ICEL Terbitkan Jurnal soal Dampak Buruk UU Ciptaker untuk Lingkungan

ICEL meyakini tak ada penyusun yang memahami UU terdampak

Jakarta, IDN Times -Lembaga Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengeluarkan analisis terbarunya tentang dampak lingkungan dan Sumber Daya Alam (SDA) akibat adanya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang disahkan DPR RI.

Dalam jurnal ICEL berjudul ‘Berbagai Problematika dari UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan dan Sumber Daya Alam’ itu, ada 6 undang-undang yang memiliki dampak pada sektor lingkungan dan SDA.

“Kami sangat meyakini bahwa tidak ada seorang penyusun pun yang benar-benar memahami dan mampu menjelaskan UU Cipta Kerja,” kata jurnal tersebut, Sabtu (10/10/2020).

1. Ada 6 undang-undang yang terdampak

ICEL Terbitkan Jurnal soal Dampak Buruk UU Ciptaker untuk LingkunganDok. Walhi

1. UU. No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau Persetujuan Lingkungan

2. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah dengan UU No. 19 tahun 2014

3. UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

4. UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan

5. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

6. UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan

Baca Juga: Pemerintah: Izin AMDAL dalam UU Cipta Kerja Tidak Dihapus

2. Ada kerumitan dalam membaca beberapa pasal dalam UU Ciptaker

ICEL Terbitkan Jurnal soal Dampak Buruk UU Ciptaker untuk LingkunganANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah

Berkaitan dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, permasalahan utama adalah direduksinya hak masyarakat atas akses dalam mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, baik itu hak atas informasi, hak atas partisipasi, serta hak atas keadilan.

Selain itu, terdapat kesalahan konsep dalam perumusan ‘strict liability’ yang dapat berakibat sulitnya menjalankan konsep tersebut. Penghapusan pengecualian larangan membakar bagi masyarakat peladang tradisional berpotensi terjadinya kriminalisasi dan pemindahan beban pertanggungjawaban.

3. Dihapusnya batas minimal 30 persen kawasan hutan

ICEL Terbitkan Jurnal soal Dampak Buruk UU Ciptaker untuk LingkunganDirektur Eksekutif Walhi Sulsel Muhammad Al Amin menunjukkan peta penggunaan lahan di Kota Makassar. IDN Times/Aan Pranata

Berkaitan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, permasalahan utama adalah dihapusnya batas minimal 30 persen kawasan hutan berdasarkan daerah aliran sungai dan/atau pulau, meski pun fraksi-fraksi menolak saat rapat pembahasan.

Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan juga tidak lagi ‘didasarkan’ melainkan hanya ‘mempertimbangkan’ penelitian terpadu.

Selain itu terdapat pengecualian bagi masyarakat adat yang memanfaatkan hutan di kawasan hutan asalkan telah 5 tahun berturut-turut melakukannya dan terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan.

3. Ada perumusan sanksi yang kurang tepat

ICEL Terbitkan Jurnal soal Dampak Buruk UU Ciptaker untuk LingkunganIlustrasi Hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, permasalahan utama terdapat pada perumusan sanksi administrasi dan pidana yang kurang tepat.

UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, permasalahan utama terdapat pada berbagai ketentuan-ketentuan dasar yang sebelumnya didetailkan dalam Undang-Undang, kemudian dihapus dan diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah.

Di satu sisi, kekuatan PP tentu lebih lemah dari UU karena tidak dapat memberikan sanksi pidana apabila kewajiban yang diatur tidak dipenuhi. Di sisi lain, penilaian atas perubahan tersebut juga tidak dapat dilakukan sekarang karena masih harus menunggu PP tersebut terbit.

Berkaitan dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, permasalahan utama adalah dilemahkannya posisi tata ruang sebagai salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Dalam UU Cipta Kerja, berbagai ketentuan dalam penataan ruang ‘dilonggarkan’ dengan tujuan untuk mengakomodasi kebijakan nasional yang bersifat strategis, yang mana lingkup kebijakan nasional yang bersifat strategis ini juga tidak dijelaskan.

Sementara itu, UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, sekalipun telah mengakomodasi ketentuan tentang otonomi daerah yang sebelumnya dihapus dalam draf RUU Cipta Kerja versi 2009, namun permasalahan utama terdapat pada ketentuan terkait partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan.

Selain itu, pereduksian beberapa kewenangan DPR dan Pemerintah Daerah juga masih ditemukan. Dikhawatirkan hal ini akan berpengaruh kepada semangat transisi energi yang tengah digagas saat ini.

“Keenam kesimpulan ini menandakan bahwa UU Cipta Kerja dalam implementasinya berpotensi melemahkan instrumen perlindungan lingkungan hidup, hak-hak masyarakat dan juga berpotensi memberikan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan hidup,” kutip jurnal ICEL.

Baca Juga: RISET IDEAS: UU Cipta Kerja Lahirkan Ketimpangan Tenaga Kerja 

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya