Komnas Perempuan Desak DPR Segera Masukkan RUU PKS ke Prolegnas 2021

Korban kekerasan seksual butuh kepastian hukum

Jakarta, IDN Times - Tak seperti Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang dibahas kilat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) justru tak kunjung ada kejelasan setelah dicabut dari Program Legislasi Nasional 2020.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mendesak DPR RI untuk segera menetapkan RUU PKS sebagai RUU Prolegnas Prioritas 2021, khususnya pada Rapat Paripurna DPR mendatang.

“Kami juga mendukung penuh dan memberikan apresiasi yang tinggi kepada para anggota DPR RI dan fraksi yang telah menjadi unsur pengusul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” kata Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad lewat keterangan tertulisnya, Selasa (6/10/2029).

Baca Juga: Prolegnas 2020: RUU PKS Dicabut, RUU HIP Melenggang

1. RUU PKS dinanti korban kekerasan seksual

Komnas Perempuan Desak DPR Segera Masukkan RUU PKS ke Prolegnas 2021Aksi Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual di Depan Mapolda Jatim, Rabu (15/7/2020). Dok.IDN Times/Istimewa

Komnas Perempuan berharap, RUU PKS dapat menempuh proses selanjutnya yaitu harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) pada 2021 mendatang, pembahasan di Alat Kelengkapan DPR yang ditunjuk oleh Badan Musyawarah DPR, hingga pengesahan di paripurna DPR.

Menurut Bahrul, pembahasan dan pengesahan RUU PKS sebagai RUU pro korban kekerasan seksual telah lama dinanti oleh masyarakat Indonesia, khususnya korban kekerasan seksual, keluarga, dan pendamping korban.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan memperlihatkan bahwa sepanjang 2011 hingga 2019, terdapat 46.698 laporan kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal dan ranah publik.

2. Angka kekerasan terhadap perempuan terus meroket

Komnas Perempuan Desak DPR Segera Masukkan RUU PKS ke Prolegnas 2021Aksi Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual di Depan Mapolda Jatim, Rabu (15/7/2020). Dok.IDN Times/Istimewa

Lebih lanjut Bahrul menjelaskan, tingginya kekerasan terhadap perempuan tampak pula dari hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016, yang dilaksanakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).

Hasil survei menunjukkan, 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya, dan sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15–64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan terakhir.

“Himpunan data ini merupakan fenomena gunung es dari situasi yang sebenarnya. Peningkatan kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya, menunjukkan minimnya perlindungan dan keamanan terhadap perempuan,” ujar Bahrul.

3. RUU PKS didukung 5 fraksi

Komnas Perempuan Desak DPR Segera Masukkan RUU PKS ke Prolegnas 2021Aksi Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual di Depan Mapolda Jatim, Rabu (15/7/2020). Dok.IDN Times/Istimewa

Sayangnya, hingga kini RUU PKS belum menemui titik terang dalam kesepakatan. Dari 9 fraksi di parlemen, hanya 5 yang tegas mendukung RUU PKS untuk segera masuk dalam Prolegnas 2021 dan menjadi payung hukum untuk korban kekerasan seksual.

Lima fraksi itu adalah Golkar, NasDem, PDI Perjuangan, PKB, dan Gerindra.

“Kami tetap mendukung untuk dibahas RUU PKS ini, dalam masa sekarang atau pun yang berikutnya. Karena kami merasa bahwa RUU PKS cukup penting bagi kami yang perempuan ini, dan jika RUU ini tidak berdiri sendiri, apakah nanti dikaitkan di mana begitu. Artinya, yang penting bahwa substansinya ini akan dimasukkan kepada RUU yang akan datang, utamanya semuanya yang ada di RUU PKS,” kata anggota Baleg Fraksi Partai Golkar Nurul Arifin dalam Rapat Kerja Evaluasi Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020 di Kompleks DPR, Jakarta, Kamis (2/7/2020).

4. PKS masih menolak RUU PKS

Komnas Perempuan Desak DPR Segera Masukkan RUU PKS ke Prolegnas 2021Ahmad Syaikhu ditunjuk jadi Presiden PKS periode 2020-2025 (Dok. Partai Keadilan Sejahtera)

Partai yang tegas menolak RUU PKS ini hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hal tersebut karena beberapa masukan PKS belum terakomodir.

“Kita butuh undang-undang yang tegas dan komprehensif yang melandaskan pada nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya bangsa bukan dengan peraturan yang ambigu dan dipersepsi kuat berangkat dari paham/ideologi liberal-sekuler, yang sejatinya bertentangan dengan karakter dan jati diri bangsa Indonesia itu sendiri," kata Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini dikutip dari laman resmi pks.id, Jumat (18/9/2020).

PKS ingin fokus RUU tidak melebar ke isu-isu di luar kejahatan seksual. Sehingga, lanjut dia, fokus hanya pada tindak kejahatan seksual, yaitu pemerkosaan, penyiksaan seksual, penyimpangan perilaku seksual, pelibatan anak dalam tindakan seksual, dan inses.

Pembatasan tersebut, lanjut Jazuli, sekaligus memperjelas jenis tindak pidana dalam RUU sehingga tidak membuka tafsir bebas sebagaimana yang dikritik masyarakat luas saat ini.

Mempertegas sikap PKS, anggota Baleg F-PKS, Ledia Hanifa Amaliah mengatakan, RUU PKS sudah tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional DPR, sehingga belum ada pembahasan lanjutan RUU PKS di fraksinya.

“Saat ini posisi RUU tersebut sudah tidak masuk dalam prioritas 2020. Sehingga belum ada pembahasan draf,” kata Ledia kepada IDN Times, Jumat (18/9/2020).

"Karena ini bukan carry over maka harus ada draf yang diajukan. Saat ini kan belum ada drafnya, yang mau disetujui atau ditolak yang mana?" sambungnya.

Baca Juga: Berkaca Kasus Fetish Gilang, PDIP dan LPSK Desak Pengesahan RUU PKS

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya