Polemik Omnibus Law, Begini Harusnya UU Disusun

Harkristuti: tidak semua hal bisa diatur dengan hukum

Jakarta, IDN Times - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo menilai masih banyak kelemahan dalam proses legislasi dalam proses lahirnya Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja

Omnibus law kata Harkristuti seharusnya sudah terencana, terkoordinasi lalu melibatkan penyelenggara negara dalam sektor tertentu dan para stake holder-nya baik di dalam maupun di luar pemerintahan.

“Harusnya undang-undang yang baru itu merupakan respons yang timbul dalam masyarakat,” kata Harkristuti dalam diskusi Forum Pemred soal Omnibus law UU Cipta Kerja, Kamis (16/10/2020).

Lalu apa saja kelemahan dalam kebijakan legislasi di Indonesia saat ini yang harus dibenahi?

1. Kuatnya dorongan kelompok yang mementingkan tujuan pribadi

Polemik Omnibus Law, Begini Harusnya UU DisusunBeberapa Menteri dan Para Pimpinan DPR berfoto bersama usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020) (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Harkristuti memberi catatan dalam setiap pembentukan undang-undang, dorongan kelompok tertentu pasti ada. Mereka akan lebih mementingkan kepentingan mereka daripada kepentingan publik.

“Heterogenitas aktor juga sangat penting, mulai dari perancang yang menyampaikan rancangannya, lalu pengambil keputusan,” kata Harkristuti.

Baca Juga: Bongkar Pasang Draf UU Cipta Kerja Usai Ketuk Palu di Paripurna

2. Keterbatasan pranata dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan hukum

Polemik Omnibus Law, Begini Harusnya UU DisusunDemo buruh di Palembang tolak omnibus law (IDN Times/Rangga Erfizal)

Keterbatasan pranata untuk pengambilan kebijakan juga jadi salah satu kelemahan dalam kebijakan legislasi di Indonesia. Ia menjelaskan Indonesia masih belum tau mau start dari mana.

Selain itu, mutu produk legislatif belum sepenuhnya memuaskan. Karena menurut Harkristuti visi dari undang-undang tidak begitu jelas mengenai peran hukum dan bagaimana ia dapat mengatasinya.  “Apakah semua harus dibereskan dengan hukum,” kata dia.

Kelemahan kebijakan legislasi juga terjadi pada faktor konsultasi antar departemen. Ia mencontohkan RUU KUHP yang hampir 10 tahun tidak selesai. “Tapi karena tidak nyambung antara APH-nya maka sampai sekarang belum jadi,” kata dia.

Ia juga tak memungkiri adanya kelemahan di prosedur penentuan anggaran pada setiap pembentukan undang-undang.

Catatan terakhir yang harus diperbaiki Indonesia adalah mengenai faktor keterbatasan publik dalam rangka partisipasi. Padahal kebijakan yang dilahirkan adalah mandat konstitusional. “Seharusnya tidak overregulation atau underregulation,” kata dia.

Jika itu semua sudah diperbaiki, Harkristuti mengingatkan untuk tidak lupa dampak hukumnya kepada siapa, dan tataran mana, termasuk mekanisme kontrolnya yang biasanya berupa sanksi pidana. “Seharusnya sudah bisa diprediksi efek dari kebijakan ini. Misalnya, buruh yang diuntungkan atau UMKM yang diuntungkan,” ujar dia

3. Seharusnya berangkat dari naskah akademik

Polemik Omnibus Law, Begini Harusnya UU DisusunIlustrasi penjelasan mengenai apa itu omnibus law (IDN Times/Arief Rahmat)

Proses legislasi, menurut Harkristuti, seharusnya berangkat dari naskah akademik yang isinya analisa situasi, misalnyam kondisinya seperti apa. Dia sendiri mengaku belum melihat naskah akademiknya. Dalam hal merancang UU, perancang seharusnya tahu apa yang ingin diubah.

"Dulu awal tahun kan Pak Jokowi bilang isunya investasi, birokrasi terlalu panjang. Perumusan tidak boleh bertentangan dengan existing law dan tidak boleh ada celah untuk multi tafsir, kalau pun ada yang harus diperbaiki harus ada konsultasi dengan stake holder terkait. Pertanyaan apa itu sudah dilakukan?" kata dia.

Kemudian keselarasan dengan UU lainnya. Menurut dia, omnibus law yang menggabungkan 79 pasal sangat luar biasa banyaknya. Dia mempertanyakan konstruksi hukum yang dilakukan saat merancangnya, apakah sudah melibatkan partisipasi publik atau belum. Apakah ada sosialisasi, pendapat publik, dan pengumpulan informasi? Bagaimana scanning terhadap apa yang terjadi sekarang, termasuk di negara lain.

Lalu ada cross sectoral taks force, mulai lembaga yang menangani sampai yang terkena dampak. Harusnya mereka bertemu semuanya bukan satu pihak bertemu dengan pihak lain, jangan hanya A bertemu B, C bertemu D, E bertemu F. "Seharusnya semua dari A sampai Z bertemu dari mulai perancang, penerapan sampai yang akan terkena dampak," kata dia.

Selain alasan utama perancangan undang-undang, naskah akademik juga harus memasukkan analisis  terhadap dampak ekonomi, sosial, lingkungan, termasuk keuntungan dan kerugiannya.

"Detail-detail itu yang justru bisa menentukan ini akan efektif atau gak di lapangan. Harus juga ada antisipasi masalahh. Saya gak tahu juga apakah, resistensi UU ini sudah dimasukkan dalam naskah akademik," kata dia.

4. Begini alur pembentukan undang-undang yang benar

Polemik Omnibus Law, Begini Harusnya UU DisusunInfografis alur pembentukan undang-undang di Indonesia (IDN Times/Arief Rahmat)

Harkristuti lalu menjelaskan alur pembentukan undang-undang. Sedikitnya ada sembilan alur yang harus dijalani. Diawali surat perintah presiden untuk penyusunan RUU. Selanjutnya persiapan oleh tim pemerintah.

"Nah, menurut saya dengan adanya 79 UU itu harusnya timnya besar sekali, lalu mereka harus duduk bersama-sama didampingi oleh legal drafter. Mereka itu harusnya panitia antar kementerian," kata dia.

Pengalaman Harkristuti, tidak semua tim pemerintah bisa satu pandangan dalam penyusunan draf. Tidak semuanya wise and roses bisa berjalan lancar aja. Sering ada perbedaan pandangan. KUHAP, contohnya, di mana ada perbedaan pendapat besar antara kepolisian dan kejaksaan.

Panitia antar kementerian, sangat bervariasi, ada eselon I, II, III dan IV dan acap kali membuat masalah, misal, yang dikirim tak bisa ambil keputusan. Jika sudah ada kesepakatan, draf dibawa ke presiden. Biasanya bisa berkali-kali perbaikan sebelum dibawa ke DPR untuk dibuat Daftar Inventarisasi Masalah.

Pembuatan DIM ini, kata dia, biasanya makan waktu cukup lama. UU Terorisme, misalnya, DIM-nya bisa berbulan-bulan. Setelah itu baru dibahas oleh pemerintah dan DPR. "Bayangkan pembahasannya kalau 1.200 pasal," kata dia.

Ketika pembahasan, DPR bisa melakukan hiring, membuka ruang publik untuk berpartisipasi. Setelah disepakati, kesepakatan itulah yang diundangkan oleh pemerintah. "Bahkan di tahap terakhir ini ramai soal halaman. Soal halaman saya tak terlalu risau, tapi ketika diinformasika terjadi perubahan substansi, maka itu akan jadi masalah. Seharusnya itu tidak terjadi," kata dia.

Ketika dilakukan perundangan oleh pemerintah, jika kemudian presiden tidak mau menandatangani dalam waktu 30 hari, menurutnya,  undang-undang tetap berlaku. "Kalau ditandatangani bagus,  tidak ditangani juga gak papa, setelah 30 hari tetap ada UU," katanya.

Baca Juga: Mungkinkah Judicial Review Batalkan Seluruh Omnibus Law Cipta Kerja?

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya