Menelisik Jalan Buzzer Politik

Dari relawan hingga 'hidup' di Istana

Jakarta, IDN Times - "Salah satu komentar paling lucu terkait analisis grup WA anak STM yang ternyata ketika dicek nomor-nomornya adalah milik polisi. 'Secara naluriah, anak STM memang berani tawur, tapi secara naluriah juga, mereka tidak akan pernah berani pakai nomor Telkomsel'," tulis warganet bernama Agus Mulyadi.

Agus mengomentari unggahan warganet soal tangkapan layar grup WhatsApp STM pada 1 Oktober lalu, dalam akun Twitternya, @AgusMagelangan. 

Unggahan tangkapan layar grup WhatsApp STM rame beredar di Twitter, sehari pasca-demonstrasi pelajar STM di sekitar gedung DPR pada 25 September lalu. Grup itu membeberkan nama-nama yang seolah-olah pelajar STM yang dibayar untuk demonstrasi di gedung DPR.

Warganet rame-rame membongkar siapa dalang penyebar tangkapan layar itu. Dalam grup itu muncul sederat nama dengan berbagai embel-embel kepolisian. Mereka membongkar nama-nama itu dari nomor telepon yang ada di grup media sosial itu, menggunakan aplikasi. Namun, Polri membantah grup itu buatan mereka.

Sehari sebelumnya, lima ambulans milik Pemprov DKI Jakarta disebut-sebut mengangkut batu dan bensin, untuk demonstran di sekitar gedung DPR pada Rabu (25/9) malam. Akun Twitter Traffic Management Center (TMC) Polda Metro Jaya mengunggah video tentang ambulans itu. 

Namun tak lama kemudian, akun Twitter itu menghapus unggahannya. Warganet mencium kejanggalan. Beberapa akun Twitter juga disebut-sebut turut mengunggah hal yang sama, bahkan, lebih dulu mengunggahnya. Warganet menuding akun-akun tersebut buzzer pemerintah. Perang di Twitter pun terjadi.

Polda Metro Jaya meminta maaf atas unggahan tersebut. Pemilik akun Twitter yang disebut-sebut buzzer pun diburu pelajar STM, yang memang menggelar demonstrasi saat isu ambulans membawa batu itu beredar. Isu buzzer pun ramai diperbincangkan di media sosial. Banyak pihak menuding pemerintah memelihara buzzer.

Sampai-sampai Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko pun angkat bicara perihal ini. Dia mengakui pernah bertemu buzzer, namun harusnya tidak perlu lagi ada buzzer di media sosial pasca-pemilu 2019. Ia menilai, buzzer muncul karena relawan dan pendukung yang fanatik membela pimpinannya, sehingga meramaikan media sosial.

"Dalam situasi ini bahwa relatif sudah gak perlu lagi buzzer-buzzer-an. Tapi yang diperlukan adalah dukungan-dukungan politik yang lebih membangun, bukan dukungan politik yang bersifat destruktif," ujar Moeldoko di Kompleks Istana Negara, Jakarta Pusat, Jumat (4/10).

Baca Juga: Dapat Bayaran Hingga Rp50 Juta, Begini Fakta-Fakta Soal Buzzer Politik

1. Buzzer berbayar dan buzzer relawan ‘hidup’ di Istana?

Menelisik Jalan Buzzer PolitikIDN Times/Istimewa

Blogger senior yang juga film maker, Iman Brotoseno juga mengaku tak keberatan disebut sebagai buzzer Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Tapi Iman tak sependapat jika semua buzzer dibayar pihak tertentu.

"Gak apa-apa sih, saya gak ada masalah dibilang buzzer (Jokowi)," kata Iman ketika dihubungi IDN Times, Minggu (6/10).

Iman menyayangkan persepsi orang-orang yang menganggap semua buzzer dibayar untuk mengampanyekan sesuatu. "Padahal gak semuanya gitu. Banyak orang yang memang mendukung tanpa pamrih, bahkan lebih militan," kata dia.

Iman berpendapat kondisi politik yang panas selama pemilihan presiden 2019, membuat istilah buzzer seolah-olah memiliki konotasi negatif. Hal lain yang membuat istilah buzzer menjadi sorotan, lantaran dianggap kerap menyebarkan hoaks. Fenomena buzzer juga tak hanya ada di Indonesia.

"Cuma mungkin untuk istilah buzzer politik di negara lain tidak ada, cuma di Indonesia, mungkin saya bisa mengatakan lebih dulu mungkin," kata dia.

Namun Iman mengaku tak terlalu mengetahui seberapa besar huru-hara dan masalah yang timbul akibat adanya buzzer di negara-negara lain. Tapi dia mencontohkan, pemilihan presiden di Rusia dan Amerika Serikat tidak lepas dari peran serta buzzer.

Iman tak yakin dengan tudingan Istana membayar buzzer. "Saya rasa sih gak mungkin ya Istana membayar. Mereka juga punya biro komunikasi sendiri, punya tim biro pers, segala macam. Buat apa bayar buzzer? Gak mungkin lah saya rasa," kata dia.

Namun, Iman setuju dengan kemungkinan adanya beberapa buzzer dibayar oleh orang-orang yang punya kepentingan sendiri. "Misalnya ada orang, pengusaha, atau orang yang dekat dengan kekuasaan, punya dana lebih, dia suka rela ngumpulin, misalnya, dana untuk membuat buzzer-buzzer atau influencer, ini bisa aja. Ya mungkin aja."

“Tapi secara resmi Istana saya rasa gak mungkin," imbuh dia.

Menelisik Jalan Buzzer PolitikIDN Times/Arief Rahmat

2. Bayaran buzzer tergantung goals

Menelisik Jalan Buzzer Politik"The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation- Universitas Oxford

Kesaksian lain soal goals dan bayaran buzzer juga diungkapkan seorang buzzer politik, Ranger (bukan nama sebenarnya). Dia mengakui aktivitasnya di media sosial dilakukan sesuai pesanan pihak tertentu.

Menurut dia perang opini di media sosial untuk memunculkan suatu isu atau propaganda menjadi ladang bisnis para buzzer.

"Goals-nya adalah trending. Jadi nanti ketentuannya dari koordinator (bilang), 'oke stop, oke mulai', itu dari koordinatornya. Jadi ketika mulai memang sampai ada isu yang mereka ingin angkat dan itu terangkat," tutur Ranger kepada IDN Times, akhir tahun lalu.

Honor untuk mengerjakan proyek trending topic biasanya dibayarkan bulanan, dengan nilai berkisar di atas Rp4 juta.

"Tapi itu mungkin kalau dua tahun terakhir. Kalau tiga tahun yang lalu, empat tahun yang lalu di atas dua, di bawah tiga juta," tutur Ranger yang mengaku ada koordinator khusus yang mengatur satu tim buzzer.

Laporan penelitian yang ditulis Samantha Bradshaw Philip N Howard dari Oxford baru-baru ini juga selaras dengan ucapan Ranger, bayaran yang diterima buzzer berkisar antara Rp1 juta hingga Rp50 juta.

Laporan tersebut juga menyebutkan kapasitas buzzer di Indonesia tergolong kapasitas rendah. Mereka melibatkan tim kecil yang mungkin aktif selama pemilihan atau referendum, tetapi menghentikan kegiatan sampai siklus pemilihan berikutnya.

"Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen dengan hanya beberapa strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim-tim ini beroperasi di dalam negeri, tanpa operasi di luar negeri," tulis laporan itu.

Laporan itu juga menyebut buzzer di Indonesia disewa secara temporer dan melibatkan lebih banyak dari masyarakat biasa ketimbang organisasi khusus.

3. Buzzer di Indonesia disebut-sebut banyak berafiliasi dengan politikus dan kontraktor swasta

Menelisik Jalan Buzzer Politik(Ilustrasi) pexels.com/@andri

Namun, Ranger tidak mengetahui siapa-siapa saja orang di dalam timnya. Ada sekat-sekat untuk merahasiakan orang-orang pertama yang membayar mereka.

"Memang tidak dibuka. Jadi yang (aku) tahu paling di atasku, itu pasti tahu siapa di atasnya. Tapi kalau untuk ke atasnya lagi, biasanya terlalu banyak layer sih, jadi gak bisa sampai ketahuan," ujar dia.

Bahkan, interaksi di dalam tim buzzer juga menggunakan sistem satu pintu. Tidak bisa sembarangan. Tim di bawahnya sulit mengetahui tim dua tingkat di atasnya.   

"Hanya dari orang satu ke orang ke dua. Kalau mau sampai orang kelima, yang bisa berinteraksi ke orang lima itu hanya orang empat," kata Ranger.

Hasil penelitian Oxford itu, buzzer di Indonesia disebut-sebut banyak berafiliasi dengan politikus dan kontraktor swasta. Masing-masing terafiliasi dengan organisasi atau kelompok yang ditemukan bergerak menjadi kelompok buzzer.

"Salah satu fitur penting dari kampanye organisasi manipulasi media sosial adalah bahwa pasukan siber (cyber troops) alias buzzer sering bekerja bersama dengan industri swasta, organisasi masyarakat sipil, subkultur internet, kelompok pemuda, peretas (hacker) kolektif, gerakan pinggiran, influencer media sosial, dan sukarelawan yang secara ideologis mendukung perjuangan mereka," sebut laporan itu.

Tujuan dalam kelompok-kelompok ini seringkali sulit digambarkan dan dibedakan, terutama karena kegiatan secara implisit dan eksplisit disetujui negara.

Ada empat cara bagaimana buzzer bergerak: pertama, bot atau akun otomatis yang dirancang untuk meniru perilaku manusia secara daring. Kedua adalah manusia itu sendiri. Ketiga, robot, dan terakhir adalah akun yang diretas atau dicuri.

Di Indonesia, menurut penelitian ini, buzzer lebih banyak yang digerakkan bot dan manusia langsung. Senada dengan pendapat Direktur Komunikasi Indonesia Indicator Rustika Herlambang. Dia menyebut lebih banyak akun manusia dibanding akun robot pada buzzer di Indonesia.

Sementara, Ranger menyebut sistem penggunaan akun palsu pun dilakukan. Atau mereka membuat akun anonim besar yang memang memberikan data-data dan ternyata masyarakat suka.

"Ada yang follow-follow dan mereka jadi besar. Nah akun itu biasanya jadi main account-nya. Tapi mereka punya akun-akun kecil yang rata-rata palsu untuk support, kayak gitu sih polanya," kata Ranger.

Ranger lebih setuju jika mereka disebut pasukan khusus. Karena dia tidak pernah mengalami tekanan tertentu selama menjadi buzzer.

"Karena mereka (buzzer) menyatakan sesuatu dengan data. Jadi gak ada tekanan sesuatu. Mungkin kalau mereka diancam di dunia digital ketika lagi melakukan buzzer, itu biasa," kata dia.

Dalam laporan Oxford juga disebutkan, ada lima media sosial yang banyak digunakan buzzer dalam memanipulasi kabar di media sosial yakni Twitter, WhatsApp, YouTube, Instagram, dan Facebook. Dalam kasus di Indonesia, buzzer menggunakan semua media sosial tersebut memanipulasi, kecuali melalui YouTube.

"Meskipun ada lebih banyak media sosial dari sebelumnya, Facebook tetap menjadi platform pilihan untuk manipulasi di media sosial. Di 56 negara, kami menemukan bukti secara formal kampanye propaganda komputasi terorganisir di Facebook," tulis laporan itu.

Menelisik Jalan Buzzer PolitikIDN Times/Arief Rahmat

4. Istana memelihara buzzer?

Menelisik Jalan Buzzer PolitikANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut buzzer pendukung Presiden Jokowi yang tersebar di media sosial tidak dibayar. Mereka merupakan relawan dan pendukung setia Jokowi ketika Pilpres 2014 hingga 2019.

Namun, Moeldoko membantah bila ada pihak yang menuding Kantor Staf Kepresidenan mengomandoi para buzzer pendukung Jokowi. Tapi dia setuju buzzer-buzzer di media sosial ditertibkan.

Moeldoko menegaskan Presiden Jokowi tidak membutuhkan dukungan yang destruktif dari para buzzer-nya. "Dalam situasi saat ini tak diperlukan lagi buzzer, namun dukungan politik yang lebih membangun," kata dia, Jumat (4/10) lalu.

Mantan Panglima TNI itu juga mengingatkan agar para buzzer tak perlu menyebar kebencian secara berlebihan, dengan tokoh yang saat ini berseberangan dengan pemerintah.

Sementara, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Aditia Irawati membantah tudingan Istana secara resmi 'memelihara' buzzer.

"Buzzer istana ini kan istilah yang diciptakan oleh netizen sendiri. Kita itu secara official kita gak pernah ada buzzer istana," ujar Adita ditemui di sela Siberkreasi di Jakarta, seperti dilansir Antara, Sabtu (5/10)

Namun, Adita tak membantah sebagian pengguna media sosial yang membentuk suatu blog secara militan, untuk mendukung pihak tertentu. Blog-blog tersebut ada yang bersifat organik, asli manusia, dan ada juga yang bersifat anorganik.

Dengan militansinya tersebut, blog yang bersifat 'organik' membela apa yang menjadi program ataupun keputusan pemerintah. Bahkan, di antara mereka, sebagian besar relawan dan biasanya mereka tanpa perlu ada instruksi.

Adita pun mengimbau agar buzzer-buzzer yang militan agar menahan diri, karena saat ini yang terpenting adalah bersatu, solid, dan fokus membangun.

5. Oposisi manfaatkan buzzer relawan

Menelisik Jalan Buzzer PolitikIDN Times/Irfan Fathurohman

Pihak oposisi pun angkat bicara. Juru bicara Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak menilai secara tidak langsung Istana menunjukkan bahwa selama ini penguasa 'memelihar' buzzer.

“Itu bukti bahwa memang buzzer itu mereka organisir dan kami sayangkan memang, karena buzzer-buzzer itu yang menebar fitnah dan hoaks. Jadi terang sudah siapa produsen hoaks-hoaks,” kata mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu kepada IDN Times, Minggu (5/10).

Namun, Dahnil berkilah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga tidak menggunakan jasa buzzer bayaran dalam kampanye Pilpres 2019 lalu.

“Pak Prabowo dan BPN gak punya buzzer berbayar,” kata dia.

BPN memanfaatkan buzzer relawan. Sejumlah buzzer yang aktif di media sosial untuk menggaungkan nama Prabowo-Sandiaga, seperti @CakKhum atau @R4jaPurwa, diistilahkan sebagai relawan. BPN juga tidak memanfaatkan robot siber.

“Yang banyak adalah relawan dari berbagai kelompok, termasuk di medsos. Bisa dilihat dari analisis-analisis peneliti medsos, gerakan 02 organik, bukan bots, bukan buzzer, tapi kelompok masyarakat,” kata dia.

6. Buzzer tidak akan mati selama mereka dibutuhkan

Menelisik Jalan Buzzer PolitikIDN Times/Rochmanudin

Pendapat berbeda disampaikan Pengamat Politik Ujang Komaruddin. Dia menilai aktivitas para buzzer tidak akan pernah berhenti walaupun Pilpres 2019 telah berakhir.

“Pertama masalah priuk nasi, masalah pendapatan. Buzzer kan butuh hidup juga. Setelah Pilpres pendapatan mereka gak tentu, mereka butuh makan karena pekerjaan (utama) mereka ya itu buzzer,” kata Ujang saat dihubungi IDN Times, Minggu (6/10).

Para buzzer juga akan terus 'dipelihara' para elite politik untuk melawan serangan dari buzzer lawan di media sosial jika dibutuhkan.

“Justru kalau dibubarkan akan kecolongan diserang buzzer yang lain. Jadi buzzer itu bukan hanya setelah Pilpres dibuang, tapi dipelihara. Itu yang saya kira kenapa masih ada,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review itu.

Baca Juga: Benarkah Buzzer Berbahaya Bagi Demokrasi? Begini Penjelasannya

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya