Baleg DPR RI: RUU Ketahanan Keluarga Memenuhi Syarat Diajukan Jadi UU

Padahal RUU Ketahanan Keluarga masih menjadi polemik

Jakarta, IDN Times - Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU Ketahanan Keluarga) kembali dibahas Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dalam tahap harmonisasi. Ketua Tim Ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk RUU Ketahanan Keluarga Barus mengatakan, RUU ini telah memenuhi syarat diajukan menjadi undang-undang.

"RUU tentang Ketahanan Keluarga setelah kami pelajari telah memenuhi syarat formil untuk diajukan, karena RUU tersebut termasuk dalam Prolegnas RUU prioritas 2020 nomor urut 35, dan telah disertai dengan naskah akademik," kata Barus, dalam rapat baleg yang disiarkan virtual, Kamis (12/11/2020).

Baca Juga: RUU Ketahanan Keluarga Dianggap Jiplak Orde Baru untuk Isolasi Wanita

1. RUU Ketahanan Keluarga memenuhi syarat formil

Baleg DPR RI: RUU Ketahanan Keluarga Memenuhi Syarat Diajukan Jadi UURapat Paripurna DPR RI ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021 pada Senin (5/10/2020) (Youtube.com/DPR RI)

Barus menjelaskan, RUU Ketahanan Keluarga memenuhi syarat formil karena telah masuk Prolegnas Prioritas 2020 dan telah sesuai dengan naskah akademik. Baleg selanjunya melakukan kajian RUU meliputi aspek teknis, aspek substantif, dan asas-asas pembentukan peraturan perundangan-undangan.

“Kajian tersebut dilakukan baik dilakukan pada konsideran serta penjelasan pasal-pasal yang ada dalam RUU maupun antar RUU dengan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Termasuk dengan memperhatikan analisa mengenai dampak pengaturan yang ditimbulkan, atau regulatory impact assesment,” ujar dia.

2. RUU Ketahanan Keluarga mencampuri urusan pribadi

Baleg DPR RI: RUU Ketahanan Keluarga Memenuhi Syarat Diajukan Jadi UUIlustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

RUU Ketahanan Keluarga ini sempat menuai kritik. Anggota Baleg DPR Fraksi PDIP My Esti Wijayati menilai RUU ini terlalu mencampuri urusan rumah tangga.

"Bahwa negara seolah-seolah akan mencampuri urusan keluarga sampai ke ranah rumah tangga. Yang di dalam rumah tangga itu terbangun oleh beberapa hal yang mungkin tidak bisa kita undangkan. Di situ ada rasa, ada problematika, cinta, ada toleransi, yang mungkin saja juga di dalam keluarga itu terdiri dari bermacam-macam," kata Esti dalam rapat.

3. Pemerintah memantau keharmonisan keluarga lewat RUU Ketahanan Keluaga

Baleg DPR RI: RUU Ketahanan Keluarga Memenuhi Syarat Diajukan Jadi UURapat Paripurna DPR RI ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021 pada Senin (5/10/2020) (Youtube.com/DPR RI)

RUU Ketahanan Keluarga memberi peran pemerintah dalam memantau ketahanan keluarga yang tercantum dalam Pasal 55. Pemantauan dan evaluasi akan dilakukan paling sedikit satu kali dalam setahun. Berikut bunyi Pasal 55. 

BAB VIII
Pemantauan dan Evaluasi
Pasal 55
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melaksanakan pemantauan dan evaluasi Pembangunan Ketahanan Keluarga.
(2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan indikator Ketahanan Keluarga.
(3) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan evaluasi Pembangunan Ketahanan Keluarga diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pada pembahasan anggota dewan periode sebelumnya, RUU Ketahanan Keluarga masih menjadi polemik. Beberapa hal ada yang dianggap merugikan kaum wanita. Beberapa hal yang menjadi perdebatan antara lain, pertama, terkait kewajiban suami istri dalam menjalankan kehidupan berkeluarga.

Aturan itu tertuang di dalam Pasal 25 yang terdiri atas tiga ayat. Kedua, larangan donor sperma, ovum (sel telur), hingga surogasi (sewa rahim), seperi diaur dalam Pasal 26, Pasal 31 dan Pasal 32.

Ketiga, dalam pemenuhan aspek ketahanan keluarga, juga ada kewajiban memisahkan orang tua dan anak-anak dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Aturan itu tertuang dalam Pasal 33 Ayat (2) yang mengatur tentang persyaratan tempat tinggal layak huni.

Keempat, adanya pengaturan tambahan bagi istri yang bekerja di instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara, BUMN dan BUMD, terutama dalam hal mendapatkan hak cuti melahirkan dan menyusui. Aturan ini tertuang dalam Pasal 29 dan Pasal 134 huruf b.

Kelima, kewajiban keluarga melaporkan anggotanya yang mengalami penyimpangan seksual kepada badan yang menangani ketahanan keluarga. Aturan itu diatur pada Pasal 86 hingga Pasal 89. Bahkan di dalam aturan penjelasan untuk Pasal 85, ada empat hal yang disebut sebagai tindakan penyimpangan seksual.

Baca Juga: RUU Ketahanan Keluarga Masuk Baleg, 3 Fraksi Mempertanyakan Urgensinya

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya