Beda Nama Sama Rasa: Satgas Nemangkawi Berganti Damai Cartenz

Alih-alih soft approuch, tapi lupa pendekatan dialogis

Jakarta, IDN Times - Operasi Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi akhirnya selesai pada 17 Januari 2021, setelah beroperasi sejak 2018 untuk menjaga kondusifitas di Tanah Cendrawasih dari gangguan keamanan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).

Mabes Polri kemudian melanjutkan operasi khusus Papua dengan Operasi Damai Cartenz yang memiliki kekuatan 1.925 personel gabungan TNI-Polri. Mereka akan beroperasi di Kabupaten Pegunungan Bintang, Yahukimo, Nduga, Intan Jaya, dan Puncak Ilaga.

Alih-alih mengutamakan pendekatan humanis dan soft approach, Damai Cartenz juga masih menggunakan pendekatan penegakkan hukum (Gakkum) yang diklaim hanya untuk menghadapi ancaman KKB.

Sementara itu, program pembinaan masyarakat (Binmas Noken) yang sebelumnya ada dalam Satgas Nemangkawi, akan dilanjutkan dengan nama Operasi Rastara Samara Kasih (Rasaka) Cartenz.

Rasaka Cartenz diawaki 425 personel Polda Papua yang akan beroperasi di 23 wilayah zona kuning dan hijau ancaman KKB. Mereka mengedepankan fungsi Binmas tanpa adanya pendekatan Gakkum.

Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth menilai, melihat tugas dan fungsi Damai dan Rasaka Cartenz tak jauh beda dengan Satgas Nemangkawi. Bisa dibilang, operasi ini hanya berganti nama namun sama rasa.

Sebab, untuk mencapai kata damai yang disematkan dalam nama operasi Cartenz, seharusnya tak ada lagi angkat senjata dalam penanganan KKB. Pergantian nama ini semestinya diiringi dengan analisis sumber konflik terparah di Asia Tenggara setelah konflik Mindanao dengan Kesultanan Sulu di Philipina.

“Kata damai si sini seharusnya tanpa konflik kekerasan, kita harus cari sumbernya dari mana. Ketika sudah menemukan sumber konflik, berarti sudah menemukan upaya damai. Tapi kalau tidak bisa menemukan sumber kekerasannya, ya itu hanya cuma mengubah nama sih sebenarnya,” ujar Adriana kepada IDN Times, Senin (24/1/2022).

1. Damai Cartenz miliki PR menangkap pimpinan KKB

Beda Nama Sama Rasa: Satgas Nemangkawi Berganti Damai CartenzPeneliti LIPI Adriana Elisabeth (IDN Times/Fitang Budhi Adhitia)

Melihat fungsi dan pendekatan yang akan dilakukan Damai Cartenz, Adriana sebut hampir mirip dengan Satgas Nemangkawi yang dilahirkan pada era Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian.

Selama tiga tahun beroperasi, Satgas Nemangkawi memiliki catatan yang kurang memuaskan. Lantaran, tak ada pimpinan KKB yang berhasil ditangkap. Bahkan, sejak Menko Polhukam Mahfud MD menetapkan KKB sebagai Kelompok Separatis Teroris (KST) pada April 2021.

“Komandan KKB juga belum tertangkap sampai sekarang. Nah bahkan aparat sendiri terus menjadi korban. Artinya, pengalaman di Nemangkawi harus diperbaiki strateginya, apakah operasi di Damai Cartenz efektif. Tentunya dua operasi ini harus saling melengkapi,” ujar Adriana.

Setidaknya ada lima kelompok besar yang telah dipetakan oleh Satgas Nemangkawi dengan para pemimpinnya adalah Lekagak Telenggen, Egianus Kogoya, Jhony Botak, Demianus Magai Yogi, dan Sabinus Waker.

Mereka beroperasi di Puncak, Yahukimo, Nduga, dan Intan Jaya. Dari daftar kelompok yang ada, ada dua nama kelompok yang dianggap paling berbahaya. Mereka adalah Kelompok Egianus dan Lekagak.

Kelompok Egianus dinilai menguasai medan pegunungan. Usia Egianus Kogoya sendiri tergolong masih muda, diperkirakan berusia 20-an tahun.

Wilayah operasional kelompok Egianus berada di Kabupaten Nduga. Beberapa lokasi yang kerap didatangi kelompok tersebut adalah Distrik Mbua, Mapanduma dan Keneyam.

Egianus adalah anak dari Silas Kogoya, yang juga merupakan tokoh gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang telah meninggal dunia.

Tidak seperti KKB lain yang kerap mendapat suplai senjata dari oknum-oknum tertentu, Eginaus justru tidak pernah terdeteksi melakukan jual beli senjata api. Seluruh persenjataan kelompoknya didapat dari hasil rampasan aparat keamanan.

Sementara itu, Lekagak Telenggen yang saat ini terkenal sebagai pemimpin KKB Yambi, Kabupaten Puncak memiliki usia yang diperkirakan sudah cukup berumur.
Kelebihan Lekagak adalah memimpin kelompok yang lebih terstruktur, atau bisa dikatakan Lekagak lebih memiliki pengetahuan organisasi dan militerisme.

Lekagak yang saat ini menjadi salah satu orang paling dicari aparat keamanan sangat sulit ditangkap karena penjagaannya berlapis.

Hal lain yang membedakan sosok Lekagak dengan Egianus Kogoya adalah, Lekagak tidak pernah terlihat langsung dalam aksi kriminal bersenjata di Kabupaten Puncak, sedangkan Egianus kerap turun langsung bersama pasukannya ketika melakukan aksi.

Pada 2019, Lekagak dipastikan menjadi inisiator berkumpulnya beberapa KKB dari berbagai kabupaten untuk melakukan aksi di Tembagapura, Kabupaten Mimika, tempat area operasional PT Freeport Indonesia.

Oleh karena itu, Adriana menilai strategi Operasi Damai Cartenz perlu diperbarui, mengingat perubahan pola operasi KKB seperti yang dilakukan Egianus. Mereka berpindah dari Nduga ke Yahukimo yang perlu diantisipasi dengan strategi baru.

“Kelemahan Satgas Nemangkawi belum berhasil menangkap komandan KKB sampi hari ini. Itu kan target, artinya harus ada strategi lain,” imbuhnya.

Baca Juga: Sambut Damai Cartenz, KKB Serang Pos TNI di Gome, 3 Prajurit TNI Tewas

2. Pendekatan dialogis untuk menyelesaikan masalah Papua

Beda Nama Sama Rasa: Satgas Nemangkawi Berganti Damai CartenzInfografis beda Satgas Nemangkawi dengan Damai Cartenz dan Rasaka Cartenz (IDN Times/Aditya Pratama)

Selain strategi yang diperbarui, Damai Cartenz harus melakukan pendekatan dialog. Tidak ada lagi angkat senjata, tangkap pimpinan KKB dan duduk bersama untuk berdialog.

“Pendekatan dialog tidak pernah dilakukan, ketika berbicara pendekatan humanis dan damai harusnya dialog. Dialog the power communication, kita bisa saling ngerti,” ujar Adriana.

Pendekatan dialog tidak perlu dilakukan dari nol. Sebab, Presiden Joko “Jokowi” Widodo pernah melakukan pertemuan dengan 14 tokoh Papua dan Papua Barat dan menyetujui adanya dialog sektoral. Hal tersebut serupa dengan gagasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan sebutan Komunikasi Konstruktif.

Dialog sektoral untuk Papua dirasa penting untuk dilaksanakan, antara lain karena kompleksitas masalah Papua dan berbagai dampak negatif yang disebabkannya sejak 1963. Masalah Papua yang diibaratkan benang basah kusut dan sulit diurai, masih belum diselesaikan secara menyeluruh.

Rakyat Papua juga menyaksikan banyak program dari pemerintah pusat melalui kementerian/lembaga yang belum sepenuhnya menjawab masalah dan memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini terjadi, antara lain karena banyak kementerian belum memahami masalah dan kebutuhan orang Papua.

Menurut Adriana, urgensi pendekatan dialogis penting dilakukan untuk membangun rasa saling percaya dan menumbuhkan rasa memiliki terhadap proses pembangunan serta penyelesaian persoalan Papua. Dialog tambahnya juga akan memberikan legitimasi yang kuat bagi pemerintah untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai.

Rakyat Papua melihat relasi antara pemerintah pusat dan daerah sering kali diwarnai ketidakharmonisan. Apabila suatu program pembangunan gagal, keduanya cenderung menyalahkan satu sama lain.

Rakyat Papua belum dilibatkan secara penuh dalam pembahasan program pembangunan sehingga mereka kurang memahami kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di daerahnya. Mereka juga tidak mengetahui kontribusi apa yang dapat diharapkan dari mereka untuk menyukseskan pembangunan.

Semua itu mengakibatkan rakyat Papua kurang tersentuh oleh pembangunan. Mereka kurang tergerak untuk melibatkan diri dalam pembangunan. Tingkat kesejahteraan mereka tidak terdongkrak, sekalipun triliunan rupiah dikucurkan ke tanah Papua.

Karena itu, para tokoh Papua mengusulkan pentingnya pelaksanaan dialog sektoral yang dapat melibatkan semua pemangku kepentingan. Dialog sektoral merupakan suatu forum atau pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak yang berkompeten untuk membahas suatu sektor atau bidang tertentu.

Misalnya, satu dialog membahas pendidikan. Dialog lain difokuskan pada bidang kesehatan. Demikian seterusnya sehingga setiap sektor atau bidang dibahas. Banyaknya bidang atau sektor yang ingin dibahas menentukan jumlah dialog yang diperlukan.

Peserta dialog sektoral adalah pihak-pihak yang berkompeten sesuai dengan sektor yang menjadi agenda pembahasan. Mereka mewakili pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat.

Dalam dialog ini, semua pemangku kepentingan secara bersama-sama mengidentifikasi masalah, melihat kebutuhan yang perlu dipenuhi, menyepakati solusi yang tepat, membuat perencanaan, dan menetapkan target-target jangka pendek hingga jangka panjang. Apa pun yang diputuskan dalam dialog sektoral merupakan keputusan bersama.

Peserta dialog sektoral menetapkan juga peran dan tugas setiap lembaga terkait. Dengan penetapan tugas secara bersama-sama, setiap pihak mengetahui tugasnya dan saling mengetahui siapa menangani pekerjaan apa sehingga mereka dapat bekerja sama, saling mendukung, dan mengingatkan.

Dengan melibatkan rakyat Papua dalam dialog ini, mereka dapat memahami program pembangunan yang akan dilaksanakan di daerahnya. Pemahaman ini akan mempermudah mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam menyukseskan program dan mengawasi pelaksanaannya.

Melalui dialog ini, pemerintah pusat dapat mempelajari masalah dan kebutuhan orang Papua dengan mendengarkan secara langsung dari mereka. Selanjutnya, pemerintah dapat menetapkan program yang sungguh-sungguh menjawab masalah dan kebutuhan rakyat Papua.

Dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, pembangunan tidak lagi dipandang sebagai monopoli pemerintah pusat dan daerah, melainkan urusan semua pihak, termasuk lembaga keagamaan dan adat.

Apabila terjadi kegagalan dalam pembangunan, pemerintah pusat bukanlah satu-satunya pihak yang disalahkan. Kegagalan juga kesuksesa pembangunan akan menjadi tanggung jawab bersama. Karena itu, dialog sektoral ini perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak, baik di Jakarta maupun Papua.

“Yang tidak terjadi sampai saat ini adalah persiapan dialog yang tidak tuntas. Agendanya harus disepakati. Dialog sektoral tidak terlaksana karena tidak ada agenda yang disepakati bersama. Jakarta ingin bahas soal pendidikan dan ekonomi tapi Papua ingin agenda soal penyelesaian HAM. Akhirnya tidak terlaksana sampai sekarang,” ujar Adriana.

3. Negara harus menjamin tidak ada warga jadi korban operasi keamanan

Beda Nama Sama Rasa: Satgas Nemangkawi Berganti Damai CartenzLinimasa Historis Papua. (IDN Times/Aditya Pratama)

Berdasarkan catatan Manesty Internasional Indonesia, sejak 2 September 2021, ribuan personel TNI dan Kepolisian Daerah (Polda) Papua Barat dikerahkan ke Kabupaten Maybrat, Papua Barat. Mereka dikerahkan dalam rangka operasi melawan KKB terkait insiden penyerangan di Posramil Kisor Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat, Papua Barat.

Berdasarkan informasi yang diterima Amnesty dari tokoh gereja dan aktivis setempat, operasi militer dalam upaya mencari pelaku penyerangan posramil tersebut menyebabkan ratusan warga dari lima distrik di Kabupaten Maybrat mengungsi ke hutan.

Menurut Prinsip-Prinsip tentang Pengungsi Internal dari Kantor Komisioner Tinggi untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan kepada semua pengungsi internal yang berada dalam wilayahnya.

Pengungsi internal yang tidak atau sudah berhenti berpartisipasi dalam pertempuran juga tidak boleh diserang dalam situasi apa pun. 

“Pemerintah dan aparat keamanan wajib memastikan agar warga tidak menjadi korban saat terjadi operasi keamanan di Kabupaten Maybrat,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Ia menjelaskan, saat terjadi kontak bersenjata antara aparat TNI-Polri dengan KKB di Papua yang mengakibatkan jatuhnya korban pada pihak aparat, warga sipil sering kali menjadi korban tindakan balasan dari aparat.

Pola yang terus berulang ini membuat warga merasa tidak aman dan menjadi pengungsi internal. Mereka terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka tanpa kepastian kapan akan kembali ke rumah mereka. Ini terjadi beberapa tahun lalu di daerah Nduga, Timika, dan Intan Jaya.

“Sampai sekarang pun, masih banyak warga di sana yang mengungsi. Pemerintah harus memastikan warga merasa aman dan seluruh pengungsi internal mendapat akses ke bantuan kemanusiaan yang memadai selama dalam pengungsian dan dipenuhi hak-haknya,” ujarnya.

Baca Juga: Kronologi Serangan KKB ke Pos TNI di Gome Papua, 3 Prajurit Tewas 

4. Label teroris pada KKB, bentuk kegagalan mencari akar masalah

Beda Nama Sama Rasa: Satgas Nemangkawi Berganti Damai CartenzTentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). (dok. TPNPB-OPM)

Pelabelan KKB sebagai organisasi teroris disebut menjauhkan pemerintah Indonesia dari kemampuan untuk mengatasi akar permasalahan dari konflik di Papua.

Pemerintah seharusnya fokus untuk menginvestigasi dan menghentikan pembunuhan di luar hukum serta bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya di Papua. baik yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan maupun tindakan kriminal yang dilakukan oleh mereka yang bukan aparat keamanan. Bukan malah memakai politik labelisasi terhadap kelompok-kelompok di Papua yang akan semakin mengecewakan orang asli Papua.

Menko Polhukam Mahfud MD dalam siaran persnya (29/4/2021) mengatakan pemerintah telah meminta kepada Polri TNI, BIN dan aparat terkait untuk segera melakukan tindakan secara cepat, tegas dan terukur menyusul masuknya OPM dalam status teroris. Memberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme) dalam kasus Papua artinya siapa saja yang dianggap mencurigakan bisa ditahan lebih lama, bisa mencapai 7 hingga 21 hari tanpa adanya tuduhan.

Sementara dalam prosedur tindak pidana biasa, proses pemeriksaan hanya berlangsung dalam waktu 1×24 jam.

“Ini langkah yang keliru. Selama ini orang Papua sudah marah distigma sebagai separatis, sekarang mereka dilabeli sebagai teroris. Dan kalau UU Terorisme betul diterapkan di sana, makin banyak orang Papua yang ditangkap tanpa didasarkan bukti-bukti,” kata Usman Hamid.

Menurutnya, akan ada lebih banyak ketakutan, kemarahan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah serta negara. Amnesty menilai, dengan label teroris, aparat keamanan pemerintah dapat menangkap dan menahan siapa saja di bawah UU Terorisme tanpa mematuhi kaidah hukum acara yang benar (due process of law).

Proses hukum dengan tuduhan ini dapat menjadi lebih keras dibanding pasal-pasal makar yang kerap kali dituduhkan kepada orang Papua. Di tahun 2021, Amnesty mencatat adanya 31 tahanan hati nurani yang dikenakan pasal-pasal makar hanya karena mengekspresikan pandangan politiknya.

Di antaranya adalah 13 aktivis KNPB sudah bebas dan berstatus wajib lapor, lalu enam orang di Sorong, dan tiga orang aktivis KNPB di Sorong.

“Ini terlihat sebagai upaya yang lebih legal untuk mencap separatis sebagai teroris. Kebijakan yang dikoordinasikan Menkopolhukam saat ini bisa mengulangi kesalahan kebijakan Menkopolhukam di era pemerintahan Megawati yang mencap tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka dengan tuduhan teroris dan pada akhirnya hanya menggagalkan peluang penyelesaian konflik secara damai,” sebut Usman.

Dengan penggunaan dalih melawan terorisme, pemerintah dapat menempatkan Densus 88 dari kepolisian yang sudah dikenal memperlakukan terduga teroris secara tidak manusiawi dengan menggunakan penyiksaan dan hukuman tanpa fair trial dalam operasi anti terorisme di Papua.

Amnesty mencatat, sejak Februari 2018 hingga Desember 2020, ada setidaknya 47 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh aparat keamanan dengan total 80 korban. Di tahun 2021, sudah ada setidaknya lima kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan, dengan total tujuh korban.

Berdasarkan hasil studi LIPI, operasi militer merupakan salah satu akar permasalahan dalam konflik di Papua. Selama ini, pemerintah Indonesia juga menerapkan pendekatan keamanan dengan operasi-operasi militer untuk menghadapi OPM.

Pemberian label teroris terhadap kelompok seperti OPM tidak akan menghentikan pembunuhan di luar hukum dan kekerasan lainnya di Papua. Sebaliknya, masuknya OPM dalam DTTOT sama saja dengan memperluas lingkup pendekatan keamanan, termasuk dengan melibatkan senjata berat dan pasukan khusus.

Selain itu, penentuan status OPM sebagai organisasi teroris juga tidak konsisten dengan UU Tindak Pidana Terorisme, khususnya Pasal 5 yang menyatakan bahwa “Tindak pidana teroris yang diatur dalam UU ini harus dianggap bukan tindak pidana politik.”

Sementara, kegiatan yang dilakukan KKB sangat lekat dengan aspek politik karena berhubungan dengan ekspresi politik mereka, yang diakui oleh hukum internasional.

Lebih lanjut, penetapan status ini juga berpotensi untuk semakin membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul orang Papua melalui UU Terorisme. Lebih dari empat dekade, orang Papua mengalami pembatasan hak untuk berkumpul dan berekspresi.

Oleh karena itu, Amnesty International mendesak Pemerintah Indonesia untuk mencabut KKB dari kelompok teroris dan untuk segera mengevaluasi pendekatan keamanan yang berlangsung di Papua.

“Pendekatan keamanan hanya akan memperkuat memori kekerasan dan penderitaan secara turun temurun di antara orang asli Papua akibat banyaknya ketidakadilan dan pelanggaran kemanusiaan dan hak asasi orang Papua,” ujar Usman.

Negara harus memastikan keadilan bagi orang Papua dengan membawa semua pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM baik dari aktor negara maupun aktor non-negara berdasarkan bukti yang cukup ke pengadilan pidana yang terbuka, efektif dan independen, dengan memenuhi prinsip peradilan yang jujur, adil, dan tidak memihak.

“Dengan cara itu kekerasan perlahan bisa berakhir. Lagipula, mengapa pemerintah tidak mendorong proses dialog damai untuk menghentikan konflik yang selama ini terjadi? Padahal Presiden Jokowi pernah berjanji akan duduk bersama dengan berbagai kelompok di Papua, termasuk kelompok pro-kemerdekaan. Bahkan Presiden pernah memberikan grasi kepada kelompok pro-kemerdekaan yang terlibat kekerasan. Label teroris hanya semakin menjauhkan pemerintah dari solusi,” kata Usman.

5. TPNPB-OPM tetap memperjuangkan hak politiknya untuk menentukan nasibnya sendiri

Beda Nama Sama Rasa: Satgas Nemangkawi Berganti Damai CartenzTentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). (dok. TPNPB-OPM)

Perubahan operasi di Papua tak membuat TPNPB-OPM berhenti untuk memperjuangkan hak politiknya untuk menentukan nasibnya sendiri. Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom mengatakan, berubahnya operasi Papua adalah bukti pemerintah gagal menerjemahkan permasalahan di Papua sejak 1963 hingga saat ini.

“Penanganan masalah Papua dari Satgas Nemangkawi berubah menjadi Damai Cartenz itu kami anggap lucu. Karena pemimpin atau petinggi Polri dan Pemerintah Jakarta kehabisan akal dan mereka kebingungan jadi raba-raba,” ujar Sebby.

Oleh karena itu, TPNPB-OPM menolak segala bentuk operasi di Papua. Ia mengajak Presiden Jokowi’ untuk duduk di forum PBB untuk menyelesaikan masalah Papua.

 “Kami sebut penanganan Papua ini sia-sia, artinya masalah Papua, kita berjuang untuk kepentingan politik menentukkan nasib kita sendiri. Dimana dilanggar oleh Indonesia atas dukungan Amerika Serikat serta kegagalan PBB untuk mengawasi hak penentuan nasib sendiri Papua yang dilanggar. Jika diselesaikan di mahkamah internasional, itu sah. Indonesia tidak bisa menghilangkan hak itu,” ujar Sebby.

Diketahui hingga artikel ini terbit, setidaknya sudah ada tiga kali baku tembak antara KKB dengan Damai Cartenz setelah beroperasi sejak 17 Januari 2022. Kontak tembak pertama terjadi di Maybrat, Papua Barat pada 20 Januari, akibatnya Serda Miskel meninggal dunia.

Kontak tembak kedua terjadi di Kiwirok pada 22 Januari 2022, akibatnya seorang anggota atas nama Bharada Resi Nugroho terkena tembakan di bagian dada kiri.

Kontak tembak ketiga terjadi di Kampung Jenggernok, Distrik Gome, Kabupaten Puncak, Papua pada Kamis (27/1/2022). Dalam peristiwa ini, tiga prajurit Satgas Pamtas Mobile Yonif R 408/SBH meninggal dunia.

Peristiwa kontak tembak ini berbanding terbalik dengan instruksi Kapolda Papua Irjen Pol Mathius D Fakhiri selaku Penanggungjawab tim Operasi Damai Cartenz.

Padahal, Ia meminta personel Damai Cartenz untuk menahan diri membalas serangan KKB. Sebab, Fakhiri menyebut baku tembak yang terjadi akan menimbulkan lebih banyak sisi negatif.

“Karena yang bersebrangan akan memanfaatkan momen ini untuk menjatuhkan pemerintah. Sehingga kami meminta dia (Damai Cartenz) untuk defensif bukan ofensif,” ujar Fakhiri lewat siaran persnya, Rabu (19/1/2022).

Fakhiri juga menginstruksikan jajarannya tidak lagi melakukan penyerangan terlebih dulu kepada KKB. Ia meminta jajarannya untuk lebih banyak bersikap bertahan.

“Jadi kita mengurangi kegiatan ofensif yang berbau berhadapan langsung (dengan KKB). Kita lebih ke defensif, perkuatan yang dilibatkan kepada kami, kami dorong ke masing-masing wilayah yang kami tandai bahwa masih sering terjadi kekerasan bersenjata,” ujar Fakhiri.

Kini pendekatan keamanan di Papua patut direvisi, lantaran berakibat pada jatuhnya korban baik itu KKB, TNI-Polri bahkan hingga masyarakat setempat yang tidak bersalah. Pemerintah harus memiliki langkah tegas dan niat serius mengakhiri konlik di Papua. Orang Asli Papua harus merasakan keamanan, ekonomi dan pendidikan yang merata.

Baca Juga: Akhir Januari 2022, Polri Ubah Satgas Nemangkawi Jadi Damai Cartenz 

Topik:

  • Jihad Akbar

Berita Terkini Lainnya