatat beberapa kasus kesehatan yang menjadi sorotan. 

Berikut ulasannya.

1. Puluhan anak Suku Asmat meninggal dunia akibat gizi buruk dan campak

Sering Disorot, Ini Enam Masalah Kesehatan di Era Jokowi-JKDok. IDN Times

Pada awal 2018, Kejadian Luar Biasa (KLB) Gizi Buruk dan Campak Suku Asmat Papua menjadi sorotan. Sebab, tercatat korban meninggal sebanyak 72 anak. Dari jumlah tersebut, 66 meninggal karena campak dan 6 lainnya karena gizi buruk.

Berdasarkan keterangan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI Anung Sugihantono, KLB dipicu oleh minimnya aksesibilitas kesehatan dan pangan, minimnya pengetahuan masyarakat soal gizi, dan buruknya masalah sanitasi. Selain itu, kendala utama penanganan wabah adalah kondisi medan yang sangat berat. Sulitnya akses jalan dan jarak tempuh menjadikan penanganan terkesan lambat.

Namun, data Riskesdas 2018 menunjukkan adanya perbaikan status gizi pada balita di Indonesia. Proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2 persen (Riskesdas 2013) menjadi 30,8 persen. Demikian juga proporsi status gizi buruk dan gizi kurang turun dari 19,6 persen (Riskesdas 2013) menjadi 17,7 persen.

Baca Juga: Jokowi: Negara Lain Bicara Big Data, Kita Stunting Saja Belum Selesai

2. TBC dan Stunting masih menjadi sorotan publik

Sering Disorot, Ini Enam Masalah Kesehatan di Era Jokowi-JKIDN Times/Indiana Malia

Tuberkulosis masih menjadi penyakit pembunuh terbanyak di antara penyakit menular. Dunia pun masih belum bebas dari TBC. Berdasarkan laporan WHO 2017, diperkirakan ada 1.020.000 kasus di Indonesia, namun baru terlaporkan ke Kementerian Kesehatan sebanyak 420.000 kasus.

Anung mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penderita TB yang cukup banyak. Saat ini Indonesia berada di nomor 3 setelah China dan India. Namun demikian, angka keberhasilan pengobatan TB pada tahun 2018 mencapai 86 persen dan terdata 1.508.864 pasien telah diobati sejak 2015.

Terkait stunting, banyak faktor yang melatarbelakangi, di antaranya faktor ibu yang kurang nutrisi di masa remaja, masa kehamilan, masa menyusui, dan infeksi pada ibu. Pada 2010, WHO membatasi masalah stunting sebesar 20 persen. Berdasarkan Pemantauan Status Gizi 2015-2016, prevalensi balita stunting di Indonesia dari 34 provinsi hanya ada 2 provinsi yang berada di bawah batasan WHO tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu intervensi spesifik gizi pada remaja, ibu hamil, bayi 0-6 bulan dan ibu, bayi 7-24 bulan dan ibu.

Data Kementerian Kesehatan menyebutkan, persentase balita stunting di tahun 2013 sebesar 37,2 persen dan menurun menjadi 30,8 persen di tahun 2018. Sementara, persentase balita wasting (kurus dan sangat kurus) di tahun 2013 sebesar 12,1 persen dan turun menjadi 10,2 persen pada tahun 2018.

3. Kasus Campak dan Rubella masih tinggi

Sering Disorot, Ini Enam Masalah Kesehatan di Era Jokowi-JKANTARA FOTO

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Direktorat P2P pada 15 Januari 2018 kasus campak dan rubella (Januari hingga Juli 2017) terbilang tinggi. Setelah dilakukan imunisasi, jumlah kasus campak dan rubella menurun.

Pada Januari dan Juli 2017, kasus campak di Januari mencapai 449 orang, dan rubella mencapai 147 orang. Selain itu, kasus campak pada Juli 2017 mencapai 98 orang dan rubella mencapai 143 orang. Pada Agustus, kasus campak mencapai 52 orang dan rubella 34 orang, sementara pada Desember kasus campak hanya 6 orang dan rubella hanya 3 orang.

Dalam periode 2 tahun, cakupan imunisasi campak dan rubella mencapai 87,33 persen. Namun, cakupan imunisasi di luar Jawa keseluruhan baru mencapai 72,79 persen. Bahkan secara rinci masih ada provinsi dengan cakupan kurang dari 50 persen, yakni Aceh, Sumatera Barat, dan Riau.

Pada 2018, terjadi penolakan imunisasi di beberapa daerah lantaran vaksin MR disebut mengandung babi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada akhirnya mengeluarkan fatwa terkait penggunaan vaksin MR. Hal itu tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Vaksin MR dari Serum Institute of India (SII) untuk Imunisasi.

Penggunaan Vaksin MR produk dari SII dibolehkan (mubah) dengan syarat ada kondisi keterpaksaan (darurat syar’iyyah), belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci, dan ada keterangan dari ahli yang kompeten tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, pada 2015 cakupan imunisasi secara nasional mencapai 86,5 persen, pada 2016 mencapai 91,6 persen, dan pada 2017 mencapai 92,4 persen.

Berdasarkan data Riskesdas 2018, cakupan imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan menunjukkan sebesar 57,9 persen. Angka ini sedikit menurun jika dibandingkan Riskesdas 2013 sebesar 59,2 persen.

4. Enam daerah berstatus KLB Demam Berdarah

Sering Disorot, Ini Enam Masalah Kesehatan di Era Jokowi-JKIDN Times/Gregorius Aryodamar

Berdasarkan laporan dinas kesehatan di 34 provinsi per 9 Februari 2019, tercatat kasus DBD mencapai 18.106 orang. Sebanyak 180 orang meninggal dunia akibat demam berdarah dengue (DBD).

Sebanyak enam daerah telah menyatakan status kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah W1 (Laporan Wabah). Daerah tersebut antara lain Kabupaten Kapuas, Kota Kupang, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Ponorogo, Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara, dan Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur. Namun, Kabupaten Kapuas sudah menarik status W1.

Baca Juga: Kemenkes Akan Kaji Ulang Pencabutan Obat Kanker Usus dari Fornas 

5. Obat kanker usus dicabut dari formularium nasional

Sering Disorot, Ini Enam Masalah Kesehatan di Era Jokowi-JKIDN Times

Obat kanker kolorektal (kanker usus) tak lagi dijamin pemerintah per 1 Maret 2019. Hal itu tertera dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/707/2018 (merevisi Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/659/2017).

Dalam surat keputusan tersebut, tertulis obat bevacizumab dikeluarkan dari formularium nasional (fornas). Sementara, obat cetuximab hanya diberikan sebagai terapi lini kedua kanker kepala dan leher jenis squamous dan dikombinasi dengan kemoterapi atau radiasi.

Surat Keputusan yang beredar tersebut menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Menteri Kesehatan Nila F Moeloek pun memastikan akan mengkaji ulang keputusan tersebut. Menurut Nila, pengkajian masih dalam proses bersama Health Technology Assesment (HTA). Mereka akan membahas dengan organisasi profesi.

Sementara, BPJS Kesehatan telah merilis obat pengganti kanker usus yang dikeluarkan dari fornas. Di antaranya irinotekan, kapesitabin, dan oksaliplatin. Obat tersebut berupa injeksi yang diberikan kepada pasien sesuai dosisnya.

6. Obat trastuzumab juga sempat dikeluarkan dari fornas

Sering Disorot, Ini Enam Masalah Kesehatan di Era Jokowi-JKIDN Times/Sukma Mardya Shakti

Dikeluarkannya obat kanker dari fornas bukanlah pertama kali terjadi. Tahun lalu, pemerintah mengeluarkan obat trastuzumab dari fornas. Hal itu tertera dalam Surat Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan R Maya Armiani Rusady dengan nomor 2004/III.2/2018 tanggal 14 Februari 2018. Surat itu ditujukan kepada Kepala Cabang BPJS di seluruh Indonesia untuk menghentikan penjaminan terhadap obat trastuzumab mulai 1 April 2018.

Atas terbitnya surat tersebut, penderita kanker payudara HER2 positif, Juniarti menggugat Presiden Joko Widodo, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris, dan Ketua Dewan Pertimbangan Klinis Prof Agus Purwadianto. Gugatan tersebut terdaftar nomor perkara 552/Pdt.G.2018/PN.Jkt.Sel itu resmi didaftarkan tanggal 27 Juli 2018. Gugatan tersebut menghasilkan penjaminan kembali obat trastuzumab.

Baca Juga: Obat Kanker Tidak Lagi Ditanggung BPJS, Ini Tanggapan Dua Kubu Capres

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya