Dewan Pers: RUU KUHP Membelenggu Kebebasan Pers

Jangan sampai RKUHP tumpang tindih dengan UU Pers yang ada

Jakarta, IDN Times - Protes terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) datang dari berbagai penjuru. Salah satunya dari Dewan Pers. Anggota Dewan Pers Agung Darmajaya meminta, jangan sampai RKUHP tumpang tindih dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Ketika muncul persoalan pers, masuk dalam KUHP menjadi pidana, artinya kebebasan pers di satu sisi terbelenggu pidana, akhirnya jadi tumpang tindih," kata Agung di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (21/9).

Dia mengingatkan bahwa ketika terjadi persoalan dalam sebuah pemberitaan, harus diselesaikan dengan UU Pers, bukan pidana.

1. Pasal penghinaan presiden mengancam hak berpendapat pers

Dewan Pers: RUU KUHP Membelenggu Kebebasan PersANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Menurut dia, ada banyak pasal yang kontroversial yang menyangkut pers dalam RKUHP. Salah satunya terkait penghinaan presiden, sementara terminologi penghinaan tidak jelas karena bisa ditafsirkan secara sembarang.

"Menghina itu seperti apa sih? Kalau namanya pejabat publik, tidak perlu sekelas presiden, Anda dikritik ya itu risikonya, kecuali masuk ke ranah pribadi," ujarnya.

2. Pasal penghinaan presiden harus diperjelas

Dewan Pers: RUU KUHP Membelenggu Kebebasan PersANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Slamet Pribadi menilai, presiden harus dilindungi harkat dan martabatnya sehingga diperlukan pasal dalam RKUHP terkait penghinaan terhadap presiden.

Dia menilai, harus dibedakan antara mengkritik dan menghina presiden, sehingga ketika mengkritik presiden tidak perlu dipidana.

"Harus ada perlindungan ketika sudah menyerang pribadi Presiden. Jangan sampai presiden jatuh martabatnya karena dihina," ucap dia.

Dia mengatakan, siapa pun boleh mengkritik, mengajukan usulan dan marah pada kebijakan presiden, namun tidak boleh menghina presiden.

3. Media tidak perlu khawatir mengkritik presiden

Dewan Pers: RUU KUHP Membelenggu Kebebasan PersDok. IDN Times

Di lokasi yang sama, pakar hukum pidana Suparji Ahmad mengatakan, tidak ada upaya membungkam demokrasi. Selain itu, pewarta media juga tidak perlu khawatir dipidana akibat mengkritik pemerintah.

Suparji berdalih hal itu sudah ditegaskan di dalam Pasal 218 ayat (2) di mana disebutkan, ketentuan pidana ini tidak berlaku apabila untuk kepentingan umum dan pembelaan diri. Pidana ini juga bersifat aduan, seperti tertuang pada Pasal 220 ayat (1). Kemudian di ayat (2) nya disebutkan bahwa aduan harus dilakukan langsung secara tertulis oleh presiden maupun wakil presiden.

“Di sisi mana kalau media menuangkan berita bisa dipidanakan? Jelas di situ untuk kepentingan umum dan pembelaan diri bukan termasuk harkat dan martabat,” kata Suparji.

Atas dasar itu, Suparji menilai pembahasan RUU KUHP tidak perlu ditunda. Namun, dia sepakat apabila pembahasan dilanjutkan, sambil mengakomodasi pendapat pihak-pihak lain.

“Pertama penundaan sudah berkali-kali dilakukan. Dan dalam rangka apa penundaan, jika masing-masing pihak memaksakan diri tidak akan selesai,” tandasnya.

Baca Juga: ICJR: Penerapan RKUHP Malah Bawa Rakyat Indonesia ke Era Kolonial

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya