Berkaca Kasus Fetish Gilang, PDIP dan LPSK Desak Pengesahan RUU PKS

Fantasi seksual fetish belum masuk definisi RUU PKS

Jakarta, IDN Times - Kasus kekerasan seksual yang marak terjadi belakangan ini, termasuk kasus fetish kain jarik, memperkuat pentingnya pemerintah dan DPR segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), agar menjadi undang-undang.

Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP RI) Diah Pitaloka mengatakan, salah satu alasan pembahasan RUU PKS mandek, karena perdebatan mengenai hasrat seksual. Dalam perdebatan itu, hasrat seksual didorong tak boleh masuk ke dalam definisi kekerasan seksual.

Namun, kejadian terakhir adalah terjadi praktik fetish kain jarik, di mana terduga pelaku menemukan fantasi seksualnya dengan memanipulasi dan memaksa korban dibungkus kain jarik. Maka "hasrat seksual" dalam definisi kekerasan seksual pun menjadi jelas wujudnya.

"Tadinya dalam pembahasan RUU Kekerasan Seksual, hasrat seksual dipertanyakan dengan sangat keras. Maksud hasrat seksual itu apa? Jadi begitu ada kasus fetish ini, kita bisa menerjemahkan kenapa hasrat seksual masuk dalam definisi kekerasan seksual," kata Anggota Komisi VIII itu, dalam webinar bertema Urgensi UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang Komprehensif, Kamis (6/8/2020).

1. RUU PKS tak perlu menunggu RUU KUHP disahkan

Berkaca Kasus Fetish Gilang, PDIP dan LPSK Desak Pengesahan RUU PKSIDN TImes/Arief Rahmat

Politikus PDI Perjuangan itu melanjutkan, masalah lainnya mandeknya RUU PKS karaena menyangkut konstruksi sanksi hukum terhadap pelaku kekerasan seksual. Diah mengaku pihaknya sudah berdiskusi dengan banyak pakar, dan dari hasil diskusi terakhir, usulan dari pakar adalah karakteristik hukum yang berlaku adalah hukum pidana khusus.

Dengan begitu, layaknya pidana terhadap korupsi, maka RUU PKS tak perlu menunggu selesainya pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang juga menjadi alasan lain kenapa RUU PKS sempat dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.

“Itu menjawab pertanyaan apakah Undang-Undang PKS ini harus menunggu KUHP atau tidak. Ternyata undang-undang ini mengandung kekhususan hukum," ujar Diah.

Baca Juga: Kabar Baik, PDIP Siap Dukung RUU PKS Masuk Prolegnas 2021!

2. Ada dominasi, tekanan, dan manipulasi dalam kekerasan seksual

Berkaca Kasus Fetish Gilang, PDIP dan LPSK Desak Pengesahan RUU PKSDesakan pengesahan RUU PKS dalam aksi Gejayan Memanggil di Yogyakarta, 30/9/2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Diah lalu mengingatkan, salah satu substansi alasan pentingnya RUU PKS adalah karena berdasarkan pengakuan korban, banyak kasus kekerasan seksual berbasis relasi pelaku dan korban yang tidak setara. Sehingga ada dominasi, tekanan, manipulasi.

"Semoga RUU ini menjadi RUU yang diketengahkan sebagai bentuk political will, goodwill, keinginan baik yang diterjemahkan ke dalam ruang politik oleh fraksi-fraksi di DPR RI," kata dia.

Karena itu, Diah Pitaloka mendesak RUU PKS ini agar kembali masuk dalam Prolegnas 2021.

3. LPSK terhalang melindungi korban kekerasan seksual

Berkaca Kasus Fetish Gilang, PDIP dan LPSK Desak Pengesahan RUU PKSIDN Times/Irfan Fathurohman

Sementara, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania DF Iskandar mengatakan, lembaganya kerap terhalang bila hendak melindungi korban kekerasan seksual yang mengadu, karena ketiadaan dasar hukum.

Menurut dia ada berbagai kasus, di mana korban melapor karena berada di bawah ancaman pelaku kekerasan seksual. Sejauh ini, yang bisa dilaksanakan lembaganya mencoba berkoordinasi dengan psikolog untuk membantu korban.

LPSK, menurut Livia, mencatat sejumlah poin yang harus menjadi perhatian dalam pembahasan RUU PKS. Pertama adalah soal pemenuhan hak prosedural, hak psikologis, dan restitusi.

Kedua, Liva mencontohkan, kasus di Bengkulu, di mana keluarga korban justru dikucilkan masyarakat. Ini berarti perlu mengatur kerangka sosio-ekologis, di mana masyarakat tidak boleh menyalahkan korban sebagai pemicu kekerasan seksual.

Selanjutnya, adalah kasus kekerasan seksual dalam hubungan inses, di mana keberulangan sangat tinggi terjadi.

"Penegak hukum juga harus responsif korban. Maksudnya paham hak-hak saksi dan korban, sehingga nanti penanganan perkara menjadi suatu kebutuhan. Penuntut umum dan hakim itu paham tentang apa yang harus dilalui korban. Ini dipaksa ngomong berkali-kali, saya membayangkan harus berapa kali si korban ini menyampaikan apa yang terjadi pada dia. Itu menyedihkan," kata dia.

4. Pembuktian hukum harus diatur dengan jelas

Berkaca Kasus Fetish Gilang, PDIP dan LPSK Desak Pengesahan RUU PKSKetua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Livia Istania DF Iskandar (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Perihal pembuktian hukum, menurut Livia, juga harus diatur dengan jelas. Menurut dia keterangan seorang saksi korban saja semestinya sudah cukup untuk membuktikan dugaan kekerasan seksual.

"Victim impact statement, RUU PKS harus mengadopsi konsep partisipasi korban dalam proses peradilan pidana. Di mana si korban dapat memberikan pernyataan kejahatan yang menimpanya, baik berupa tulisan maupun lisan. Pernyataan itu ditujukan kepada hakim dan dibacakan. Ini supaya bisa mendengar langsung bagaimana peristiwa tersebut mengubah hidup seorang korban," kata Livia.

Baca Juga: Prolegnas 2020: RUU PKS Dicabut, RUU HIP Melenggang

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya