Ini Lima Kecurangan TSM dalam Berkas Tuntutan Prabowo-Sandiaga ke MK

Pers tak luput dari tuntutan Prabowo-Sandiaga

Jakarta, IDN Times - Pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, telah resmi menggugat hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam berkas tuntutannya, pasangan tersebut menyinggung kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dilakukan oleh incumbent.

“Harus dibatalkan kemenangannya oleh proses persidangan yang terhormat di Mahkamah Konstitusi. Sudah jamak diketahui bahwa potensi penyalahgunaan kekuasaan akan lebih besar terjadi jika pada saat yang sama. presiden yang menjabat juga menjadi calon presiden (incumbent),” mengutip berkas gugatan yang diterima IDN Times.

Dalam gugatan tersebut, Prabowo-Sandiaga membahas modus presiden sebagai petahana yang notabene juga calon presiden telah melakukan abuse of power adalah dengan menggunakan kewenangan yang ada di dalam kekuasaannya termasuk penggunaan fasilitas negara, aparatur negara, anggaran negara, lembaga negara, badan usaha milik negara, guna mendukung program kemenangannya sebagai capres.

“Penyalahgunaan demikian tidak jarang bukan hanya bersifat melanggar hukum, tetapi lebih jauh adalah melanggar etika bernegara.”

Kecurangan yang TSM itu dirangkum dalam lima poin bentuk pelanggaran Pemilu dan kecurangan;

1. Penyalahgunaan Anggaran Belanja Negara dan/Program Kerja Pemerintah
2. Ketidaknetralan Aparatur Negara: Polisi dan Intelijen
3. Penyalahgunaan Birokrasi dan BUMN
4. Pembatasan Kebebasan Media dan Pers
5. Diskriminasi Perlakuan dan Penyalahgunaan Penegakkan Hukum.

Kelima jenis pelanggaran dan kecurangan itu pun dirinci kembali sebanyak 10 halaman dimulai dari halaman 18. Menurut tuntutannya, kecurangan yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif, dalam arti dilakukan oleh aparat struktural, terencana, dan mencakup dan berdampak luas kepada banyak wilayah Indonesia.

Lalu apa saja kecurangan TSM yang dimaksud Prabowo-Sandiaga?

1. Ketidaknetralan Aparatur Negara: Polisi dan Intelijen

Ini Lima Kecurangan TSM dalam Berkas Tuntutan Prabowo-Sandiaga ke MKIDN Times/Arief

Salah satu bukti yang dibeberkan terkait ketidaknetralan polisi adalah adanya pengakuan dari Kapolsek Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, AKP Sulman Azis, yang mengaku diperintahkan untuk menggalang dukungan kepada pasangan calon nomor 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin oleh Kapolres Kabupaten Garut.

Perintah serupa juga diberikan kepada kapolsek lainnya di wilayah Kabupaten Garut. AKP Sulman mengatakan Kapolres Kabupaten Garut juga pernah menggelar rapat dengan para Kapolsek di wilayahnya pada sekitar bulan Februari 2019.

Dalam rapat tersebut, perintah menggalang dukungan diberikan. Perintah pendataan dukungan masyarakat kepada 01 dan 02 pun diberikan. Para Kapolsek diancam akan dimutasikan jika pasion 01 kalah di wilayahnya.

Selain itu, ada dugaan kuat institusi Polri membentuk tim buzzer di media sosial mendukung pasangan calon Joko Widodo - Ma'ruf Amin.

“Hal ini terlihat dari bocoran informasi yang diungkap oleh akun Twitter @Opposite6890 yang mengunggah beberapa video dengan narasi 'polisi membentuk tim buzzer 100 orang per Polres di seluruh Indonesia yang terorganisir dari Polres hingga Mabes'. Disebutkan bahwa akun induk buzzer polisi bernama ‘Alumni Sambhar' yang beralamat di Mabes Polri,” seperti ditulis di laporan gugatan.

Baca Juga: MK: Perbaikan Permohonan Gugatan Pilpres dari BPN akan Jadi Lampiran

2. Ketidaknetralan aparat intelijen

Ini Lima Kecurangan TSM dalam Berkas Tuntutan Prabowo-Sandiaga ke MKIDN Times/Arief

Kali ini, Prabowo-Sandiaga tidak membeberkan kasus yang menunjukkan ketidaknetralan aparat intelejen. Menurutnya bukti itu akan ditunjukkan di persidangan nanti.

“Kami menghadirkan bukti petunjuk ketidaknetralan intelijen melalui pernyataan Presiden 2004-2014, Susilo Bambang Yudhoyono. Tentu saja, pernyataan dari seorang presiden yang perah menjabat dua periode tidak dapat dikesampingkan dan merupakan bukti petunjuk yang didukung dengan banyak bukti lain, yang akan kami sampaikan pada saatnya,” ujar isi gugatan tersebut.

Untuk petunjuk awal, berikut adalah pernyataan SBY terkait ketidaknetralan intelijen.

“Tetapi yang saya sampaikan ini cerita tentang ketidaknetralan elemen atau oknum, dari BIN, Polri, dan TNI itu ada, nyata adanya, ada kejadiannya, bukan hoaks. Sekali lagi ini oknum," kata SBY dalam jumpa pers di Bogor, Jawa Barat, Sabtu, 23 Juni 2018 lalu.

"Selama 10 tahun saya tentu kenal negara, pemerintah, BIN, Polri, dan TNI. Selama 10 tahun itulah doktrin saya, yang saya sampaikan, negara, pemerintah, BIN, Polri, dan TNI netral," ujarnya.

SBY menyatakan, dirinya berani menyampaikan hal ini lantaran memiliki bukti dan mengetahui kejadian tersebut dari laporan orang-orang yang ada di sekitarnya. Untuk itu, SBY memberanikan diri mengungkapkan ini mewakili rakyat yang merasa khawatir untuk bicara lantang.

"Mengapa saya sampaikan saudara-saudaraku, agar BIN, Polri, dan TNI netral. Karena ada dasarnya, ada kejadiannya," ujarnya menambahkan.

3. Penyalahgunaan birokrasi dan BUMN

Ini Lima Kecurangan TSM dalam Berkas Tuntutan Prabowo-Sandiaga ke MKIDN Times/Irfan Fathurohman

Dalam memaparkan bukti penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, tuntutan Prabowo-Sandiaga banyak memakai link berita media daring.

Contohnya, ‘Jokowi mendapat Dukungan Saat Hadiri Silaturahmi Nasional Kepala Desa’. Peristiwa ini terjadi pada saat tahapan sebelum pencalonan, namun sudah melakukan kegiatan kampanye untuk memenangkan paslon 01.

Lainnya, ibu-ibu diajak teriak "Jokowi Presiden" oleh Menteri Perindustrian dalam acara BUMN. Dalam acara penyaluran CSR PT. Surveyor Indonesia, Menteri Perindustrian, Airlangga Hartanto, bilang kepada ibu-ibu yang hadir dalam acara, “.. Kalau saya bilang Jokowi, jawabnya Presiden.”

Peristiwa ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada Tahapan Kampanye.

Di samping menyalahgunakan birokrasi aparatur negara, permintaan Presiden Jokowi juga dinilai menyebabkan TNI-Polri menjadi tidak netral, karena menjadi terjebak, mengampanyekan salah satu pasangan calon presiden, dalam hal ini capres 01 yang juga adalah petahana.

Peristiwa ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu baru masuk tahapan verifikasi administratif, belum masuk pada Tahapan Kampanye. Ketua Bawaslu, Abhan, menyatakan Jokowi tidak masalah meminta TNI-Polri sosialisasikan program pemerintah sebelum berstatus sebagai kontestan Pemilihan Presiden 2019.

4. Pembatasan kebebasan media dan pers

Ini Lima Kecurangan TSM dalam Berkas Tuntutan Prabowo-Sandiaga ke MK

Pers juga tak luput dari perhatian gugatan. Prabowo-Sandiaga menilai media menjadi sub-ordinat dari kekuasaan. Bahkan mereka mengatakan saat ini pemilik media tengah mengalami kondisi yang dilematis di antara peran sebagai pilar keempat demokrasi dan bisnis.

“Yang jelas, dalam Pilpres 2019, pemilik media coba diarahkan untuk memperkuat pasangan Jokowi - Maruf Amin. Jelas ini sangat merugikan publik karena akan mendapatkan informasi yang distorsif.”

“Telah terjadi upaya secara terstruktur, sistematis, dan masif terhadap pers nasional, dengan tujuan, menguasai opini publik. Media kritis dibungkam, sementara media yang pemiliknya berafiliasi kepada kekuasaan, dijadikan media propaganda untuk kepentingan kekuasaan.”

Tindakan-tindakan pemerintah yang dinilai membatasi kebebasan pers serta akses media kepada paslon 02 dapat dilihat dari berbagai bukti yang dilampirkan oleh BPN:

1. Berita Reuni 212 tidak diliput media mainstream. Dalam sebuah peristiwa akbar yang dihadiri oleh jutaan orang seharusnya layak menjadi berita dan layak dikonsumsi publik. Namun ternyata tidak diliput sehingga menimbulkan pertanyaan.

2. Pembatasan tayangan TV One. Ada beberapa acara yang dibatasi sehingga tidak tayang.

3. Pemblokiran situs jurdil oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika atas permintaan Bawaslu. Situs itu diduga telah menyalahgunakan izin yang diberikan dengan mempublikasikan hasil hitung cepat Pilpres 2019.

5. Diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum

Ini Lima Kecurangan TSM dalam Berkas Tuntutan Prabowo-Sandiaga ke MKANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Terakhir, ada indikasi kuat pelanggaran dan kecurangan dalam Pilpres 2019 lainnya adalah adanya diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum yang bersifat tebang pilih ke paslon 02 saja, tapi tumpul ke paslon 01.

"Perbedaan perlakuan penegakan hukum yang demikian, di samping merusak prinsip dasar hukum yang berkeadilan, tetapi juga melanggar HAM, tindakan sewenang-wenang, dan makin menunjukkan aparat penegak hukum yang berpihak dan bekerja untuk membantu pemenangan pasangan calon 01, melalui penjeratan masalah hukum yang mengganggu kerja-kerja dan konsolidasi pemenangan pasangan calon 02," seperti tertulis di gugatan.

Contoh adanya diskriminasi hukum antara lain, menurut lampiran gugatan tersebut; pose dua jari di Acara Gerindra, Anies Baswedan Terancam 3 Tahun Penjara. Ketua Bawaslu Kabupaten Bogor, Irvan Firmansyah, menduga pose dua jari Anies di acara konferensi Gerindra sebagai tindakan pejabat yang menguntungkan salah satu calon dan melanggar Pasal 547 UU Pemilu.

Peristiwa ini, menurut gugatan BPN, terjadi pada masa setelah penetapan calon serta merupakan bentuk perbedaan perlakuan oleh penyelenggara Pemilu dalam menangani dugaan pelanggaran pose jari Luhut Binsar dan Sri Mulyani yang dibilang bukan pelanggaran Pemilu.

Ketua Bawaslu, Abhan Misbah, menyatakan pose jari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bukan merupakan pelanggaran Pemilu setelah melakukan pembahasan dengan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Kejaksaan RI, dan Klarifikasi ke KPU.

Peristiwa ini terjadi pada masa setelah penetapan calon serta merupakan bentuk perbedaan perlakuan oleh penyelenggara Pemilu dalam menangani dugaan pelanggaran di antara kedua kubu.

Baca Juga: Bawaslu Tolak 2 dari 9 Laporan Dugaan Pelanggaran Pemilu

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya