Hari Bela Negara, Ini 6 Fakta UU PSDN yang Menuai Kontroversi

Selamat Hari Bela Negara

Jakarta, IDN Times - Hari Bela Negara yang diperingati setiap 19 Desember, penting untuk mengingatkan kembali perundang-undangan tentang bela negara, yakni Undang-Undang No 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN), yang sempat menuai kontroversi pada 2019.  

UU PSDN disahkan DPR RI pada Kamis, 26 September 2019. Undang-undang ini secara garis besar mengatur soal bela negara.

"Apakah pembicaraan tingkat dua terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara dapat disetujui menjadi undang-undang," kata Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto dalam paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada saat pengesahan.

Seluruh anggota DPR yang hadir menyatakan setuju RUU PSDN disetujui menjadi undang-undang. Berikut ini fakta-fakta UU PSDN pada saat pengesahan di DPR, yang belakangan didesak beberapa kalangan untuk ditinjau ulang.

Baca Juga: Kasus Warga Sipil Tewas, Jokowi: Jika Perlu Adukan ke Komnas HAM 

1. Bela negara telah memiliki payung hukum

Hari Bela Negara, Ini 6 Fakta UU PSDN yang Menuai KontroversiANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Menteri Pertahanan (Menhan) yang kala itu masih dijabat Ryamizard Ryacudy, hadir dalam rapat paripurna, dan menyebut dengan pengesahan RUU PSDN program bela negara telah memiliki payung hukum. Dia juga mengucapkan terima kasih kepada DPR.

"Kami sangat mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas segala perhatian dan dukungan dalam menyelesaikan proses pembahasan RUU ini," kata Menhan.

2. UU PSDN diklaim untuk keefektifan sistem pertahanan

Hari Bela Negara, Ini 6 Fakta UU PSDN yang Menuai KontroversiIDN Times/Rangga Erfizal

Sementara, Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyari dalam rapat paripurna saat itu mengatakan, tujuan dibuat UU PSDN adalah untuk pertahanan negara, didasarkan pada beberapa hal yang strategis. Pertama, pengaturan sumber daya nasional untuk pertahanan negara adalah upaya penting dan strategis negara dalam menata keteraturan untuk keefektifan sebuah sistem pertahanan.

Menurut Kharis, pelibatan sumber daya nasional untuk pertahanan negara bertujuan untuk memperbesar dan memperkuat komponen utama. "Ancaman terhadap eksistensi bangsa dan negara di abad sekarang sudah tidak mungkin lagi diletakkan hanya pada fungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI)," ujar dia.

3. Rakyat menjadi kekuatan pendukung

Hari Bela Negara, Ini 6 Fakta UU PSDN yang Menuai KontroversiIDN Times/Gideon Aritonang

Kedua, menurut Kharis, Pasal 30 ayat 2, usaha pertahanan negara dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Polri, sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.

Hal itu, kata dia, menegaskan bahwa postur pertahanan negara terdiri dari komponen utama, cadangan dan pendukung yang harus diatur undang-undang.

4. PSDN untuk pertahanan negara punya landasan formal

Hari Bela Negara, Ini 6 Fakta UU PSDN yang Menuai KontroversiIlustrasi Brimob Polda Kaltim. IDN Times/Surya Aditya

Ketiga, kata Kharis, arah UU PSDN agar sistem pertahanan negara yang bersifat semesta dapat diaplikasikan, dan pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara memiliki landasan legal formal.

"Undang-undang ini harus taat kepada prinsip supremasi sipil dalam bernegara, menghormati hak asasi manusia, dan pada pelaksanaan pengelolaannya dilakukan secara transparan dan akuntabel," ujar dia.

5. Militer bisa mobilisasi sipil untuk bela negara

Hari Bela Negara, Ini 6 Fakta UU PSDN yang Menuai KontroversiANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Keempat, menurut Kharis, sasaran UU PSDN untuk pertahanan negara antara lain sebagai manifestasi dari konsep pertahanan rakyat semesta sebagai bagian dari grand strategi nasional dalam bidang pertahanan.

Selain itu, membangun sistem pertahanan yang adaptif, visioner yang memiliki daya tangkal dan disiapkan secara dini, terarah, serta berkelanjutan oleh negara untuk menghadapi ancaman.

Kelima, lanjut Kharis, materi muatan UU PSDN untuk pertahanan negara meliputi keikutsertaan warga negara dalam usaha bela negara, penataan komponen pendukung, pembentukan komponen cadangan, penguatan komponen utama, serta mobilisasi dan demobilisasi.

"Selain hal-hal tersebut, terdapat hal penting yaitu penambahan sifat 'sukarela' dalam keikutsertaan warga negara menjadi komponen pendukung dan komponen cadangan. Penambahan rumusan persetujuan DPR dalam hal presiden menyatakan mobilisasi dan demobilisasi," tutur dia.

Kharis mengatakan UU PSDN mengatur pula pengawasan usaha bela negara, penataan komponen pendukung, dan pembentukan komponen cadangan yang dilaksanakan komisi di DPR RI yang mempunyai ruang lingkup tugas di bidang pertahanan.

6. Presiden diminta meninjau ulang UU PSDN

Hari Bela Negara, Ini 6 Fakta UU PSDN yang Menuai KontroversiJoko Widodo (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Sejumlah kalangan meminta Presiden Joko Widodo meninjau ulang UU No 23 Tahun 2019. Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf mengatakan UU PSDN menerapkan prinsip conscientious objection dengan setengah hati.

Al menjelaskan resolusi PBB 1998/77 UNHCR, menyebutkan conscientious objection adalah penolakan bersungguh-sungguh oleh seseorang terhadap wajib militer berdasarkan kepercayaannya (believe). Individu yang melakukan penolakan disebut conscientious objector. Tapi prinsip ini tidak diadopsi secara penuh dalam undang-undang ini.

Pasal 28 ayat (2) menyebutkan pendaftaran menjadi komponen cadangan bersifat sukarela, tapi Pasal 35 menyebutkan calon komponen cadangan yang lulus seleksi wajib mengikuti pelatihan dasar kemiliteran selama tiga bulan. Bahkan, dia melihat undang-undang ini mengatur sanksi pidana bagi komponen cadangan yang tidak memenuhi panggilan mobilisasi.

Selain itu, tidak ada mekanisme komplain bagi komponen cadangan yang menolak perintah atau penugasan. Hal ini berpotensi melanggar HAM. “UU PSDN ini mengatur sanksi pidana. Konsekuensinya, hal ini mengabaikan prinsip conscientious objection,” kata Al Araf dalam diskusi secara daring bertema Komponen Cadangan dalam Spektrum Demokrasi dan HAM di Indonesia, seperi dilansir hukumonline.com, Kamis (17/2/2020).

Al juga menyoroti sumber anggaran untuk kegiatan komponen cadangan sebagaimana diatur Pasal 75 UU PSDN karena bisa berasal dari APBN, APBD, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Padahal, Pasal 25 UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Pasal 66 UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur sumber anggaran pertahanan hanya melalui APBN.

“Ini menunjukkan UU No 23 Tahun 2019 mengabaikan penggunaan anggaran yang sifatnya sentralistik. Sumber anggaran komponen cadangan yang tidak sentralistik rentan terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan penyimpangan anggaran,” kritiknya.

Membandingkan dengan praktik komponen cadangan di berbagai negara seperti Filipina, Al melihat peserta komponen cadangan berasal dari kalangan PNS. Berbeda dengan undang-undang ini yang menargetkan anggota komponen cadangan meliputi usia minimal 18 tahun dan maksimal 35 tahun. Anggota komponen cadangan harus dilatih dan tunduk dengan berbagai aturan sampai usia 47 tahun dan ditujukan untuk kepentingan perang dan nonperang.

Al menilai seharusnya terlebih dulu melihat dinamika lingkungan strategis di Indonesia, antara lain potensi munculnya ancaman militer dan nonmiliter. Mengutip survei LIPI 2018, Al menyebut ancaman perang di Indonesia tergolong minim hanya 11 persen. Ancaman paling tinggi yakni kejahatan transnasional (88 persen); terorisme (79 persen); penyebaran ideologi nonpancasila (70 persen); separatis bersenjata (46 persen); dan sengketa perbatasan (44 persen).

Menurut Al, bela negara seharusnya diatur UU tersendiri sebagaimana diatur Pasal 9 UU Pertahanan Negara. Tapi alih-alih menerbitkan UU tentang Bela Negara, pemerintah dan DPR menerbitkan UU No.23 Tahun 2019 yang salah satu isinya mengatur tentang bela negara. Konsep bela negara seharusnya dipahami secara luas, bukan sekedar pendidikan dasar kemiliteran, tapi bentuk dan wujud partisipasi masyarakat dalam membangun negara yang lebih maju dan demokratis.

Untuk itu, Al mengusulkan dilakukan reformulasi bela negara, antara lain menekankan aspek kognitif, sehingga instrumen yang paling tepat adalah melalui pendidikan. Bela negara harus dibangun dalam ruang dialogis dan partisipatif, bukan indoktrinasi seperti masa orde baru. Cakupan aspek bela negara lebih luas dan fokusnya pendidikan kewarganegaraan.

“Dalam aspek pertahanan, bela negara yang dikelola kementerian pertahanan ditujukan untuk pertahanan dalam konteks persiapan perang dalam bentuk komponen cadangan dengan subyek pelatihan para PNS,” ujar dia.

Al mengingatkan sedikitnya empat hal terkait UU No 23 Tahun 2019. Pertama, pembentukan komponen cadangan tanpa pengaturan yang lebih rinci dan benar akan menimbulkan masalah sendiri bagi keamanan, kebebasan, dan kehidupan demokrasi di Indonesia. Kedua, pemerintah tidak perlu terburu-buru untuk melakukan implementasi atas UU No.23 Tahun 2019. “Presiden perlu meninjau ulang penerapan UU No.23 Tahun 2019 ini,” usulnya.

Ketiga, agenda pelatihan dasar kemiliteran di dalam kampus sebagai bagian kegiatan bela negara dan komponen cadangan dinilai tidak urgent dan tidak tepat. Keempat, pemerintah sebaiknya fokus untuk memperkuat dan menata secara benar komponen utama yakni TNI. Penguatan ini diperlukan antara lain untuk alutsista, peningkatan profesionalitas, dan kesejahteraan prajurit.

Sementara, Advokat Publik LBH Jakarta Saleh Al Ghifari juga menyoroti absennya ketentuan yang mengatur pengecualian bagi mereka yang menolak penugasan militer karena dianggap bertentangan dengan kepercayaannya. “Hal ini melanggar Pasal 18 Kovenan Sipol yang melindungi hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama,” kata dia.

Menurutnya, mobilisasi sesuai UU No 23 Tahun 2019 bentuknya hanya penetapan menteri dan penetapan pemerintah yang seharusnya melibatkan pengawasan parlemen (DPR), Mengingat banyak ketentuan dalam UU No 23 Tahun 2009 yang tidak selaras dengan HAM.

Baca Juga: Terima 2.000 Lebih Aduan, Komnas HAM Pede Indonesia Bisa Tegakkan HAM

Topik:

  • Rochmanudin
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya