Lika-Liku Transformasi RUU HIP Menjadi BPIP: Komunisme Bangkit Lagi?

Kontroversi RUU HIP hingga menjadi RUU BPIP

Jakarta, IDN Times - Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang merupakan RUU inisiatif DPR mengalami proses berlika-liku. Beberapa kalangan menolak dengan dua tuduhan.

Pertama, isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) lantaran konsideran RUU HIP tak mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Kedua, isu mengubah ideologi Pancasila menjadi ekasila dan trisila melalui Pasal 7 ayat 2 dan 3 RUU HIP.

Dua isu ini jadi bumerang bagi fraksi-fraksi di DPR yang ikut mendukung dan menyetujui RUU HIP menjadi undang-undang. Lalu, bagaimana perjalanan RUU ini yang kini bertransformasi menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)?

1. Baleg menggelar enam kali rapat RUU HIP, dua di antaranya tertutup

Lika-Liku Transformasi RUU HIP Menjadi BPIP: Komunisme Bangkit Lagi?Badan Legislasi Rapat Kerja dengan Menkumham dan PPUU DPD RI terkait dengan Penyusunan Prolegnas RUU Tahun 2020-2024 dan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020 di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (5/12). (IDN Times/Irfan Fathurohman)

DPR RI melalui Badan Legislasi mulai memproses RUU HIP sejak 11 Februari 2020. Rapat dipimpin Wakil Ketua Baleg Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka, dan diikuti 37 anggota. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) itu mengundang Mantan Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, serta Deputi Bidang Pengkajian dan Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Profesor FX Adji Samekto.

Berdasarkan laporan singkat hasil rapat di laman dpr.go.id, Jimly mendukung hadirnya RUU HIP, namun dengan beberapa catatan. Menurut dia, pembinaan HIP sangat mendesak, salah satunya dalam upaya meningkatkan status landasan hukum kelembagaan BPIP dari yang semula peraturan presiden ditingkatkan menjadi undang-undang.

Menurut Jimly, yang paling utama adalah memiliki kepentingan konstitusional yang sama dengan lembaga-lembaga yang diamanatkan UUD, karena Pancasila adalah filosofi dasar negara yang dalam kehidupan kebangsaan saat ini sedang menghadapi berbagai tantangan.

Karena itu, Jimly mengusulkan perubahan atas Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menjadi Dewan Nasional Pembinaan Ideologi Pancasila (DN-PIP) dengan susunan organisasi terdiri atas Badan Pengarah dan Badan Pelaksana.

“Kiranya yang perlu diatur dalam RUU ini, pertama yaitu terkait substansi nilainya, sebaiknya jangan terlalu konkret dan tidak detail. Kedua adalah mekanisme kerjanya, bagaimana nilai-nilai substansi Pancasila dibumikan,” kata dia dalam catatan RDPU.

Senada dengan Jimly, Adji Samekto juga menyambut positif RUU yang diusulkan pertama kali oleh PDI Perjuangan itu. Namun, ia meminta agar RUU HIP tidak mengatur terlalu detail dan konkret tentang ideologi Pancasila.

Rapat berlanjut pada 12 Februari 2020 dengan agenda paparan tim ahli atas draf awal RUU HIP, dengan dihadiri 40 anggota. Rapat memberikan koreksi agar diperbaiki struktur draf RUU HIP.

Catatan lainnya, RUU HIP yang membentuk badan atau lembaga nantinya memiliki kewenangan yang absolut. Sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi dapat mensosialisasikan emapat pilar.

Pada 8 April 2020, Baleg melanjutkan pembahasan yang dihadiri 32 anggota secara virtual. Dalam paparannya, tim ahli mengubah struktur draf awal RUU HIP menjadi sembilan bab dan 55 pasal.

Rapat memberi catatan agar menambahkan poin-poin di dalam ketentuan umum seperti pengertian ideologi dan yang lainnya, agar masyarakat paham maksud dari RUU HIP, dan tidak ada kesalahpahaman dari masyarakat.

Berlanjut pada 13 April 2020, Baleg menggelar rapat tertutup dengan agenda melanjutkan penyusunan RUU tentang Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila yang dihadiri 32 orang secara virtual. Kemudian, pada 20 April 2020, Baleg juga menggelar rapat tertutup, kali ini hanya dihadiri 16 orang secara virtual.

2. Tujuh fraksi menyetujui dan mendukung RUU HIP jadi undang-undang

Lika-Liku Transformasi RUU HIP Menjadi BPIP: Komunisme Bangkit Lagi?Kesimpulan pada laporan singkat rapat Baleg RUU HIP (22/6). (dpr.go.id)

Rapat Baleg kembali digelar secara terbuka pada 22 April 2020, dengan agenda pengambilan keputusan dan penyusunan RUU HIP yang dihadiri 41 orang, secara virtual.

Dalam rapat tersebut, tujuh fraksi menyatakan setuju RUU HIP untuk diundang-undangkan. Tujuh fraksi yang menyetujui itu kecuali Fraksi Demokrat, sedangkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan menyetujui, setelah dilakukan penyempurnaan RUU HIP.

“Berdasarkan pendapat fraksi-fraksi (F-PDIP, F-Golkar, F-Gerindra, F-Nasdem, F-PKB, F-PAN, dan F-PPP) menerima hasil kerja Panja dan menyetujui RUU tentang Haluan Ideologi Pancasila, untuk kemudian diproses lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” demikian bunyi laporan singkat rapat Baleg.

Fraksi PKS yang diwakili Bukhori Yusuf akan menyetujui RUU HIP, setelah disempurnakan dengan menambahkan beberapa masukan dari PKS. Masukan tersebut antara lain RUU HIP harus mendapat penerimaan yang luas dari masyarakat, dan benar-benar memenuhi aspirasi dari seluruh komponen bangsa.

Selain itu, di dalam draf RUU HIP tidak boleh dipertentangkan antara prinsip ketuhanan dan prinsip kebangsaan, atau hanya condong ke salah satunya.

PKS mengusulkan agar RUU HIP memasukkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan Larangan Setiap kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, sebagai bagian dari ketentuan mengingat. Sebab TAP MPRS tersebut belum pernah dicabut dan masih berlaku sampai saat ini.

Selain itu, PKS juga meminta agar mencabut dan menghapuskan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 7 ayat (2) terkait dengan Ekasila. Kemudian, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) idealnya bukan pada prinsip efesiensi keadilan, namun pada prinsip keadilan sosial.

Pasal 20 ayat (2) juga, menurut PKS, seharusnya ditujukan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sedangkan, Fraksi PKB, PAN, dan PPP berdasarkan laporan rapat tersebut menyetujui RUU HIP, namun dengan catatan yang sama, yaitu memasukkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 sebagai konsideran. Saat itu, Fraksi PKB diwakili Mohammad Toha, PAN Ali Taher, dan PPP diwakili Syamsurizal.

Sementara, Fraksi PDIP yang diwakili Arteria Dahlan, Golkar Christina Aryani, dan NasDem Taufik Basari menyetujui RUU HIP tanpa catatan.

“Menyetujui RUU HIP untuk dapat dibahas pada tingkat selanjutnya,” tulis dokumen tersebut.

Berbeda dengan sikap fraksi lainnya, Demokrat sejak awal telah menarik diri dari Panja RUU HIP, dengan alasan mendesak DPR dan pemerintah agar fokus menangani COVID-19.

Fraksi Gerindra yang ikut menyetujui RUU HIP memberi satu catatan, yakni agar RUU ini tidak untuk menguatkan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), melainkan sebagai pelaksana.

Atas restu tujuh fraksi di Baleg, RUU HIP lalu dibawa ke rapat paripurna DPR pada 12 Mei 2020, untuk disetujui menjadi RUU usulan DPR. Rapat paripurna pun menyetujui RUU HIP menjadi RUU usulan DPR yang selanjutnya diserahkan ke pemerintah.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, RUU HIP yang masuk dalam Prolegnas 2020 ini diterima pemerintah pada 13 Juni 2020. Namun, Presiden Joko "Jokowi" Widodo belum mengirim surat presiden untuk membahasnya dalam proses legislasi.

“Nanti jika saat tahapan sudah sampai pada pembahasan, pemerintah akan mengusulkan pencantuman TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 dalam konsideran dengan payung ‘mengingat: TAP MPR No. I/MPR/1966’. Di dalam Tap MPR No. I/MPR/2003 itu ditegaskan bahwa Tap MPR No. XXV/1966 terus berlaku,” ujar Mahfud MD dalam webinar bersama tokoh Madura lintas provinsi pada Sabtu 13 Juli 2020.

Mahfud mengatakan, pemerintah akan menolak bila ada usulan meringkas Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila. Bagi pemerintah, Pancasila adalah lima sila yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dalam satu kesatuan paham.

“Kelima sila tersebut tidak bisa dijadikan satu atau dua atau tiga tetapi dimaknai dalam satu kesatuan yang bisa dinarasikan dgn istilah ‘satu tarikan nafas’,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

Baca Juga: RUU HIP Diganti Jadi RUU BPIP, DPR: Sudah Tak Ada Pasal Kontroversial

3. Perdebatan Fraksi PKS dan PDIP hingga isu pembangkitan PKI

Lika-Liku Transformasi RUU HIP Menjadi BPIP: Komunisme Bangkit Lagi?Suasana Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (16/7/2020) (Dok. IDN Times/Tangkap Layar TV Parlemen)

Ketua DPP PKS Aboe Bakar Al-Habsyi dalam rapat paripurna ke-17 masa persidangan IV tahun sidang 2019-2020 pada Kamis 18 Juli lalu sempat menjadi sorotan. Ia menginterupsi agar Rancangan RUU HIP segera dibatalkan.

“Pemerintah sudah menyatakan menunda pembahasan RUU ini, saya bangga dan saya bahagia, tentunya kita harus bijak menyikapi ini. Alangkah lebih baik batalkan saja RUU ini, kita sampaikan ke publik rancangan ini akan di-drop, tentu akan membuat masyarakat adem, tenang, nyaman, dan aman,” kata Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan DPR itu.

Aboe Bakar menjelaskan, RUU HIP semestinya sudah dibatalkan, karena memunculkan problematika. Bukan hanya sekadar perdebatan, tetapi juga sudah terjadi penolakan.

“Jika masyarakat mayoritas sudah melakukan penoalakan, jika MUI (Majelis Ulama Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama), Persis (Persatuan Islam), lembaga pemuda menolak, veteran TNI menolak. Artinya suara publik sudah muncul semuanya, lantas kita mau apa? Jangan sampai publik melihat kita di sini tak mewakili suara mereka,” ujar dia.

Mendengar interupsi tersebut, PDIP selaku pengusul RUU HIP pun merespons. Anggota Fraksi PDIP Aria Bima mengaku heran dan menganggap lucu pendapat Aboe Bakar yang baru disampaikan dalam rapat paripurna soal penolakan RUU HIP.

Mestinya, menurut Ketua Komisi Vl itu, PKS sejak awal menolak tanpa memberikan catatan hingga akhirnya menjadi RUU inisiatif DPR. “Setahu saya dibawa ke rapur (rapat paripurna) yang semuanya juga sudah memberikan dukungan, termasuk fraksi Pak Aboe dengan catatannya,” kata Aria.

“Ini kan lucu, dari proses di Baleg pandangan dari masing-masing poksinya sudah memberikan pandangan setuju, dibawa ke rapur di rapur saya ikut hadir di sini juga tidak ada yang memberikan catatan,” sambung dia.

Aria menyayangkan sikap F-PKS yang seolah lepas tangan di hadapan publik, dan terkesan menyalahkan beberapa orang atau partai soal RUU HIP. Harusnya sejak awal PKS sudah menolak, sebelum draf RUU HIP diserahkan ke pemerintah.

“Jangan begitu kalau itu sudah inisiatif DPR, kalau toh akan kita anulir kita bahas kembali, saya mohon pada pimpinan untuk kembalikan kepada proses jalannya persidangan, bagaimana undang-undang perlu dimatangkan kembali, perlu dicermati lagi atau dibahas dengan mengundang semua yang keberatan dalam RDP (rapat dengar pendapat) oleh Panja (panitia kerja),” ujar dia.

Sementara, pada kesempatan lain, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo memastikan tak ada ruang bagi ajaran komunis maupun Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali hidup di bumi ibu pertiwi. Khusunya melalui RUU HIP yang sedang dibahas DPR RI.

Menurut politikus Partai Golkar itu, Indonesia masih memiliki Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, serta larangan setiap kegiatan untuk mengembangkan komunisme atau marxisme.

"Walau pun di dalamnya belum mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, bukan berarti menafikan keberadaan TAP tersebut. Baik TAP MPRS maupun RUU HIP, merupakan satu kesatuan hukum yang tak terpisahkan, sebagai pegangan bangsa Indonesia dalam menumbuhkembangkan ideologi Pancasila," ujar pria yang akrab disapa Bamsoet, di Jakarta, Jumat 29 Mei 2020.

Bamsoet mengingatkan, TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itu, tanpa disebutkan dalam RUU HIP, organisasi terlarang ini dan ajaran komunismenya tak mungkin lagi dibangkitkan kembali, dengan cara apapun. Sidang Paripurna MPR RI Tahun 2003, MPR RI telah mengeluarkan TAP MPR Nomor I Tahun 2003, yang secara populer disebut dengan 'TAP Sapujagat'.

Disebut demikian, kata Bamsoet, karena TAP MPR Nomor I Tahun 2003 ini berisi Peninjauan Tehadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI sejak 1960 sampai 2002. Dan setelah keluarnya TAP MPR No I Tahun 2003 ini, MPR sudah tidak lagi punya wewenang membuat TAP MPR yang bersifat mengatur keluar (regeling).

Dari total 139 TAP MPRS/MPR yang pernah keluarkan, kata dia, semuanya dikelompokkan menjadi enam kategori dengan rincian sebagai berikut: Pertama, sebanyak delapan TAP MPR dinyatakan tidak berlaku. Kedua, tiga TAP dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan tertentu.

Ketiga, delapan TAP dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu. Keempat, 11 TAP dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang. Kelima, sebanyak lima TAP dinyatakan masih berlaku sampai ditetapkan Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR hasil pemilu 2004.

Kelima, sebanyak 104 TAP MPR dinyatakan dicabut maupun telah selesai dilaksanakan. Oleh karena MPR saat ini sudah tidak lagi memiliki wewenang membuat ataupun mencabut TAP MPR, maka secara yuridis ketatanegaraan pelarangan PKI dan ajaran komunisme dalam TAP MPRS XXV Tahun 1966 telah bersifat permanen.

“Jadi, TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 itu masuk dalam kelompok kedua dan dinyatakan masih berlaku. Sehingga kita tak perlu khawatir PKI bakal bangkit lagi,’’ ujar Bamsoet.

Bamsoet juga menyebutkan, ada regulasi lain yang juga mengatur soal itu, yakni Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999, tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan kejahatan Terhadap Keamanan Negara.

Undang-undang ini memuat larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme atau Marxisme-Leninisme, dengan ancaman pidana penjara 12 tahun sampai 20 tahun penjara.

“Dengan demikian, tidak ada ruang bagi PKI untuk kembali bangkit kembali,” ujar Bamsoet.

Kepala Badan Bela Negara Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI/Polri (FKPPI) dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menilai, luka bangsa Indonesia terhadap kekejaman PKI sulit dilupakan.

Begitu pun dengan ajaran komunisme yang tak sejalan dengan jati diri masyarakat Indonesia yang berketuhanan, berkeadilan, dan berjiwa gotong-royong. Karena itu, kata dia, siapa pun yang mencoba membangkitkan ideologi komunisme di Indonesia, ibarat membangunkan mayat dari dalam kubur.

"Kita memahami jika ada pihak yang khawatir. Namun, tidak perlu khawatir. TNI/Polri, ormas keagamaan seperti NU, Muhamadiyah, dan lain-lain. Ormas kepemudaan seperti Pemuda Pancasila, FKPPI, Kelompok Cipayung, dan lain-lain pasti akan bersatu menghadang bangkitnya partai maupun paham komunisme,” ujar Bamsoet.

Kendati, mantan Ketua DPR RI ini mengingatkkan, sebagai bangsa, Indonesia harus tetap waspada. Isu kebangkitan komunisme yang merebak pun perlu dicermati. Namun tidak perlu gelisah, apalagi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang tak senang melihat bangsa Indonesia hidup tenang.

"Karenanya sekali lagi, masyarakat tak perlu terlalu risau berlebihan terhadap isu kebangkitan komunisme. Aparat keamanan, umat Islam dan umat beragama lainnya, termasuk ormas-ormas yang menentang PKI selama ini seperti NU, Muhammadiah, Pemuda Pancasila, FKPPI, dan lainnya pasti akan bersatu jika komunisme kembali bangkit. Kita perlu waspada, namun tidak perlu panik," kata Bamsoet.

4. Ormas Islam ramai-ramai tolak RUU HIP

Lika-Liku Transformasi RUU HIP Menjadi BPIP: Komunisme Bangkit Lagi?Infografis RUU BPIP (IDN Times/Arief Rahmat)

Dalam titik perjalanan itulah, RUU HIP mulai ramai ditolak dari berbagai organisasi masyarakat Islam. Misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas menilai draf RUU HIP bermuatan sekuler dan ateistis, yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

"Saya lihat kawan-kawan dari MUI provinsi sangat risau sekali tentang RUU HIP ini. Setelah saya baca RUU ini, tampak oleh kita sangat sekuler dan sangat berbau ateistis," kata Abbas dikutip Antara, Selasa 20 Juli 2020.

Ia menegaskan konten draf RUU HIP tersebut justru tidak sesuai nilai-nilai Pancasila. Jika tetap dibahas hingga disahkan menjadi undang-undang, itu akan menyebabkan kehancuran bagi bangsa Indonesia.

"Kalau ada prediksi dari para pakar, Indonesia akan hancur lebur pada 2030, salah satu penyebabnya adalah RUU Haluan Ideologi Pancasila ini," kata ulama Muhammadiyah itu.

Senada dengan MUI, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, RUU HIP yang sedang dibahas memiliki materi yang bertentangan dengan UUD 1945 dan beberapa regulasi lain.

Dia mengatakan, Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu mendesak dan sebaiknya tak dilanjutkan pembahasannya menjadi undang-undang. Tim PP Muhammadiyah sudah mengkaji rancangan undang-undang tersebut.

Secara hukum kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai negara, kata Abdul Mu'ti, sejatinya sudah sangat kuat, sehingga RUU HIP belum perlu.

"Landasan perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur dalam TAP MPRS No XX/1966 juncto TAP MPR No V/1973, TAP MPR No IX/1978 dan TAP MPR No III/2000 beserta beberapa regulasi turunan turunannya sudah sangat memadai," kata dia.

Abdul Mu'ti mengatakan RUU HIP juga memiliki persoalan serius dengan tidak mencantumkan TAP MPRS No XXV/1966, sebagai salah satu pertimbangan draf undang-undang.

Dalam ketetapan MPRS itu, kata Abdul Mu'ti, menimbang secara jelas bahwa paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakikatnya bertentangan dengan Pancasila.

Penolakan juga datang dari Front Pembela Islam (FPI) dengan bentuk unjuk rasa di depan Gedung DPR RI pada Rabu 24 Juni, yang berakhir dengan pembakaran bendera PDIP sebagai partai pengusul RUU HIP.

Merespons penolakan RUU HIP oleh berbagai kalangan masyarakat, akhirnya pemerintah memutuskan menunda pembahasan RUU HIP. Hal tersebut disampaikan secara lisan oleh Mahfud MD pada 16 Juni 2020. Kemudian, secara resmi pemerintah menyurati DPR soal penundaan pembahasan RUU tersebut.

5. Rieke Diah Pitaloka dicopot PDIP dari Baleg

Lika-Liku Transformasi RUU HIP Menjadi BPIP: Komunisme Bangkit Lagi?Anggota DPR RI Rieke Diah Pitaloka, IDN Times/Irfan Fathurohman

Di tengah polemik pembahasan RUU HIP, Ketua Panja RUU HIP Rieke Diah Pitaloka justru dicopot dari Baleg oleh PDIP pada 9 Juli 2020, dan digantikan dengan Mantan Kapolda Sumatra Utara dan Aceh yang saat ini menjadi anggota Komisi III DPR RI, Muhammad Nurdin.

Ketua Fraksi PDIP Utut Adianto beralasan, pergantian Rieke untuk memaksimalkan kinerja Baleg dalam meloloskan RUU Omnibus Law dan RUU HIP.

“Kita tahu bahwa dalam waktu dekat, Baleg akan penuh dengan tugas-tugas berat. RUU Omnibus Law sudah mendekati titik yang krusial dan juga RUU Haluan Ideologi Pancasila," kata dia.

Utut menjelaskan, keputusan rotasi bukan karena Rieke tak mampu di Baleg untuk mengawal RUU Omnibus Law dan RUU HIP. Namun, PDIP perlu menerjunkan kader terbaiknya untuk menjawab tantangan ke depan yang semakin berat di Baleg.

"Apakah itu berarti Mbak Rieke dianggap tidak mampu? Tidak. Namun frekuensi personel kami yang ditingkatkan secara intermental terkait dengan bidangnya," ujar dia.

6. Pemerintah mengusulkan RUU BPIP untuk mengganti RUU HIP

Lika-Liku Transformasi RUU HIP Menjadi BPIP: Komunisme Bangkit Lagi?IDN Times/Arief Rahmat

Pada 16 Juli 2020, pemerintah dan DPR akhirnya resmi menunda pembahasan RUU HIP, dan menggantinya dengan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP). Tak hanya mengganti nama, pemerintah juga telah menghapus pasal-pasal kontroversial di dalam RUU HIP yang tujuannya untuk memperkuat BPIP.

Pernyataan resmi pemerintah disampaikan melalui surat presiden dan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU BPIP. Pemerintah diwakili Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menpan-RB Tjahjo Kumolo, Menkumham Yasonna Laoly dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

Penyampaian sikap pemerintah itu diterima langsung oleh Ketua DPR RI Puan Maharani. Puan menyebutkan, RUU BPIP berbeda dengan substansi RUU HIP. Ia memastikan tak ada lagi pasal-pasal kontroversial seperti Trisila dan Ekasila dalam RUU HIP.

“Substansi pasal-pasal BPIP hanya memuat ketentaun tentang tugas, fungsi, wewenang dan struktur kelembagaan BPIP. Sementara, pasal-pasal kontroversial seperti penafsiran filsafat dan sejarah Pancasila dan lain-lain sudah tidak ada lagi,” kata politikus PDIP itu.

Konsep yang disampaikan pemerintah berisi substansi RUU BPIP yang terdiri dari tujuh bab dan 17 pasal yang berbeda dengan RUU HIP, yang berisi 10 bab dan 60 pasal. Dalam konsiderans (pertimbangan) juga sudah terdapat TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1996, tentang Pelarangan PKI dan ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme.

“DPR dan pemerintah sudah sepakat, konsep RUU BPIP ini tidak akan segera dibahas, tetapi akan lebih dahulu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk ikut mempelajari, memberi saran, masukan, kritik terhadap RUU BPIP itu,” kata Puan.

7. RUU HIP diminta dicabut dari Prolegnas 2020

Lika-Liku Transformasi RUU HIP Menjadi BPIP: Komunisme Bangkit Lagi?Perbedaan RUU HIP dengan RUU BPIP (IDN Times/Arief Rahmat)

Jimly Asshiddiqie menilai, ada yang keliru dengan sikap pemerintah yang merespons RUU HIP dengan mengubah judul menjadi RUU BPIP.

“Sekarang ini kan tidak jelas, judul yang diajukan sudah berubah tapi RUU yang diputuskan masih namanya HIP. Berarti masih belum ada penundaan ada pembahasan berubah dalam pembahasan,” kata Jimly saat webinar bertema Habis RUU HIP, Terbitlah RUU BPIP yang digelar Populi Center dan Smart FM Network, Sabtu 18 Juli 2020.

Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu menjelaskan, komunikasi politik yang ditampakkan pemerintah sangat buruk, dengan mengirimkan lima menterinya ke DPR sebagai bentuk sikap merespons RUU HIP yang kontroversial.

Menurut mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu, cara tersebut tidak tepat dan malah menimbulkan permasalahan baru yang tak pernah merujuk masyarakat untuk berdamai. Karena itu, ia mengusulkan, komunikasi yang baik sekarang ini adalah dengan mencabut RUU HIP dari Prolegnas Prioritas 2020 terlebih dahulu.

“Coret dulu dari prioritas 2020 sambil diperbaiki, dimasuki lagi ke Prolegnas 2021 dengan judul baru,” kata Jimly.

Dia juga mengusulkan judul RUU nantinya bukan RUU BPIP, tapi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP), dengan begitu RUU PIP ini tidak hanya mengatur soal badan dan dibentuk dengan wujud dewan.

“Judulnya jangan BPIP tapi PIP di dalamnya otomatis ada badan. Kalau hanya badan itu cukup dengan Perpres, tidak perlu dengan undang-undang. Saya usulkan dewan, sehingga lebih kuat dan melibatkan banyak instutusi tapi terkoordinasi,” ujar Jimly.

Jimly sebelum juga menyebutkan, pemerintah telah mendengar aspirasi penolakan masyarakat terhadap RUU inisiatif DPR itu, dengan menjamin substansi RUU HIP telah berubah dan tak ada lagi pasal kontroversial.

“Substansinya ada dua, TAP MPR tentang Komunis dicantumkan dalam konsiderans. Ketentuan mengenai perasan Pancasila ditiadakan, dari segi substansi sudah ada adaptasinya, pemerintah mendengar juga,” kata dia.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Badan Legislasi DPR RI Fraksi Gerindra Supratman Andi Agtas menyatakan setuju dengan pendapat Jimly. Namun ia memberi caratan terkait mekanisme penarikan RUU HIP yang telah disahkan pada rapat paripurna itu.

“Mekanismenya menurut undang-undang ada yang dicabut dan dimasukkan, mekanismenya harus melalui proses harmonisasi atau penyusunan kembali (pada masa persidangan V),” kata Supratman.

Supratman menjelaskan, saat ini tak ada lagi perdebatan soal substansi RUU HIP. PDIP selaku partai pengusul awal RUU HIP, kata dia, telah sepakat memasukkan TAP MPRS 25/1996 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Pemerintah juga telah menyatakan konsep Pancasila di butir pertama RUU BPIP untuk menjawab persoalan tentang ringkasan Pancasila.

“Perdebatan mengenai ini (RUU HIP) kita hentikan, termasuk teman-taman Fraksi PDIP yang sudah mengakomodir dan setuju dengan semua protes publik,” ujar Supratman.

Terkait dengan usulan judul RUU nantinya, Supratman menegaskan, sejak awal Baleg dan termasuk Fraksi PDIP sepakat RUU HIP hanya mengatur soal kelembagaan. Karena itu, ia sepakat RUU PIP bisa menjadi opsi penengah dalam usulan pemerintah nantinya.

“Saya setuju dengan Profesor Jimly, jalan keluarnya kita tarik dulu, nanti pemerintah atau DPR mengajukan kembali dengan RUU yang baru,” ujar Supratman.

Sementara, Ketua Bamusi PDIP Zuhairi Misrawi membenarkan pernyataan Supratman, bahwa partainya telah sepakat memasukkan TAP MPRS tentang pembubaran PKI dan juga menghapus pasal-pasal yang berkaitan dengan konsep Pancasila menjadi trisila dan ekasila.

“Sekjen PDIP Hasto menegaskan, PDIP setuju memasukkan TAP MPRS 25/1966.
PDIP setuju dengan Prof Jimly kita fokus pada COVID-19, setalah itu kita bahas kembali RUU BPIP itu,” kata dia.

Menurut Zuhairi, BPIP tetap perlu diperkuat dengan undang-undang karena mengingat fungsinya, BPIP tak bisa hanya berlandas pada Peraturan Presiden.

“Yang harus diperkuat itu fungsi, tugas wewenang, dan struktur kelembagaan BPIP yang selama ini hanya berupa Perpres. Masa BNN (Badan Narkotika Nasional) punya undang-undang, Arsip Nasional punya undang-undang, tapi lembaga sebesar BPIP yang memiliki tugas koordinasi integrasi dalam konteks ideologi Pancasila ini tidak memiliki undang-undang,” kata Zuhairi.

Baca Juga: PKS: RUU HIP dan RUU BPIP Beda Substansi, Tidak Bisa Ditukar

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya