PKS: Hentikan RUU Omnibus Law karena Berpotensi Membungkam Pers!

2 pasal di dalam RUU Omnibus Law berpotensi mengekang pers

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Netty Prasetiyani Heryawan, meminta pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dihentikan. Ia menilai RUU ini berpotensi mengekang kebebasan pers di Indonesia.

"Hentikan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja karena berpotensi membungkam dan menyulitkan dunia pers di Tanah Air," katanya lewat keterangan tertulisnya, Sabtu (23/05).

1. Perusahaan pers tidak lagi bisa mengelola secara mandiri

PKS: Hentikan RUU Omnibus Law karena Berpotensi Membungkam Pers!Jurnalis menghadiri jumpa pers penyerahan bantuan Tiongkok kepada Kemenkomarves, di Bandara Halim, Jakarta, Jumat (27/3). Dok. Aldi Chandra

Menurut anggota Komisi IX DPR RI ini, RUU Omnibus Law Cipta Kerja mengandung upaya mengembalikan campur tangan pemerintah dalam kehidupan pers. Netty menjelaskan, dalam RUU Omnibus Law ini terdapat peraturan pemerintah tentang pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan media yang melanggar aturan terkait badan hukum pers, pencantuman alamat dan penanggung jawab secara terbuka.

Menurut Netty, adanya peraturan pemerintah tersebut seperti membuka pintu belakang yang bertentangan dengan semangat pengelolaan mandiri (self-regulatory) media yang terbebas dari intervensi pemerintah.

"Kita perlu mendorong pers yang kredibel dan bertanggung jawab, namun jangan sampai RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini mengembalikan pengalaman buruk di masa Orde Baru, di mana ada campur tangan pemerintah yang besar terhadap pers,” ujarnya.

Baca Juga: DPR Lanjut Bahas Omnibus Law, Serikat Buruh Kaltim Ancam Gelar Aksi 

2. Denda perusahaan pers naik empat kali lipat

PKS: Hentikan RUU Omnibus Law karena Berpotensi Membungkam Pers!(Ilustrasi uang) IDN Times/Ita Malau

Selain itu, kata Netty, dalam Undang-Undang Tentang Pers No 40 Th 1999, denda untuk perusahaan pers yang melanggar ketentuan soal kewajiban memperhatikan norma agama dan kesusilaan dalam pemberitaan, paling banyak Rp500 juta, tetapi dalam draf RUU Cipta Kerja disebutkan sampai Rp2 miliar.

"Pelanggaran memang perlu diberi sanksi sebagai cara pembelajaran. Namun, untuk apa dinaikkan sampai empat kali lipat? Hal ini akan sangat menyulitkan teman-teman pers. Bisa jadi tidak ada lagi yang berani menjalankan perusahaan pers kalau dendanya sebanyak itu," ujar Netty.

3. Pers harus diberi keleluasaan untuk kontrol sosial

PKS: Hentikan RUU Omnibus Law karena Berpotensi Membungkam Pers!(Pimpinan KPK Alexander Marwata membacakan status dua tersangka korupsi Muara Enim) Dokumentasi KPK

Netty juga berpendapat bahwa pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab adalah pilar demokrasi. Menurutnya, pers dapat menjadi alat kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat publik.

“Nah, fungsi ini akan berjalan dengan baik, jika pers independen dan memiliki keleluasaan. Jika ditakut-takuti dengan denda dan sanksi yang berat dan diawasi dengan peraturan pemerintah soal administrasi, tentu akan mempengaruhi keleluasaan pers dalam menjalankan fungsi kontrol sosial," ujar dia.

4. Berikut 2 pasal kontroversial soal pers di RUU Omnibus Law

PKS: Hentikan RUU Omnibus Law karena Berpotensi Membungkam Pers!Ilustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Paragraf 5 Pasal 87 RUU Omnibus Law Cipta Kerja mengandung ketentuan revisi terhadap UU No.40 tentang Pers, antara lain pada Pasal 11 dan Pasal 18 yang ditolak kalangan insan media.

Pasal 11 mengatur mengenai mekanisme penanaman modal, yang awalnya dilakukan melalui pasar modal direvisi menjadi pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penambahan modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

Sementara Pasal 18 merevisi ketentuan terkait pemberian sanksi bagi perusahaan pers yang melakukan pelanggaran atas pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 13 UU Pers, dari denda maksimal Rp500 juta menjadi Rp2 miliar.

Kemudian pada ayat 3, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta direvisi menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.

Terakhir, di ayat 4 mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Baca Juga: Dibalik Penolakan Buruh, Omnibus Law Dianggap Memberi Banyak Manfaat 

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya