KPK: Korupsi Dana Bencana COVID-19 akan Dijatuhi Pidana Mati!
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengatakan, pihaknya telah menyiapkan langkah-langkah terhadap pengawasan anggaran COVID-19 yang dikucurkan pemerintah sebesar Rp405,1 triliun.
Salah satu yang dipersiapkan KPK adalah membentuk satuan tugas gabungan untuk menindak korupsi anggaran bencana.
“Sekaligus melakukan tindakan tegas terhadap korupsi. Korupsi dana bencana tak lepas dari pidana mati,” kata Firli dalam rapat kerja bersama Komisi lll DPR RI yang disiarkan langsung TV Parlemen, Rabu (29/4).
1. KPK fokus pada program kesehatan dan social safety net
KPK, kata Firli, akan fokus pada program kesehatan dan social safety net. Karena menurutnya, kedua fokus itu menyangkut hak masyarakat. KPK tidak hanya akan memonitor tapi juga mengelola dan mengoordinasi anggaran APBD yang telah dikucurkan.
Dalam hal ini KPK telah bekerja sama dengan Menteri Dalam Negeri yang didapatkan total anggaran APBD telah direalokasi Rp56,57 triliun oleh 34 provinsi dan 542 kabupaten/kota.
Anggaran tersebut tersebar untuk penanganan kesehatan Rp24 triliun, social safety net Rp25,3 triliun, penanganan dampak ekonomi Rp7,1 triliun.
“Ini juga tidak lepas dari monitoring termasuk juga kami melakukan kerja sama dengan aparat Pemda, khususnya aparatur pengawas internal pemerintah,” kata Firli.
Baca Juga: DPRD Jakarta Realokasi Anggaran Rp256,5 Miliar untuk Tangani COVID-19
2. KPK melibatkan Pemda untuk pencegahan korupsi
Dari sebaran tadi, KPK telah mencatat lima provinsi yang merealokasi anggaran terbesar untuk virus corona. Di antaranya, DKI Jakarta Rp10 triliun, Jabar Rp8 triliun, Jatim Rp2,3 triliun, Jateng Rp2,1 triliun, dan Aceh Rp1,7 triliun.
Editor’s picks
“Inilah yang kami lakukan pengawasan bekerja sama dengan Pemda dan mengedepankan kedeputian pencegahan,” ucapnya.
Sebab, KPK telah memetakan titik rawan korupsi pada anggaran yang begitu besar baik yang bersumber dari APBN sebesar Rp405,1 triliun mau pun APBD Rp56,7 triliun.
“Pertama, rawan korupsi adalah di tempat pengadaan barang dan jasa. Kedua, sumbangan pihak ketiga. Ketiga, pengalokasian anggaran baik itu APBN mau pun APBD baik itu alokasi sumber daya maupun belanja dan penganggaran. Terakhir adalah pendistribusian program bantuan sosial dalam rangka social safety net,” paparnya.
3. Bansos jadi titik fokus pengawasan KPK
Oleh karena itu KPK melakukan kegiatan tentang pengadaan barang dan jasa, mengawasi Bansos, mengawasi penganggaran, dan mengawasi bantuan pihak ketiga.
“Ada kerawanan-kerawanan lebih khusus lagi terkait pelaksanaan bantuan sosial karena ini menjadi hak rakyat dia harus sampai. Tepat guna, tepat jumlah, tepat sasaran,” ujar dia.
“Karena itu bisa saja terjadi tiga kategori penyimpangan: Pertama, bantuan sosialnya atau sumbangannya menjadi fiktif. Kedua, ada ekslusen error, kesalahannya. Ada inklusen error dan ada juga tentang kualitas dan kuantitas yang berkurang, jadi bisa saja itu terjadi,” imbuhnya.
4. KPK tempatkan lima anggotanya di Gugus Tugas
Selain itu, di titik pengadaan alat kesehatan baik di pusat mau pun di daerah itu juga tak terlepas dari pengawasan KPK. Bahkan KPK, kata Firli, telah melakukan penugasan personel KPK untuk melakukan monitoring pencegahan dan memastikan bahwa anggaran itu berjalan.
“Ada 5 orang anggota kita yang kita tempatkan di Gugus Tugas di BNPB. Di samping itu kita juga memanfaatkan 9 korwil kita dengan jumlah anggota 54 orang untuk melakukan kegiatan monitoring pendampingan terhadap pelaksanaan penggunaan anggaran di wilayah,” kata Firli.
Baca Juga: Pimpinan KPK Kembali Tegaskan Tak Perlu Gaduh Saat Tangkap Koruptor