Beda dengan Golkar, PAN Ingin Pilpres Tanpa Presidential Threshold

Golkar usul presidential threshold tujuh persen

Jakarta, IDN Times - Pembahasan ambang batas presiden dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu masih berjalan alot karena dua fraksi menginginkan presidential threshold sebesar tujuh persen. Mereka adalah NasDem dan Golkar.

Anggota Fraksi PAN, Guspardi Gaus, menilai ambang batas tujuh persen tidak logis karena acuannya menggunakan patokan threshold hasil pemilu sebelumnya. Ia juga berpendapat penerapan sistem presidential threshold sebagai upaya membatasi pertarungan di Pilpres.

“Penetapan presidential threshold ini tidak sesuai dengan semangat reformasi dan mencerminkan kemunduran demokrasi di Indonesia, sebaiknya dihapuskan saja presidential threshold ini," katanya melalui keterangan tertulis, Selasa (9/6).

Ia menilai partai yang lolos ke Senayan seharusnya diberikan hak mengajukan calon presiden dan wakil presiden tanpa harus dibatasi aturan presidential threshold. 

1. Membuka peluang bagi capres dan cawapres yang lebih banyak

Beda dengan Golkar, PAN Ingin Pilpres Tanpa Presidential ThresholdSeorang pekerja tengah merampungkan pengerjaan kotak suara Pemilu 2019 di Gudang eks Bandara Polonia, Medan (IDN Times/Prayugo Utomo)

Guspardi mengatakan jika aturan mengenai presidential threshold tidak berubah, maka pada Pilpres 2024 kemungkinan hanya akan diikuti oleh dua pasangan calon. Sebab, dari hasil rekapitulasi Pileg 2019, dari sembilan partai yang berhasil melampaui parliamentary threshold tidak ada satu pun yang mencapai perolehan 20 persen, sehingga sangat dimungkinkan setiap partai politik untuk membentuk koalisi untuk mencapai presidential threshold 20 persen yang disyaratkan dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017. 

2. Membuka peluang bagi partai baru mengusung calon

Beda dengan Golkar, PAN Ingin Pilpres Tanpa Presidential ThresholdPekerja logistik Pemilu 2019 memperhatikan surat suara Pileg 2019 sebelum dilipat dan didistribusikan ke TPS (IDN Times/Prayugo Utomo)

Guspardi mengatakan, semakin banyak calon di Pilpres, akan semakin memperbanyak pilihan bagi rakyat untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden. Raykat, menurutnya, punya hak untuk memilih mana calon terbaik tanpa perlu direkayasa melalui ambang batas.

“Kalau parpol yang baru pertama kali itu tidak punya hak (mengusung calon presiden) saya kira itu cara pandang dalam demokrasi yang tidak pas," terang Legislator asal Sumatera Barat tersebut.

3. PAN tak ingin Pilpres 2019 terulang

Beda dengan Golkar, PAN Ingin Pilpres Tanpa Presidential ThresholdANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Lebih lanjut ia mengatakan, kontestasi Pilpres 2019 harusnya menjadi pelajaran berharga bahwa penetapan presidential threshold yang mengakibatkan rakyat terkotak menjadi dua kubu yang saling berhadapan.

Setiap kelompok masyarakat yang memiliki preferensi maupun berafiliasi dengan paslon menganggap bahwa paslon yang mereka dukung adalah paslon yang paling baik dan seharusnya dijadikan acuan publik.

“Kedua kubu paslon saling head to head membela paslon masing-masing. Akibatnya terjadi berbagai persekusi, timbulnya fitnah, merajalelanya hoaks. dan lain-lain. Lalu dilanjutkan dengan narasi-narasi yang menjatuhkan pasangan lawan atau kubu sebelah,” ujar Guspardi.

4. Golkar usul presidential threshold tujuh persen

Beda dengan Golkar, PAN Ingin Pilpres Tanpa Presidential ThresholdIDN Times/Irfan fathurohman

Golkar merupakan salah satu partai yang getol mengusulkan agar presidential threshold dinaikan jadi 7 persen. Mereka beralasan angka 7 persen akan membuat kompetisi di Pemilu 2024 berlangsung lebih ketat dan dinamis.

“Tentunya kita siapkan strategi-strategi untuk membuat UUD yang mengatur presidential threshold 7 persen," kata Wakil Ketua DPP Golkar, Aziz Syamsudin, saat menghadiri Musda Golkar Jateng di Grand Candi Jalan Sisingamangaraja, Candisari Semarang, Senin (9/3).

Baca Juga: Efisiensi Jadi Alasan Golkar Ingin Pemilu Tertutup

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya