Sosiolog: Klitih Jadi Tameng Pelaku Tindak Kriminal

Pelaku kriminal mayoritas berasal dari warga pendatang

Jakarta, IDN Times - Memiliki citra sebagai kota aman dan nyaman, Yogyakarta kini kian terusik dengan aksi klitih oleh sekelompok pemuda. Dahulu kala, klitih bermakna keluyuran, tawuran antarsekolah, atau aktivitas jual beli barang bekas di Pasar Klitikan.

Kini, makna tersebut mulai bergeser jadi tindakan kriminal yang membahayakan nyawa seseorang. Menurut Sosiolog Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, Sigit Rochadi, fenomena klitih saat ini adalah hasil regenerasi.

"Jadi pelaku klitih ketika pelajar itu berubah jadi pelaku kekerasan saat usia dewasa. Mereka yang berani melakukan kekerasan ketika usia di atas 20 tahun itu, dulu sudah 'berlatih' saat jadi pelajar," ujar Sigit kepada IDN Times, Sabtu (8/12).

Baca Juga: "Klitih", Tradisi Cari Angin yang Jadi Ajang Adu Bacok

1. Klitih jadi tameng untuk menutupi tindakan kriminal

Sosiolog: Klitih Jadi Tameng Pelaku Tindak KriminalIDN Times/Imam Rosidin

Sigit mengatakan, klitih hanyalah tameng yang digunakan pelaku untuk menutupi tindakan kriminal. Kini, makna klitih telah benar-benar bergeser.

"Sudah gak bisa disebut klitih lagi. Mereka membungkus perilakunya menggunakan kata 'klitih'. Kata itu digunakan untuk membangun solidaritas mereka, antar para penjahat," ujarnya.

Selain itu, istilah klitih juga kerap digunakan pelaku untuk menyamarkan tindak kejahatan. Sebab, klitih hanya dianggap tindakan main-main.

"Yang terjadi sekarang ini sudah tindakan kriminal, seperti merampok, menjambret, atau menodong secara paksa," kata dia.

2. Pelaku kriminal mayoritas berasal dari warga pendatang

Sosiolog: Klitih Jadi Tameng Pelaku Tindak KriminalIlustrasi kriminal ( ANTARA FOTO/Risky Andrianto)

Menurut Sigit, mayoritas pelaku kriminal di Yogya adalah warga pendatang. Kekuatan pelaku kriminal ada pada solidaritas antar anggota kelompok dan daerah asal.

"Jadi, sulit bagi saya menemukan warga asli lahir dan dibesarkan di Yogya yang melakukan klitih. Kalau saya pelajari, tindakan itu berjenjang. Anak remaja jelang dewasa biasanya migrasi dari desa ke kota kecil dulu. Misal dari daerah Jepara, Pati, Boyolali, Gunung Kidul, Wonogiri, lalu larinya ke Yogya," kata Sigit.

Kemudian, lanjut dia, para pelaku yang punya jam terbang di Yogya akan meningkatkan aksinya ke kota-kota besar lainnya. Menurut dia, klitih di Yogya masih menjadi tindakan yang tak terlalu parah jika dibandingkan di kota besar lainnya.

"Kalau kota besar sudah jadi geng yang menguasai ruko-ruko, pasar-pasar, mereka menampakkan diri terang-terangan, adu kekuatan. Kalau klitih masih sembunyi-sembunyi, habis jambret lari. Memang belum jadi seorang penjahat profesional," ujarnya.

3. Daerah asal jadi penguat solidaritas

Sosiolog: Klitih Jadi Tameng Pelaku Tindak Kriminal

Sigit mengungkapkan, daerah asal menjadi penguat solidaritas. Misal, para pelaku yang yang berasal dari daerah yang sama akan saling menutupi identitas sosial.

"Sama-sama orang Jepara, ada yang dikejar salah satu, nanti dia disembunyikan oleh pelaku lain," ujarnya.

Oleh sebab itu, setiap daerah berfungsi membangun kekuatan, solidaritas, kerja sama, dan saling menutupi kejahatan satu sama lain. Mereka pada umumnya pergi ke Yogya di usia belia untuk mencari penghidupan dan identitas.

"Mereka rata-rata ke Yogya karena gak punya pegangan secara sosial dan ekonomi yang memadai. Makanya mereka eksis dengan cara-cara seperti itu," ungkapnya.

4. Aksi kriminal dipicu oleh kompetisi antar anggota kelompok

Sosiolog: Klitih Jadi Tameng Pelaku Tindak KriminalIDN Times/Sukma Shakti

Sigit menilai, keberanian mereka disebabkan oleh usia muda yang gemar bersaing. Mereka kerap berkompetisi dan adu keberanian untuk membuktikan kehebatan masing-masing.

"Misal si A berani turun ngambil barang orang, si B berani mencekek, nanti si C bilang 'saya lebih berani dari mereka'. Loyalitas antar kelompok dibangun dengan cara seperti itu," kata dia.

5. Klitih marak di Yogya karena multibudaya

Sosiolog: Klitih Jadi Tameng Pelaku Tindak KriminalIDN Times/Imam Rosidin

Menurut Sigit, maraknya aksi klitih juga tak lepas dari kondisi Yogya yang sejak dulu dikenal sebagai kota pelajar. Para pelajar itu datang dari berbagai daerah.

"Kalau mereka terlambat menerima kiriman orangtuanya, mereka 'nglitih' (jual barang bekas). Ada buku gak kepakai, dibawa ke Pasar Klitikan," kata Sigit.

Lambat laun, klitih pun berubah menjadi aktivitas kriminal yang memperkuat solidaritas antarkelompok. Banyaknya para pendatang ke Yogya juga dipicu oleh kekhasan Kota Gudeg yang multi budaya dan multi etnis.

"Yogya adalah laboratorium sosial budaya yang bagus. Orang toleran, keras, ekstrem kiri sampai kanan ada semua di Yogya," tuturnya.

Baca Juga: Jogja Darurat “Klitih”, Banyak Geng Sekolah yang Berani Pakai Senjata Tajam

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya