Misteri Angka 7 di Balik Lika-Liku Perjalanan RUU Cipta Kerja

Disahkan saat jelang bedug magrib

Jakarta, IDN Times - Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) telah disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR RI, Senin, 5 Oktober 2020 petang. Dua fraksi, yakni Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak, namun DPR dan pemerintah bergeming dan ngotot mengesahkan RUU usulan pemerintah itu.

Dalam perjalanan pembahasan di parlemen, undang-undang yang masuk dalam Omnibus Law ini juga menuai kontroversi dari berbagai kalangan, terutama pada kaum buruh yang banyak dirugikan. Anggota Dewan seolah memaksakan untuk segera rampung alias kejar tayang, bahkan terkesan cari 'aman', karena menjelang pengesahan, mereka membahas pada jadwal dan tempat yang tidak biasanya.    

Berikut fakta-fakta RUU Ciptaker yang dikebut, dengan alasan kasus COVID-19 di gedung DPR yang mengkhawatirkan.

Baca Juga: RUU Cipta Kerja Sah, 2 Juta Buruh Rancang Mogok Massal Nasional

1. RUU Ciptaker dikebut pembahasannya selama tujuh bulan

Misteri Angka 7 di Balik Lika-Liku Perjalanan RUU Cipta KerjaRapat Paripurna DPR RI ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021 pada Senin (5/10/2020) (Youtube.com/DPR RI)

RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang disusun dengan menggunakan metode Omnibus Law, yang terdiri dari 15 bab dan 174 pasal yang berdampak terhadap 1.203 pasal dari 79 undang-undang, terkait dan terbagi dalam 7.197 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Pembahasan DIM dilakukan Panitia Kerja (Panja) yang dimulai sejak 20 April hingga 3 Oktober 2020.

“Baleg bersama pemerintah dan DPD RI telah melaksanakan rapat sebanyak 64 kali, 2 kali rapat Kerja, 56 kali rapat panja, dan 6 kali rapat timus/timsin yang dilakukan mulai Senin sampai Minggu, dari pagi sampai malam. Bahkan, masa reses pun tetap melaksanakan rapat baik di gedung DPR maupun di luar gedung DPR,” ujar Ketua Badan Legislasi DPR Supratman dalam menyampaikan laporan Baleg saat rapat paripurna pengesahan undang-undang ini, Senin, 5 Oktober 2020 petang.

2. Ada tujuh undang-undang yang dimusnahkan dari RUU Ciptaker

Misteri Angka 7 di Balik Lika-Liku Perjalanan RUU Cipta KerjaIDN Times/Irfan Fathurohman

Dalam pembahasannya, Baleg mengeluarkan tujuh undang-undang dari RUU Ciptaker, yaitu UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, UU Nomor 4 Tahun  2019 tentang Kebidanan, dan UU Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.

Baleg juga menambahkan empat undang-undang dalam RUU tentang Cipta Kerja, yaitu UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Jo UU Nomor 16 Tahun 2009, UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Jo UU Nomor 36 Tahun 2008, UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah Jo UU Nomor 42 Tahun 2009, dan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Hasilnya, RUU Ciptaker hasil pembahasan terdiri dari 15 bab dan 185 pasal yang berarti mengalami perubahan dari sebelumnya 15 bab dan 174 pasal.

3. Disepakati tujuh fraksi dan ditolak dua fraksi

Misteri Angka 7 di Balik Lika-Liku Perjalanan RUU Cipta KerjaMenko Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) bersama Menkumham Yasonna Laoly (tengah) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) menghadiri pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10/2020) (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Pada malam hari, 3 Oktober 2020, Baleg menyelenggarakan rapat kerja bersama pemerintah dan DPD RI, pemerintah dalam hal ini diwakili secara fisik oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Ketenagakerjaan. Sedangkan, delapan menteri lainnya yang ditugaskan sesuai Surat Presiden mengikuti secara virtual.

Rapat kerja dalam rangka pengambilan keputusan dalam pembicaraan tingkat I atas hasil pembahasan RUU Ciptaker dengan agenda mendengarkan pandangan mini fraksi-fraksi terhadap hasil pembahasan RUU.

Dalam Rapat Kerja Baleg tersebut, tujuh fraksi yaitu F-PDIP, F-Golkar, F-Gerindra, F-Nasdem, F-PKB, F-PAN, dan F-PPP menerima hasil kerja Panja dan menyetujui agar RUU Ciptaker segera disampaikan kepada pimpinan DPR RI, untuk dibawa dalam tahap pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR RI untuk ditetapkan dan disetujui sebagai undang-undang.

Adapun dua fraksi tersebut, yaitu F-Demokrat dan F-PKS belum menerima hasil kerja Panja dan menolak RUU Ciptaker, dilanjutkan dalam tahap pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR RI.

4. Pembahasan RUU Ciptaker dikebut serta dibahas pada jadwal dan tempat yang tidak biasanya dalam tujuh tahap

Misteri Angka 7 di Balik Lika-Liku Perjalanan RUU Cipta KerjaTujuh tahap pembahasan UU Cipta Kerja (IDN Times/Arief Rahmat)

Berdasarkan catatan IDN Times selama pembahasan RUU Ciptaker, terdapat kejanggalan yang menyebabkan DPR dituduh ‘kejar tayang’ oleh serikat buruh.

Pertama, pada 28 September 2020 malam, Baleg DPR RI telah menyelesaikan klaster ketenagakerjaan dalam waktu tiga hari sejak Jumat, 25 September 2020. Pembahasan itu dilakukan di luar Parlemen DPR RI dengan alasan ada perbaikan instalasi listrik di DPR.

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Achmad Baidowi mengatakan rapat dilakukan di luar parlemen dan pada hari libur, karena DPR RI sedang melakukan pemadaman listrik sejak Sabtu, 26 September 2020 pukul 08.00 WIB.

“Di situ tidak dijelaskan sampai kapannya. Kita kan khawatir kalau instalasi perbaikan sampai hari ini misalkan, kita juga kan mau memberi kepastian. Sehingga kita memaksimalkan waktu yang ada dengan melakukan rapat di luar,” kata Awiek kepada IDN Times, Senin, 28 September 2020.

Awiek mengatakan rapat yang dilakukan di luar parlemen dan pada hari libur sudah mendapat persetujuan dari pimpinan dan sesuai tata tertib DPR RI.

“Apakah boleh? Boleh rapat di luar, asalkan sesuai dengan tatib DPR RI dan sudah mendapatkan izin. Dan apakah boleh dilaksanakan pada Sabtu atau Minggu? Boleh, asalkan dapat izin pimpinan DPR,” ujar dia.

Kedua, pembahasan RUU Ciptaker dikebut dan secara tiba-tiba Baleg DPR RI menggelar rapat pengambilan keputusan tingkat I pada Sabtu, 3 Oktober 2020. Di situ, DPR dan pemerintah sepakat RUU Ciptaker diparipurnakan pada 8 Oktober 2020.

Alih-alih khawatir dengan kasus COVID-19 yang terjadi di DPR, Badan Musyawarah DPR menyepakati jadwal rapat paripurna dimajukan pada Senin, 5 Oktober 2020.

“Tadi disepakati Badan Musyawarah (Bamus) karena laju COVID-19 di DPR terus bertambah, maka penutupan masa sidang dipercepat. Sehingga mulai besok tak ada aktivitas lagi di DPR,” kata Awiek kepada IDN Times, Senin, 5 Oktober 2020.

5. Tujuh tuntutan serikat buruh yang tidak didengar DPR RI dan pemerintah

Misteri Angka 7 di Balik Lika-Liku Perjalanan RUU Cipta KerjaMassa serikat buruh di Bekasi yang dihadang polisi, Senin (5/9/2020) (Dok. KSPI)

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, ada 10 isu yang diusung buruh dalam menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan ini.

Kesepuluh isu tersebut berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK), sanksi pidana bagi pengusaha, tenaga kerja asing (TKA), upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), pesangon, karyawan kontrak seumur hidup, outsourcing seumur hidup, waktu kerja, cuti dan hak upah atas cuti, serta jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi pekerja kontrak outsourcing.

“Dari 10 isu yang disepakati oleh pemerintah dan DPR, KSPI mencermati, katanya tiga isu yaitu PHK, sanksi pidana bagi pengusaha dan TKA, dikembalikan sesuai dengan isi UU 13/2003,” kata Iqbal dalam keterangan tertulisnya, Senin, 5 Oktober 2020.

Serikat buruh kembali merevisi poin penolakan menjadi tujuh hal dalam RUU Ciptaker. Pertama, terkait penghapusan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) bersyarat dan Upah Sektoral (UMSK). Buruh menolak keras kesepakatan ini.

Menurut Iqbal, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Karena UMK tiap kabupaten/kota berbeda nilainya. Jadi tidak benar kalau UMK di Indonesia lebih mahal dari negara ASEAN lainnya. Karena kalau diambil rata-rata, nilai UMK secara nasional, justru UMK di Indonesia jauh lebih kecil dari upah minimum di Vietnam.

“Tidak adil jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara,” kata dia.

Karena itu, UMSK menurut Iqbal harus tetap ada. Tetapi jalan tengahnya, penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional, untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja. Jadi, UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK, agar ada fairness.

Sedangkan, perundingan nilai UMSK dilakukan asosiasi jenis industri dengan serikat pekerja sektoral industri di tingkat nasional. Di mana keputusan penetapan tersebut hanya berlaku di beberapa daerah saja dan jenis sektor industri tertentu saja, sesuai kemampuan sektor industri tersebut.

“Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK,” ujar Iqbal.

Poin kedua yang ditolak buruh yakni pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan enam bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.

“Dari mana BPJS mendapat sumber dananya? Dengan kata lain, nilai pesangon berkurang walaupun dengan skema baru yaitu 19 bulan upah dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan, tidak masuk akal. Karena tanpa membayar iuran tapi BPJS membayar pesangon buruh 6 bulan,” kata dia.

Kesepakatan ini, menurut dia, akan berakibat BPJS Ketenagakerjaan akan bangkrut.

Ketiga, buruh menolak soal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak seumur hidup, tidak ada batas waktu kontrak.

Keempat, buruh juga menolak outsorching pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan yang boleh di outsourcing. Padahal sebelumnya, outsourcing dibatasi hanya untuk lima jenis pekerjaan.
Menurut Iqbal, karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup menjadi masalah serius bagi buruh.

“Siapa yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing? Tidak mungkin buruh membayar kompensasi untuk dirinya sendiri dengan membayar iuran JKP,” ujarnya.

“Dalam RUU Cipta Kerja disebutkan, buruh kontrak yang mendapatkan kompensasi adalah yang memiliki masa kerja minimal 1 tahun. Pertanyaannya, bagaimana kalau pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun? Berarti buruh kontrak tidak akan mendapatkan kompensasi,” sambung Iqbal.

Menurut Iqbal, dengan DPR setuju karyawan kontrak dan pekerja outsourcing seumur hidup berarti ‘no job security’ atau tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia. Lalu, ia mempertanyakan di mana kehadiran negara dalam melindungi buruh Indonesia, termasuk melindungi rakyat yang masuk pasar kerja tanpa kepastian masa depannya dengan dikontrak dan outsourcing seumur hidup.

“Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70 persen sampai 80 persen dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya Omnibus Law, apakah mau dibikin 5 persen hingga 15 persen saja jumlah karyawan tetap? No job security untuk buruh Indonesia, apa ini tujuan investasi?” kata dia.

Kelima, Iqbal juga menyatakan menolak jam kerja yang eksploitatif.

Keenam, buruh menolak hak cuti dan hak upah atas cuti yang dihapus. Cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan hilang, karena hak upahnya atas cuti tersebut hilang. Cuti panjang dan hak cuti panjang juga hilang.

Ketujuh. Karena karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, maka jaminan pensiun dan kesehatan bagi mereka hilang.

“Dari tujuh isu hasil kesepakatan tersebut, buruh menolak keras. Karena itulah, sebanyak 2 juta buruh sudah terkonfirmasi akan melakukan mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing,” kata Iqbal.

6. RUU Cipta Kerja disahkan dalam paripurna DPR RI, meski Demokrat walk out

Misteri Angka 7 di Balik Lika-Liku Perjalanan RUU Cipta KerjaFraksi Demokrat, Benny K Harman menyatakan Demokrat walkout dari Rapat Paripurna DPR RI (Youtube.com/DPR RI)

Partai Demokrat walk out atau keluar dari ruang rapat paripurna DPR. Peristiwa ini terjadi ketika Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny Kabur Harman menginterupsi pimpinan rapa, Azis Syamsuddin yang tengah mempersilakan Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan pandangan pemerintah terhadap RUU Ciptaker.

“Pimpinan, jika kita tidak didengar maka Fraksi Demokrat menyatakan walk out dari Sidang Paripurna dan tidak bertanggung jawab atas RUU Ciptaker,” kata Benny kepada Azis, yang tidak mempersilakan Benny interupsi.

“Saya yang memimpin rapat Pak Benny,” kata Azis.

Aksi interupsi itu sendiri diawali anggota Fraksi Demokrat Irwan yang meminta DPR menunda pengambilan keputusan terhadap RUU Ciptaker, karena berpotensi merugikan rakyat.

"Kami minta agar ditunda pembahasan untuk pengambilan keputusan. Mengapa ini terburu-buru, rakyat di luar bertanya, jangan sampai substansinya UU berpotensi menghilangkan hak rakyat, kerusakan lingkungan, kewenangan kami di daerah dan hak kami rakyat kecil," ucap Irwan.

Setelah menyatakan walk out, Fraksi Demokrat terlihat meninggalkan ruang rapat paripurna.

Tak lama kemudian, menjelang detik-detik bedug magrib, DPR ketok palu mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Tok, tok!

Baca Juga: Buruh Tolak 7 Poin, Begini Aturan yang Ditetapkan dalam UU Ciptaker

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya